Federalisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 3 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 6:
Diskusi antara Inggris dan Belanda menghasilkan Penjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda [[Hubertus van Mook]] yang pada akhirnya mengusulkan penentuan nasib sendiri untuk persemakmuran Indonesia. Pada Juli 1946, Belanda menyelenggarakan [[Konferensi Malino]] di Sulawesi di mana perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia bagian timur mendukung proposal untuk berdirinya Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal, yang memiliki hubungan dengan Belanda. Republik ini akan terdiri dari tiga elemen, Republik Indonesia, negara bagian di Kalimantan dan sebuah negara bagian untuk Indonesia Timur. Selanjutnya pada tanggal 15 November dengan [[Perjanjian Linggarjati]], di mana Republik Indonesia menyatakan secara sepihak menyetujui prinsip Indonesia federal. Belanda kemudian menyelenggarakan Konferensi Denpasar pada Desember 1946, yang mengarah pada pembentukan [[Negara Indonesia Timur]], diikuti oleh sebuah negara di Kalimantan Barat pada tahun 1947.
 
Aksi militer yang dilancarkan Belanda pada tanggal 20 Juli 1947 terhadap wilayah yang dikuasai Republik Indonesia, yang disebut sebagai [[Agresi Militer Belanda I]] mengakibatkan Belanda memperoleh kembali kendali atas Jawa Barat dan Jawa Timur, juga wilayah sekitar [[Medan]], [[Palembang]] dan [[Padang]] di [[Sumatra]]. [[PBB]] kemudian menyerukan gencatan senjata, dan negosiasi antara kedua belah pihak mengarah pada [[Perjanjian Renville]] bulan Januari 1948, dengan gencatan senjata di sepanjang [[Garis Van Mook]] yang menghubungkan antara titik-titik terdepan daerah yang diduduki Belanda. Belanda kemudian mendirikan negara-negara bagian di wilayah-wilayah yang mereka duduki, antara lain [[Sumatra Timur]] (Desember 1947); [[Madura]] dan [[Jawa Barat]] (Februari 1948); [[SumatraSumatera Selatan]] (September 1948; dan [[Jawa Timur]] (November 1948). Para pemimpin di wilayah ini kemudian membentuk apa yang disebut sebagai [[Majelis Permusyawaratan Federal]]/''Bijeenkomst voor Federaal Overleg'' (BFO).
 
[[Berkas:Round Table Signing.jpg|kiri|250px|jmpl|[[J.H. van Maarseveen]], [[Sultan Hamid II]] dan [[Mohammad Hatta]] menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949.]]