Penaklukan Mesir oleh Fatimiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 33:
Selama sepertiga kedua abad ke-10, perimbangan kekuasaan bergeser ke arah yang menguntungkan Fatimiyah. Ketika Fatimiyah mengkonsolidasikan rezim mereka, Kekhalifahan Abbasiyah dilemahkan oleh perebutan kekuasaan yang terus-menerus antara faksi-faksi birokrasi, istana, dan militer yang saling bersaing. Secara bertahap provinsi-provinsi terpencil dinasti Abbasiyah dirampas oleh dinasti-dinasti lokal yang ambisius dan wilayah kekuasaannya mengecil dan menyisakan Irak saja. Setelah tahun 946 M, para khalifah Abbasiyah sendiri berubah menjadi khalifah boneka dari dinasti [[Dinasti Buwaihi|Buwaihiyah]] yang tidak berdaya.{{Sfn|Kennedy|2004|pp=185–197}}{{Sfn|Lev|1991|p=11}}
Pada tahun 960-an, dinasti Ikhsyidiyah juga menghadapi krisis yang terdiri atas kombinasi dari ketegangan dalam negeri dan tekanan eksternal.{{Sfn|Brett|2001|p=294}} Kerajaan [[Nubia|Makuria]] yang beragama Kristen di [[Makuria|Nubia]] melancarkan invasi ke Mesir dari selatan, sementara di barat, orang-orang Berber Lawata menduduki wilayah sekitar Aleksandria, dan bersekutu dengan suku Badui setempat di Gurun Barat untuk menghadapi pasukan Ikhshidiyah.{{Sfn|Bianquis|1998|p=116}}{{Sfn|Brett|2001|pp=294–295}} Di Suriah, meningkatnya kegelisahan di antara orang-orang [[Suku Badui (Arab)|Badui]] membuat pemerintahan Ikhsyidiyah menjadi terguncang, terutama karena hal itu bertepatan dengan invasi Suriah oleh orang-orang [[Qaramitah]], sebuah sekte Isma'ili yang berbasis di Bahrain ([[Arabia Timur|Arab Timur]]).{{Efn|
Situasi domestik di Mesir semakin diperburuk oleh serangkaian [[Banjir Sungai Nil|banjir rendah Sungai Nil]] yang dimulai pada tahun 962 M. Pada tahun 967 M, banjir mencapai tingkat terendah yang tercatat sepanjang periode awal Islam, diikuti oleh tiga tahun ketika permukaan sungai masih jauh di bawah normal. Angin panas dan kawanan [[Belalang juta|belalang]] juga berdampak besar terhadap kerusakan tanaman, menyebabkan kelaparan terburuk yang pernah ada. Keadaan semakin diperparah dengan merebaknya wabah penyakit yang ditularkan oleh tikus.{{Sfn|Halm|1991|p=362}} Akibatnya, harga pangan meningkat pesat. Pada tahun 968 M, harga ayam bisa didapat 25 kali lipat dari harga sebelum kelaparan, dan harga telur lima puluh kali lipat.{{Sfn|Bianquis|1972|p=55}} Fustat dalam hal ini justru yang paling menderita. Kota terpadat di dunia Islam setelah Bagdad ini dilanda kelaparan dan wabah epidemi (yang berlanjut hingga tahun-tahun awal pemerintahan Fatimiyah).{{Sfn|Bianquis|1972|p=56}} Panen yang buruk juga mengurangi aliran pemasukan ke kas, sehingga menyebabkan pemotongan pengeluaran. Hal ini secara langsung berdampak pada kalangan agama berpengaruh, bukan hanya gaji mereka yang tidak dibayarkan, tetapi juga uang untuk pemeliharaan masjid-masjid pun lenyap, dan ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga kerja dan uang yang diperlukan untuk menjamin keamanan mereka membuat setelah tahun 965 M, kafilah haji berhenti sama sekali.{{Sfn|Bianquis|1972|p=59}}
Baris 109:
| lon_deg = 32 | lon_min = 14 | lon_dir = E
}}}}
Jauhar mendirikan tendanya di Raqqada pada tanggal 26 Desember 968 M, dan para tentara ekspedisi mulai berkumpul di bawah pengawasannya. Khalifah al-Mu'izz datang hampir setiap hari ke kamp yang sedang berkembang dari dekat kota istana [[El-Mansuriya|Mansuriyah]].{{Sfn|Halm|1991|p=363}} Pasukan yang dikumpulkan dilaporkan oleh sumber-sumber Arab berjumlah lebih dari seratus ribu orang,{{Sfn|Gibb|1936|p=706}} dan harus didampingi oleh skuadron angkatan laut yang kuat,{{Efn|
Pada bulan Mei 969, tentara Fatimiyah memasuki [[Delta Nil]].{{Sfn|Halm|1991|p=364}} Jauhar menduduki Aleksandria tanpa perlawanan dan mendirikan kamp berbenteng di Tarrujah, di tepi barat Delta, dekat Aleksandria,{{Sfn|Dachraoui|1993|p=488}} sementara barisan depan maju menuju oasis Fayyum.{{Sfn|Halm|1991|p=364}} Pasukan Jawhar tidak menemui perlawanan apa pun saat mereka memasuki negara itu, dan jenderal Fatimiyah dengan cepat menguasai tepi barat Sungai Nil, dari laut hingga Fayyum. Lalu dia berhenti, menunggu reaksi Fustat.{{Sfn|Walker|1998|p=137}}
Baris 116:
Sebagai pusat administrasi dan kota terbesar di negara Mesir, Fustat adalah kunci untuk mengendalikan seluruh wilayah tersebut. Pengalaman kaum Fatimiyah sendiri membuat mereka sadar akan hal ini. Dalam invasi mereka sebelumnya, meskipun mereka berhasil menduduki sebagian besar negara, kegagalan mereka untuk merebut Fustat menentukan hasil kampanye tersebut. Sebaliknya, Lev menunjuk pada karier Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid dan kesuksesan Jauhar sendiri pada tahun 969 M, sebagai bukti bahwa "penaklukan terhadap pusat lebih menentukan nasib negara, meskipun provinsi-provinsi tidak sepenuhnya ditaklukkan".{{Sfn|Lev|1979|p=320}}
Pada awal Juni, lingkaran penguasa Fustat mengirim delegasi ke Jauhar dengan membawa daftar tuntutan, terutama jaminan keselamatan pribadi mereka dan jaminan atas properti dan posisi mereka.{{Sfn|Halm|1991|p=364}}{{Sfn|Lev|1991|p=15}} Pemimpin {{Transl|ar|Ikhsyidiyyah}}, [[Nihrir al-Shuwayzan|Nihrir al-Syuwaizan]], sebagai komandan satu-satunya badan militer yang cukup besar, juga meminta agar ia dicalonkan sebagai gubernur kota suci [[Makkah|Mekah]] dan [[Madinah]], sebuah tuntutan yang ditolak oleh Lev sebagai "tidak realistis" dan mengungkapkan "kurangnya pemahaman terhadap kepekaan agama tertentu di kalangan Fatimiyah."{{Sfn|Lev|1991|p=15}} Delegasi tersebut terdiri dari para pemimpin keluarga {{Transl|ar|[[asyraf|asyrāf]]}} ,{{Efn|
Sebagai imbalan atas penyerahan negara secara damai, Jauhar, sebagai wakil al-Mu'izz, mengeluarkan surat perintah jaminan keamanan ({{Transl|ar|[[Aman (Islam)|amān]]}}) dan daftar janji kepada penduduk Mesir.{{Sfn|Brett|2001|p=300}}{{Sfn|Halm|1991|pp=364–365}}{{Efn|
=== Penaklukkan Fustat ===
Baris 125:
Jalannya konflik selanjutnya tidak jelas, karena sumber-sumber melaporkan dengan rincian yang berbeda. {{Sfn|Lev|1991|p=16 (esp. note 15)}} Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 29, tetapi Jauhar terpaksa mundur. Setelah itu, Jauhar memutuskan untuk menyeberangi sungai di tempat lain. Tergantung pada sumbernya, hal ini dilakukan dengan perahu yang disediakan oleh sekelompok Ikhsyidiyah {{Transl|ar|ghilmān}} yang membelot, atau ditangkap oleh Ja'far bin Fallah dari armada Ikhsyidiyah yang dikirim dari [[Mesir Hilir]] untuk membantu garnisun Fustat.{{Sfn|Lev|1979|p=319}} Dengan menggunakan perahu-perahu ini, Ibnu Fallah memimpin sebagian pasukan Fatimiyah menyeberang, meskipun lokasi tepatnya tidak diketahui. Menurut al-Maqrizi, empat komandan Ikhsyidiyah telah dikirim bersama pasukannya untuk memperkuat kemungkinan titik pendaratan, tetapi pasukan Fatimiyah berhasil menyeberangi sungai. Pada tanggal 3 Juli, kedua pasukan bentrok dan Fatimiyah menang. Tidak ada rincian yang diketahui, tetapi seluruh pasukan Ikhshidid yang dikirim dari Giza untuk melawan Fatimiyah dihancurkan.{{Sfn|Lev|1979|pp=319–320}} Pasukan Ikhsyidiyah lainnya kemudian meninggalkan Rawdah dan berpencar, meninggalkan Fustat dan melarikan diri hingga Suriah untuk mencari keselamatan.{{Sfn|Halm|1991|p=365}}
Fustat berada dalam kekacauan akibat peristiwa ini, tetapi pada saat itu para da'i Fatimiyah tampil, melakukan kontak dengan [[Syurthah|kepala polisi]], dan menggantungkan spanduk putih Fatimiyah{{Efn|
[[Berkas:Mosque_of_Amr_ibn_al-As.jpg|al=Photo of a paved courtyard surrounded by an arcade, with a domed pavilion in the centre over a well|ka|jmpl|300x300px| Halaman dalam [[Masjid Amru bin Ash]], tempat penakluk Mesir, Jauhar, memimpin [[salat Jumat]] setelah memasuki Fustat.]]
Pada tanggal 6 Juli, Ibn al-Furat dan Abu Ja'far Muslim, didampingi oleh para pedagang terkemuka, memimpin massa melewati jembatan ponton untuk memberi penghormatan kepada Jauhar di Giza. Pada malam yang sama, tentara Fatimiyah mulai melintasi jembatan, dan mendirikan kemah sekitar {{Convert|5|km|mi|0}} utara kota.{{Sfn|Halm|1991|p=366}} Keesokan harinya, pembagian sedekah diumumkan, dibiayai oleh harta yang dibawa Jauhar bersamanya. Uang dibagikan kepada orang miskin oleh {{Transl|ar|qāḍī}} tentara, [[Ali ibn al-Walid al-Ishbili|Ali bin al-Walid al-Isybili]].{{Sfn|Halm|1991|p=366}} Pada tanggal 9 Juli, Jauhar memimpin [[salat Jumat]] di [[Masjid Amru bin Ash|Masjid Amr]] di Fustat. Pada saat itu pengkhotbah Sunni, berpakaian dengan pakaian [[Banu Ali|Bani Ali]] yang berwarna putih dan membaca frasa asing dari sebuah catatan, membacakan {{Transl|ar|[[khutbah|khuṭbah]]}} atas nama al-Mu'izz .{{Sfn|Walker|1998|p=137}}
Baris 168:
=== Pemindahan istana Fatimiyah ke Mesir ===
Menyusul perlawanan terhadap serangan Qaramithah dan meskipun kerusuhan lokal di Mesir terus berlanjut, Jauhar menilai Mesir sudah cukup tenang untuk mengundang khalifahnya, al-Mu'izz, untuk datang ke Mesir.{{Sfn|Bianquis|1972|pp=88–89}} Khalifah Fatimiyah memulai persiapan untuk memindahkan seluruh istana, harta, dan bahkan peti mati leluhurnya dari Ifriqiyah ke Mesir.{{Sfn|Lev|1991|p=18}}{{Sfn|Kennedy|2004|p=319}} Setelah persiapan yang panjang, penguasa Fatimiyah dan rombongannya meninggalkan ibu kota mereka, al-Mansuriyah di Ifriqiyah pada tanggal 5 Agustus 972 M menuju Sardaniyah dekat Aïn Djeloula yang selama empat bulan berikutnya, para pengikut Fatimiyah yang ingin mengikuti pemimpin mereka datang ke Bergabunglah dengannya.{{Sfn|Halm|1991|pp=369–370}} Di sana, pada tanggal 2 Oktober, al-Mu'izz menunjuk Buluggin bin Ziri sebagai raja mudanya di Ifriqiyah.{{Sfn|Halm|1991|p=370}}{{Efn|
Kedatangan khalifah Fatimiyah dan istananya merupakan titik balik besar dalam sejarah Mesir. Pada masa pemerintahan Tuluniyah dan Ikhsyidiyah sebelumnya, negara ini, untuk pertama kalinya sejak [[Kerajaan Ptolemaik|masa Ptolemeus]], menjadi pusat pemerintahan independen dan muncul sebagai kekuatan regional yang otonom. Namun demikian, ambisi rezim-rezim ini bersifat regional dan terikat pada kepribadian para penguasa mereka yang sebagian dari mereka tetap berada dalam orbit istana Abbasiyah. Sedangkan rezim Fatimiyah mewakili kekuatan imperial sekaligus revolusioner, dengan mandat keagamaan yang memberi mereka pretensi ekumenis untuk menentang Abbasiyah secara langsung.{{Sfn|Sayyid|1998|pp=115–116}} Peristiwa ini juga mempunyai dampak terhadap perkembangan [[Syiah Dua Belas Imam|Syiah Imamiyah]] dan Sunni di wilayah Islam bagian timur. Dengan munculnya Fatimiyah sebagai pihak yang mengklaim kepemimpinan dunia Islam, sekte-sekte Syiah lainnya, yang paling terkenal adalah Kelompok Dua Belas Imam, dipaksa untuk membedakan diri mereka dari kelompok Isma'ili Fatimiyah, sehingga mempercepat proses pemisahan mereka menjadi sebuah komunitas tersendiri yang ditandai dengan doktrin, ritual, dan perayaan mereka sendiri. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan proses serupa di kalangan Sunni (yang disebut “Kebangkitan Sunni”), yang berpuncak pada kodifikasi doktrin Sunni dan manifesto anti-Syiah dari khalifah Abbasiyah [[al-Qadir]] ({{Memerintah|991|1031}}). Hasil dari semua ini adalah semakin menguatnya perpecahan Syiah-Sunni menjadi kelompok-kelompok yang saling eksklusif. Seperti yang ditulis oleh sejarawan [[Hugh N. Kennedy|Hugh Kennedy]], "tidak mungkin lagi menjadi seorang Muslim saja: seseorang harus memilih untuk menjadi Sunni atau Syiah". {{Sfn|Kennedy|2010|pp=387–393}} Meskipun Dinasti Fatimiyah akhirnya gagal dalam mewujudkan ambisi mereka karena pemerintahan mereka diakhiri oleh [[Salahuddin Ayyubi|Salahuddin]] pada tahun 1171, yang mengembalikan kekuasaan Sunni dan Abbasiyah ke Mesir {{Sfn|Canard|1965|pp=854–857}}, Dinasti Fatimiyah tetap berhasil mengubah Mesir dan ibu kota mereka, Kairo, sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan universal. Maka sejak itulah Mesir dan Kaironya menjadi salah satu pusat utama dalam dunia Islam.{{Sfn|Sayyid|1998|pp=116–117}}
==
{{Notelist}}
|