Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Baris 56:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Straatgezicht te Tengaroeng TMnr 5795-6.jpg|jmpl|265px|Litografi rumah-rumah penduduk di kota [[Tenggarong]], ibu kota Kesultanan Kutai, sekitar tahun 1879-1880.]]
 
Menurut [[Hikayat Banjar]] dan [[Kotawaringin]] (1663), negeri Kutai merupakan salah satu ''tanah di atas angin'' (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh [[Kesultanan Banjar]]. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian [[VOC]] dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan [[VOC]] membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun [[1636]], Kutai diklaim oleh [[Kesultanan Banjar]] sebagai salah satu [[vazal]]nya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622).<ref name="Gazali">M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.</ref> Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal [[Kesultanan Demak]] (penerus [[Majapahit]]), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum [[perjanjian Bungaya]]) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam [[Paser]] serta [[Kutai]], [[Berau]] dan Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja [[Tallo, Makassar|Tallo]] yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun [[1638]]-[[1654]].<ref name="Hikayat Banjar">[[Johannes Jacobus Ras]], Hikayat Banjar terjemahan dalam [[Bahasa Malaysia]] oleh [[Siti Hawa Salleh]], Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - [[Selangor]] Darul Ehsan, [[Malaysia]] [[1990]]</ref>
 
Sekitar tahun 1638 (sebelum [[Perjanjian Bungaya]]) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam [[Paser]] serta [[Kutai]], [[Berau]] dan Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja [[Tallo, Makassar|Tallo]] yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun [[1638]]-[[1654]].<ref name="Hikayat Banjar">[[Johannes Jacobus Ras]], Hikayat Banjar terjemahan dalam [[Bahasa Malaysia]] oleh [[Siti Hawa Salleh]], Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - [[Selangor]] Darul Ehsan, [[Malaysia]] [[1990]]</ref>
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada [[1765]], VOC Belanda berjanji membantu [[Sultan]] [[Tamjidullah I dari Banjar|Tamjidullah I]] yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai berdasarkan [[perjanjian]] [[20 Oktober]] [[1756]].<ref name="Bandjermasin">{{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh [[La Maddukelleng]] (raja [[Wajo]]) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami kegagalan.
 
Tahun 1747, [[VOC Belanda]] mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada [[1765]], VOC Belanda berjanji membantu [[Sultan]] [[Tamjidullah I dari Banjar|Tamjidullah I]] yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai berdasarkan [[perjanjian]] [[20 Oktober]] [[1756]].<ref name="Bandjermasin">{{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh [[La Maddukelleng]] (raja [[Wajo]]) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami kegagalan.
 
Pada [[13 Agustus]] [[1787]], Sultan Banjar [[Sunan Nata Alam]] membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari [[Sultan Banten]]. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng [[Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin|Tatas]] dan benteng [[Tabanio, Takisung, Tanah Laut|Tabanio]] kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar.<ref name="Bandjermasin" /> Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada [[1 Januari]] [[1817]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.<ref>{{id icon}}{{cite book|last=Poesponegoro|year=1992|url=http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|title=Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19|location=Indonesia|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=979-407-410-1|access-date=2012-05-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20141220192121/http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-date=2014-12-20|coauthors=Nugroho Notosusanto|fisrt=Marwati Djoened|dead-url=yes}}ISBN 978-979-407-410-7</ref> Perjanjian berikutnya pada tahun [[1823]], negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada [[13 September]] [[1823]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.<ref name="Bandjermasin" />
 
Secara hukum, Kutai dianggap negara bagian di dalam negara[[Kesultanan Banjar|Negara Banjar]]. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] di Kalimantan menurut Perjanjian [[Adam dari Banjar|Sultan Adam al-Watsiq Billah]] dengan Hindia Belanda, yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal [[4 Mei]] [[1826]].<ref name="Bandjermasin" />
 
=== Pemindahan Ibu Kota Kerajaan ===
Baris 68 ⟶ 70:
[[Berkas:Gewoon Maleisch woonhuis te Samarinda, KITLV 36C114.tiff|jmpl|265px|Litografi rumah panggung milik warga [[Suku Kutai]] di tepi [[Sungai Mahakam]], [[Samarinda]], sekitar tahun 1879-1880.]]
 
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. [[Aji Muhammad Idris]] merupakan raja Kutai Kertanegara pertama yang memakai gelar [[Sultan]] sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi [[Tamjidullah I dari Banjar|Sultan Banjar]] yang berada dalam pengaruh [[VOC]]. Sultan [[Aji Muhammad Idris]] yang merupakan menantu dari Sultan Wajo [[La Madukelleng]] berangkat ke tanah [[Kesultanan Wajo|Wajo]], [[Sulawesi Selatan]] untuk turut bertempur melawan [[VOC]] bersama rakyat [[Bugis]]. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.<ref name="Kesultanan Kutai 1"/>
 
Pada tahun [[1739]], Sultan [[Aji Muhammad Idris]] gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Aji Muhammad Idris, terjadi kudeta takhta kerajaan oleh [[Aji Muhammad Aliyeddin|Aji Kado]]. Putra mahkota kerajaan, yakni [[Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut]] yang saat itu masih belia kemudian dilarikan ke Wajo.<ref name="Kesultanan Kutai 1"/> Aji Kado kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Aliyeddin]].