Perang Pacirebonan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 5:
== Latar belakang ==
 
Pada tahun 1588 ketika [[kesultanan Mataram]] muncul setelah meninggalnya Sultan [[Adiwijaya dari Pajang|Hadiwijaya]] dari [[kerajaan Pajang]], pendirinya [[Senapati dari Mataram|Danang Sutawijaya]] kemudianlalu mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinyaeksistensi Kesultanan baru ini sementara kesultanan Cirebon yang pada masa itu diperintah oleh [[Panembahan Ratu I]] atau Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalahhanya sebuah ''Kadipaten'' dari [[kerajaan Pajang]] kiniyang berubah menjadi kesultanan yang mandiri,. namun demikian,Namun [[kesultananKesultanan Banten]] pada masa itu belum mengakui eksistensi [[kesultanan Mataram]], Sultan [[Maulana Muhammad, sultandari Banten|Maulana yangMuhammad]], bertahtapenguasa Banten saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (beliau naik tahta pada 1585<ref>Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara”: [[Yogyakarta]]: Deepublish</ref> pada usia 9 tahun).<ref name=Mukarrom>Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam Indonesia I: Dari Awal Islamisasi
sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. [[Surabaya]]: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel</ref>
 
=== Masa Sultan Maulana Muhammad dan Penyerangan Mataram Pertama ===
 
[[Kesultanan Banten]] pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukan dengan klaim tahtatakhta oleh [[Pangeran Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf]], ayahpaman dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh [[Ratu Kalinyamat]], (putri Sultan [[Trenggana dari Demak]] sekaligus istri dari pangeranPangeran Hadiri seorang Adipatiadipati Jepara) ). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada [[kesultananKesultanan Banten]] agar dirinya dijadikan wali penguasa [[kesultanan Banten]] sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang pemerintahan, namun usul tersebut ditolak oleh para pejabatpembesar [[kesultananKesultanan Banten]] yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten,. paraPara pejabatpembesar dengan dukungan ''Qadi'' [[kesultananKesultanan Banten]] padadi masatahun itu1585 mengangkat Maulana Muhammad sebagai Sultansultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Bantenusianya cukup untuk memegang pemerintahan, maka para ''Qadi'' dibantu denganmengangkat empat pejabat lainnyatokoh menjadi wakilwali Sultansultan Banten dalam memerintah [[kesultanan Banten]],<ref name=Graafkerajaan>de Graaf, Hermanus Johannes. Theodore Gauthier Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. [[Jakarta]]: Grafitipers</ref> mereka diantaranya adalah ''Patih'' (bahasa Indonesia: Perdana Menteri) Jayanegara,<ref name=Mukarrom/> ''Senapati'' (bahasa Indonesia: Panglima) Pontang, ''Ki'' Waduaji dan ''Ki'' Wijamanggala.<ref name="Mukarrom" />
 
Penolakan ''para Qadi'' dan para pejabat [[kesultananpembesar Banten]] membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang [[kesultananKesultanan Banten]]. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan ''Demang Laksamana'' (bahasa Indonesia: Laksamana)dari Jepara pergiberangkat menuju [[kesultanan Banten]] melalui jalur laut, dalam peperanganpertempuran tersebut ''Demang Laksamana'' Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.<ref name=Graafkerajaan/>
 
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta RajaKutaraja di Cirebon, sejarawan Husein Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan [[Banten]] menemukan bahwa pada tahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 pasukannya untuk menyerang [[kesultanan Banten]] dari laut namun gagal.<ref name=djajadiningrat>Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> Sultan Maulana Muhammad padayang masamasih itumuda disibukkan dengan kegiatan dakwah [[Islam]] dan baru pada tahun 1596 (tahun yang sama dengan penyerangan [[Mataram]] ke [[kesultanan Banten]]) atas masukan dari Pangeran Mas (puteraputra [[Arya Penggiripangiri|Arya Pangiri]], cucu Sunan Prawoto dari [[kesultananKesultanan Demak]]) yang berambisi menjadi penguasa [[Kerajaan Palembang|Palembang]] maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafatgugur terkena peluru meriam dan meninggalkan putra mahkota [[kesultanan Banten]] yang baru berusia 5 bulan<ref name=Mukarrom/> yang kemudian dikenal dengan nama Sultan [[Abu al-Mafakhir Mufakirdari Banten|Abul Mafakhir]].<ref>{{Cite book|last=Hatmadji|first=Drs H. Tri|date=2007|url=https://books.google.com/books?id=yqCHCgAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA116&dq=%22Maulana+Muhammad%22+Palembang+meriam&hl=id|title=Ragam Pusaka Budaya Banten|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|isbn=978-979-99324-0-2|language=id}}</ref>
 
=== Masa Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir ===
 
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan ''Patih'' Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. ''Patih'' Jayanegara dikenal sebagai pejabat [[kesultanan Banten]] yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali [[kesultanan Banten]], kesultanan berada dalam kondisi yang tenteram<ref name=Mukarrom/>
Baris 22:
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_Corneliszoon_van_Neck Jacob Corneliszoon van Neck] ditemani oleh wakil laksamana Wybrand van Warwyck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu yaitu [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk], van Heemskerk pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi perang Delapan puluh tahun antara Belanda dengan Spanyol, Belanda yang selama ini mengambil rempah dari [[Lisbon]] (Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, namun usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada dibawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika ''Itineratio'' sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari laporan [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan (Afrika), misi itu dipimpin oleh [[Cornelis de Houtman]], namun [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah beliau ikut serta kedalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang ahli astronomi dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flander (sekarang bagian dari [[Belgia]]) yang bernama [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Petrus_Plancius Pieter Platevoet]. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya.<ref name=Masselman>Masselman, George. 1963. The Cradle of Colonialism. [[New Haven, Connecticut|New Haven]]: Yale University Press</ref> Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh [[kesultanan Banten]], tidak seperti pendahulunya yakni [[Cornelis de Houtman]] yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal -kapal pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke Banten,<ref name=Masselman/> walaupun sebenarnya sikap [[Cornelis de Houtman]] dilatar belakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan [[Cornelis de Houtman]] bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan [[Cornelis de Houtman]] pergi ke Sumatra untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar,<ref name=Masselman/> kejadian itu membuat [[Cornelis de Houtman]] kesal hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.
 
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan AbuAbul al MufakhirMafakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.
 
Pada tahun 1602, ''Patih'' Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan AbuAbul al MufakhirMafakhir,<ref name=djajadiningrat/> setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah [[kesultanan Banten]] yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.
 
Keberadaan ''Patih'' sudah tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah [[kesultanan Banten]] sehingga dikatakan bahwa kekuasaan ''Patih'' yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah ''Jung'' ([[bahasa Indonesia]]: Kapal) dari [[Johor]] oleh Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan ''Patih'' untuk melepaskan ''Jung'' tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan ''Patih'', mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota, masalah ini kemudian dapat diseleseikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara ''khitanan'' Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir Abdul Kadir pada saat itu ''Patih'' meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara [[kesultanan Banten]] dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah [[kesultanan Banten]] selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga<ref name=djajadiningrat/>
 
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama ''Pailir'' ([[bahasa Indonesia]]: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ''ponggawa (pejabat)'', sebenarnya peristiwa ''Pailir'' disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah ''Pangeran Ranamanggala'' dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh ''Patih'' yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan [[kesultanan Banten]] setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa [[kesultanan Banten]] tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di [[kesultanan Banten]] terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608.<ref name=Claude1>Guillot, Claude. 2008.
Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> Kacaunya kondisi [[kesultanan Banten]] kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan ''Patih'' dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak [[kesultanan Banten]] hingga lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh ''Patih'' sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh ''Patih'' diserahkan kepada ''Depati'' Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi [[kesultanan Banten]].
 
Pada tanggal 23 Oktober 1608, ''Depati'' Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga ''Patih'' keluar tanpa membawa Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir, dikatakan bahwa, walaupun ''Patih'' yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada [[kesultanan Banten]] dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun beliau sebagai ayah sambung dari Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir menjalankan tugasnya dengan sangat baik, beliau mendidik Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abu alAbul MufakirMafakhir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah ''Patih'' dan Juru tulisnya keluar dari keraton, ''Depati'' Yudanegara kemudian membunuhya.
 
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (''Patih'') sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 di mana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman ''Patih'' namun pada peristiwa ini ''Patih'' berhasil selamat<ref name=Claude1/>
 
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara ''Patih'' [[kesultanan Banten]], keadaan Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir menjadi rentan, beliau yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya, dilatar belakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara selaku ''Patih'' [[kesultanan Banten]], namun Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku ''Patih'' [[kesultanan Banten]] inilah yang kemudian membuat ''Depati'' Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini membuat ''Depati'' Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa Pailir.
 
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada ''Ki'' Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.<ref name=Claude1/>
 
Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama ''Ki'' Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu mengubah keadaan. Perang yang oleh Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir (masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617,<ref>Ijzerman, Jan Willem. 1923. Cornelis Buijsero te Bantam, 1616-1618: zijn brieven en journaal / met inleiding en bijlagen uitg. door J. W. Ijzerman. Den Haag: Martinus Nijhoof</ref> para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abu alAbul MufakirMafakhir yang masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala ''Tanpa Guna Tataning Prang'' (1530 saka / 1608 m) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609<ref name=djajadiningrat/> sementara inti peperangan dalam peristiwa ''Pailir'' berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.
 
Selepas peristiwa ''Pailir'' Pangeran Ranamanggala menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para pedagang eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang eropa di wilayah [[kesultanan Banten]] tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan internal [[kesultanan Banten]]<ref name=Mukarrom/>
Baris 65:
Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di [[Banten]] turun. [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen]] menyerang kapal-kapal dagang Cina<ref>Vlekke, Bernard Hubertus Maria. 2008. Nusantara: sejarah Indonesia. [[Jakarta]]: Gramedia</ref>
 
=== Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir dan Penyerangan gabungan Mataram-Palembang ke [[kesultanan Banten]] ===
 
Pada awal 1624, wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala menyerahkan jabatannya kepada Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir Mahmud Abdul Kadir dikarenakan beliau menderita sakit, kedudukan Pangeran Ranamanggala kemudian bergeser menjadi penasihat sultan [[Banten]], peranan besar Pangeran Ranumanggala sebagai penasihat sultan [[Banten]] adalah dikeluarkannya surat keputusan [[kesultanan Banten]] mengenai hubungannya dengan Belanda, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan persahabatan antara negara, maka [[kesultanan Banten]] tidak diperbolehkan bersahabat dengan Belanda. Pada 16 Nombember 1624, penyerahan mutlak kekuasaan [[kesultanan Banten]] dari Pangeran Ranamanggala kepada Sultan Abu alAbul MufakirMafakhir Mahmud Abdul Kadir dilakukan dan pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Ranamanggala wafat, jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah barat area [[masjid Agung Banten]], beliau kemudian dikenal dengan nama Pangeran Gede<ref name=djajadiningrat/>
 
Pada 1626, dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] melakukan penyerangan kembali kepada [[kesultanan Banten]] yang kali ini dibantu oleh [[Palembang]], namun penyerangan ini juga tidak berhasil<ref name=djajadiningrat/>
Baris 95:
=== Banten bersiap perang ===
 
Pada laporannya, setelah utusan [[kesultanan Banten]] yaitu Astranaya yang dikirim ke Mataram pulang, Astranaya melaporkan bahwa situasi di Mataram mencekam, Astranaya yang oleh [[kesultanan Banten]] biasa diutus ke ''Keling'' (India), Palembang, Jambi, Bali, Aceh, Johor dan Makassar menuturkan jika selama di Mataram dia diawasi sehingga membuatnya harus selalu waspada siang dan malam, bagi Astranaya, dia belum pernah melihat tingkah laku orang sebagaimana orang Mataram yang selama dalam perjalanannya semua serba tersamarkan. Astranaya berpendapat bahwa Mataram akan menyerang [[kesultanan Banten]], dari keterangan Astranaya, Sultan Banten pada waktu itu yaitu Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir Abdul Kadir memerintahkan untuk membuat kapal besar, Pangeran Abu al Maali (ayah Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) membantu pengerjaan tersebut dengan membuat kapal besar yang sangat indah dengan ahli pembuatnya yang bernama Kyai Putu Jamil (nama yang biasa disebutkan Werektinata (seorang pejabat kesultanan)) sementara Pangeran Surya membantu dalam pembuatan kapal besar bergaya China atau yang biasa disebut Wangkang dengan ahli pembuatnya yang bernama Wangkoh, kedua kapal besar tersebut selesai dibuat dan diujicoba pada 1571 saka sesuai dengan sangkala ''iku nunggang tah jurit''<ref name=titik2/> atau sekitar tahun 1649 m.<ref name=yuyun>Juariyah, Yuyun. 2016. Jurnal al-Tsaqafa : Menelusuri Jejak Islamisasi Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. [[Bandung]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati</ref>
 
=== Meninggalnya Abu al Ma'ali Ahmad dan naiknya pangeran Surya ===
 
Dua tahun setelah pembuatan ''gorab'' dan ''wangkang'' selesai pangeran Abu al Ma'ali Ahmad menderita sakit hingga beliau akhirnya meninggal dunia pada 1651 m<ref>Hatmadji, Drs. H. Tri. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. [[Serang]] : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang</ref> (namun menurut Tujimah, pangeran Abu al Ma'ali telah meninggal pada 1650 m<ref name=tujimah1>Tujimah. 1987. Syekh Jusuf Makasar : riwayat hidup, karya, dan ajarannya. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref>), putranya yang bernama pangeran Surya kemudian menggantikan posisinya sebagai putera mahkota [[kesultanan Banten]] dengan gelar ''Pangeran Dipati'', tidak lama pangeran Surya naik tahta sebagai sultan muda (putera mahkota) kemudian datanglah utusan lagi dari [[kesultanan Cirebon]] kali ini yang datang untuk membujuk [[kesultanan Banten]] untuk mengakui eksistensi Mataram adalah dua pemuda kembar bernama Jiwaprana dan Nalawangsa, menurut sultan AbuAbul al MufakirMafakhir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram namun sultan Abu alAbul MafakirMafakhir tetap tidak bersedia.<ref name=titik2/>
 
=== Cirebon mengirim pangeran Martasari dan pangeran Suradimarta ===
 
Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk sultan AbuAbul al MafakirMafakhir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat penguasa Cirebon yaitu sultan Abdul Karim mengirimkan langsung keluarganya yaitu pangeran Martasari, pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat [[kesultanan Cirebon]] yang bernama Wiratantaha, setibanya di [[kesultanan Banten]] rombongan keluarga [[kesultanan Cirebon]] diterima di keraton Surosowan, pangeran Surya duduk disebelah pangeran Suradimarta<ref name=titik2/>
 
Pembicaraan yang terkesan lebih hangat karena dilakukan langsung antar keluarga besar kemudian digelar di Surosowan, Pangeran Martasari menyampaikan pesan dari [[Mataram]] agar Sultan Banten mau bertemu dengan Raja Mataram [[Amangkurat I]], mengakui eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda.<ref name=erwantoro/> Sultan AbuAbul al MafakirMafakhir dengan segera menolak untuk pergi ke Mataram menemui raja [[Amangkurat I]], Sultan Abu alAbul MafakirMafakhir berkata kepada pangeran Martasari dan rombongan [[kesultanan Cirebon]]
 
{{Cquote|isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun<br><br>saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri<ref name=titik2/> (sultan Mekah)}}
Baris 111:
Pada pertemuan itu, Pangeran Surya (yang pada kemudian hari menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) mengajak kepada rombongan Cirebon agar [[kesultanan Cirebon]] lebih baik bersekutu dengan [[kesultanan Banten]] daripada dengan Mataram, Pangeran Surya mengingatkan bahwa Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan [[kesultanan Cirebon]]<ref name=erwantoro/>
 
Sikap Sultan Banten AbuAbul al MufakirMafakhir kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Sultan Cirebon, Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sangat marah dengan kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta untuk meyakinkan [[Kesultanan Banten]] agar mau mengakui Mataram<ref name=titik2/>
 
=== Sultan Abdul Karim ditahan oleh Mataram ===
Baris 123:
=== Pengumuman di Alun Alun Surosowan ===
 
Pada pagi hari seluruh warga, ''ponggawa'', menteri dan aparat desa serta pedagang diperintahkan oleh Sultan AbuAbul al MafakirMafakhir untuk berkumpul di alun alun, semua yang hadir mendekat ke ''siti hinggil'' Surosowan, di sana Sultan Abu alAbul MufakirMafakhir berkata,
 
{{cquote| ''kabeh syami wikana, karsaning Cirebon iku arsa mangke naklukana''<br><br>kalian semua ketahuilah, keinginan Cirebon itu (sesungguhnya) ingin menaklukan (Banten)<br><br>''kaprebe yen ing besyuk kita katekan Mataram, kita iki negara alit, pastine nore kawawa musuh nagara gedhe, imbane kita punika, kadi ing wong satunggal den kembulane wong satus, yadyan kulita tambaga, kadi karubuwan wukir, nanging to lah isun sangga, sakawawa-wawaningwang, ora yen isun arepa taluk maring Mataram, amung to lah ratuisyun kanjeng sultan Jahed Mekah, iku ingkang amberkati, nanging syih iku menawa ing besyuk wong anom anom kang arep taluk marana, maring Ratu Mataram iku, silih karepisun, kaprebe ing wong kathah?''<br><br>bagaimana jika kelak kita diserbu Mataram, kita negara kecil pasti tidak seimbang jika melawan negara besar, ibaratnya kita ini seperti orang satu dikeroyok orang seratus walaupun kulitnya (dari) tembaga,(ibaratnya) seperti kerubuhan gunung, tetapi bagaimanapun akan aku sangga sekuat-kuatku, bagaimanapun aku tidak akan mau takluk kepada Mataram, rajaku hanyalah Kanjeng Sultan Jahed (di) Mekah, itu yang memberkati Banten, tetapi itu sih kalaupun kelak yang muda-muda mau takluk ke sana kepada Raja Mataram itu berbeda dengan keinginanku, bagaimana menurut kalian semua?<ref name=titik2/>}}
 
Perkataan Sultan AbuAbul al MufakirMafakhir dijawab oleh semua yang hadir di alun-alun Surosowan bahwa lebih baik [[kesultanan Banten]] hancur daripada harus takluk kepada Mataram. Sultan Banten lantas memerintahkan agar semua bersiap berperang, seluruh senjata dikeluarkan dari seluruh ''pasowan'' (balai pertemuan) yang ada, senjata telah tersedia di dua ''pasowanan'', dua orang pengawal yang berada di sana yaitu Tubagus Atmaja dan Tubagus Wiranantaya meyakinkan Sultan Banten bahwa senjata telah siap digunakan kapanpun. Sultanpun memerintahkan agar seluruh bala tentara berbaris rapi di Warutanjak, Sultan membagi-bagikan tugas kepada yang hadir di sana.<ref name=titik2/>
 
Pasca Sultan membagikan tugas di Warutanjak suasana digambarkan riuh dengan para menteri, prajurit dan pembantunya yang akan keluar dari ''lawang Padudan'' (pintu Padudan) sementara Sultan kembali ke dalam keraton, banyaknya orang yang saling mendahului untuk keluar membuat ''lawang Padudan'' kemudian patah akibat pukulan, dorongan dan desakan orang yang ingin keluar secepatnya. Pada naskah Banten dijelaskan yang keluar dari ''lawang Padudan'' secara berurutan adalah para pembantu dan anak-anak yang menyaksikan di Warutanjak, para menteri, prajurit, pengawal, para aparatur desa (para ''bekel'' dan ''lurah'') dan para prajurit dari Lampung serta paling terakhir adalah ''para nyilian'' (para prajurit pinjaman), sementara para petinggi lainnya yang berada disebelah timur, mereka keluar melalui ''lawang Dipangga'' (pintu Dipangga), semua keluar memenuhi alun-alun sebelum pulang ke kediamannya masing-masing, hanya sebagian prajurit yang ditugaskan untuk berjaga di Warutanjak lengkap dengan senjatanya.<ref name=titik2/>