Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib) |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
Baris 27:
== Sejarah ==
=== Zaman Pra-Kerajaan ===
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan di [[Ranah Minang|tanah Minang]], sistem sosial dan politik masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem ''[[Nagari|kanagarian]]'' yang otonom, dimana masing-masing nagari mengatur sistem politiknya sesuai dengan tata cara dan pola kehidupan masyarakatnya. Pada masa ini nagari di Minangkabau merupakan sebuah [[republik]] mini yang memiliki otonomi dan kemerdekaannya masing-masing.<ref>Rusli Amran,
=== Zaman Kerajaan ===
Baris 38:
Karena penguasaan tambang emas di pedalaman Sumatra, pada abad ke-14 hingga abad ke-18 Kerajaan Pagaruyung menjadi salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di [[Sumatra]] dan Semenanjung Malaysia.<ref>Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, 2008</ref> Sistem politik Pagaruyung terdiri dari tiga raja (''[[Rajo Tigo Selo]]'') yang dipimpin oleh ''[[Raja Alam]]'' yang bertugas melaksanakan pemerintahan. Raja Alam dibantu oleh dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' dan ''Raja Ibadat''. Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut ''[[Basa Ampek Balai]]'' yang terdiri dari ''Bandaro'', ''Makhudum'', ''Indomo'', dan ''[[Tuan Gadang]]''. Untuk memperkuat kedudukan Raja Alam, pemerintahan Pagaruyung juga mengangkat raja-raja ''vassal'' di seluruh Sumatra.<ref>Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, 2004</ref>
Koloni dagang serta kerajaan orang-orang Minang juga terbentang di sepanjang pantai barat Sumatra dari [[Tapak Tuan, Aceh Selatan|Tapaktuan]], [[Barus, Tapanuli Tengah|Barus]], [[Kota Sibolga|Sibolga]], [[Natal, Mandailing Natal|Natal]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Kota Bengkulu|Bengkulu]], hingga [[Kabupaten Lampung Barat|Lampung Barat]]. Di wilayah ini politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Indrapura]].<ref name="Kat1">{{cite journal| last =Kathirithamby-Wells | first = J.| year = 1976| title = The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century| journal = Indonesia | volume = 21 | pages = 65-84}}</ref> Di pesisir timur Sumatra, politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Kota Pinang]] yang kemudian para keturunannya menjadi raja-raja di [[Kesultanan Asahan]], [[Kerajaan Pannai|Pannai]], dan Bilah.<ref>Tengku Ferry Bustamam, Bunga Rampai Kesultanan Asahan, 2003</ref> Sama seperti halnya dengan pendirian nagari-nagari di [[Dataran Tinggi Minangkabau|dataran tinggi Minangkabau]] yang mensyaratkan adanya empat suku, pendirian kota-kota dagang dan kerajaan di rantau timur-pun pada umumnya mengambil sistem politik "Datuk Empat Suku". Dimana musyawarah para datuk tersebut yang akan menentukan pemimpin dan para sultan di kerajaan.<ref>Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di
Pada abad ke-17, kedudukan politik Minangkabau di [[Selat Malaka]] dan Semenanjung Malaysia mulai menguat. Tahun 1718 di bawah kepemimpinan [[Abdul Jalil Syah dari Siak|Raja Kecil]], para politisi Minangkabau menduduki tahta [[Kesultanan Johor-Riau]]. Empat tahun kemudian, tahta Raja Kecil dikudeta oleh pasukan [[Suku Bugis|Bugis]] pimpinan Daeng Parani. Kemudian ia pergi ke [[Provinsi Riau|Riau]] dan mendirikan [[Kesultanan Siak Sri Inderapura]].<ref>Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala Lumpur, 2008</ref> Pada tahun 1773, untuk memperkuat kedudukan politik orang Minang di Semenanjung Malaysia, masyarakat [[Negeri Sembilan]] menjemput [[Raja Melewar]] dari [[Pagaruyung]].<ref>[[P. E. de Josselin de Jong]] (1951), Minangkabau and Negri Sembilan, Leiden, The Hague</ref> Keturunan Raja Melewar inilah kemudian yang banyak menjadi pemimpin politik di Malaysia.
|