Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Baris 107:
Tahun [[1899]], Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putra mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Alimuddin]]. Pada tahun [[1907]], misi [[Katolik]] pertama didirikan di [[Laham, Kutai Barat]]. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 [[Gulden]] per tahun kepada Sultan Kutai Kertanegara. [[Aji Muhammad Alimuddin|Sultan Alimuddin]] hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, dia wafat pada tahun [[1910]]. Berhubung pada waktu itu putra mahkota [[Aji Muhammad Parikesit|Aji Kaget]] masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh [[Aji Pangeran Mangkunegoro]].
 
[[Berkas:Kroning van de sultan van Koetei Aji Muhammad Parikesit te Tenggarong, KITLV 116449.tiff|jmpl|265px|[[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]] tampil di beranda keraton usai upacara penobatannya pada tahun 1920, didampingi permaisuri, para pangeran senior, serta pejabat-para pejabat tinggi [[Hindia Belanda]] di Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur (''Zuid en Oost Borneo Residentie'').]]
 
Pada tanggal [[14 Nopember]] [[1920]], Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Parikesit]] namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri I-lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. Dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak; menurut cerita, yang seharusnya menjadi raja adalah anak dari permaisuri, dan permaisuri tidak harus istri pertama, karena terkadang permaisuri diangkat menurut status kedudukan orang tuanya. Itu Peraturan Kerajaan, berbeda dengan hukum Islam, jadi Aji Muhammad Parikesit adalah pemegang takhta yang sah, yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Kutai pada saat itu (sempat dilakukan semacam permintaan dukungan dari masyarakat terhadap kedua orang calon raja tersebut).