Angklung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Mengembalikan suntingan oleh Thesillent (bicara) ke revisi terakhir oleh Ariandi Lie
Tag: Pengembalian
Baris 37:
 
== Asal-usul angklung ==
{{Referensi}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Jonge angklungspelers West-Java TMnr 10017867.jpg|jmpl|Anak-anak Sunda bermain angklung di awal abad ke-20.]]
Tidak ada petunjuk akan sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
 
Catatan mengenai angklung yang baru muncul merujuk pada masa [[Kerajaan Sunda]] (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu seperti angklung berdasar pada pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (''paré'') sebagai makanan pokoknya. {{fact}} Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap [[Dewi Sri|Nyai Sri Pohaci]] sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (''hirup-hurip'').<ref>{{Cite web|url=https://penalis.com/seni-budaya/angklung/|title=Angklung, Warisan Budaya Sunda Kebanggaan Indonesia|website=penalis.com|language=id-ID|access-date=2021-05-24|archive-date=2021-05-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20210525043343/https://penalis.com/seni-budaya/angklung/|dead-url=no}}</ref> [[Suku Badui|Masyarakat Badui]], yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman [[padi]]. Permainan angklung gubrag di [[Jasinga]], [[Bogor]], adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.<ref>{{Cite web|title=Angklung, Warisan Budaya Sunda Kebanggaan Indonesia|url=https://penalis.com/seni-budaya/angklung/|website=penalis.com|language=id-ID|archive-url=https://web.archive.org/web/20210525043343/https://penalis.com/seni-budaya/angklung/|archive-date=2021-05-25|dead-url=no|access-date=2021-05-24}}</ref>
 
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah [[bambu hitam]] (''awi wulung'') dan [[bambu ater]] (''awi temen''), yang jika mengering berwarna kuning keputihan. Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah tiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
 
Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa kerajaan Sunda adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah [[Hindia Belanda]] sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.{{fact}}
 
Selanjutnya, lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, dan kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan ''Seren Taun'' dipersembahkan permainan angklung. Pada penyajian angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong, Dongdang, dan Jampana (usungan pangan) juga sebagainya.
 
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatra. Pada [[1908]], tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke [[Thailand]], antara lain ditandai dengan penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.{{fact}}
 
Bahkan sejak [[1966]], [[Udjo Ngalagena]], tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda, mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.