Aksara Jawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 22 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 4:
|altname=ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
|type=[[abugida]]
|languages=[[Bahasa Jawa|Jawa]], [[Bahasa Sunda|Sunda]] (historis), [[Bahasa Madura|Madura]], [[Bahasa Sasak|Sasak]], [[Bahasa Melayu|Melayu]], [[bahasa Kawi|Kawi]], [[Sanskerta]]
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}{{efn|name=fn1}}
|fam2=[[Aksara Pallawa]]
Baris 19:
{{Contains special characters|Javanese}}
'''Aksara Jawa''',
[[File:Aksara Jawa Nyk Ngayogyan Jejeg.svg|thumb|Tulisan Aksara Jawa menggunakan font [[Nyk Ngayogyan Jejeg]]]]
Aksara Jawa adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara [[Aksara Brahmi|Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'')<ref>{{Cite journal|last=Widiarti|first=Anastasia Rita|last2=Pulungan|first2=Reza|date=28 April 2020|title=A method for solving scriptio continua in Javanese manuscript transliteration|url=http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844020306721|journal=Heliyon|language=en|volume=6|issue=4|pages=e03827|doi=10.1016/j.heliyon.2020.e03827|issn=2405-8440
== Sejarah ==
Baris 34:
| caption2 =
}}-->
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian [[epigrafi]]s secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi [[aksara Pallawa]] di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi [[aksara Kawi]] yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Jawa.<ref name="holle">{{Cite Journal|title=Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten|last=Holle|first=K F|journal=Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie|year=1882|place=Batavia|publisher=W. Bruining|oclc=220137657|url=http://dbooks.bodleian.ox.ac.uk/books/PDFs/590496015.pdf|page=xi, 9-35
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam variasi dan gaya penulisan yang digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya.{{sfn|Behrend|1996|pp=162}}{{efn|Mengenai ragam langgam aksara Jawa, T E Behrend menulis sebagaimana berikut:{{Verse translation|lang=en|
Baris 55:
| caption2 = ''Serat Yusuf'' dalam naskah kertas, koleksi [[Museum Sonobudoyo]]
}}
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. [[Aksara Kawi]] yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk [[prasasti]] batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media [[lontar]], yakni daun [[siwalan|palem tal]] (''Borassus flabellifer'', disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.<ref>{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/41017543_Balinese_palm-leaf_manuscripts|title=Balinese palm-leaf manuscripts|first=H I R|last=Hinzler|year=1993|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=149|issue=3|doi=10.1163/22134379-90003116
Pada abad ke-13, [[kertas]] mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama [[Islam]] yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku [[kodeks]]. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}} Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut [[daluang]], dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: ''dluwang'') adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon [[Daluang|saéh]] (''Broussonetia papyrifera'', disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di [[keraton]] dan [[pesantren]] Jawa antara abad ke-16 dan 17.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}}<ref name="tey">{{cite book |last=Teygeler|first=R|chapter=The Myth of Javanese Paper |url=https://www.academia.edu/35977126/The_myth_of_Javanese_paper |title=Timeless Paper|editor=R Seitzinger|publisher=Gentenaar & Torley Publishers|year=2002|isbn=9073803039|location=Rijswijk|language=EN|ref=harv
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari [[Eropa]]. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal–kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah terbatas.{{efn|VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa yang beroperasi antara tahun 1665–1681. Namun pabrik tersebut tidak mampu memenuhi semua permintaan kertas di Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengiriman dari Eropa.<ref name="tey"/>}} Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu disuplementasikan dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya hingga abad ke-19.<ref name="tey"/> Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}} Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.{{sfn|Molen|2000|pp=154-158}}
Baris 78:
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks [[sastra Jawa|sastra tradisional Jawa]] hampir selalu disusun dalam bentuk [[tembang]] yang dirancang untuk [[macapat|dilantukan]], sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari [[irama]] dan [[nada]] pelantunan.{{sfn|Behrend|1996|pp=167-169}} Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti ''[[Cerita Panji]]'' bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.{{sfn|Behrend|1996|pp=172}} Genre sastra dengan akar paling kuno adalah [[wiracarita]] atau epos Sanskerta seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]] yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti [[Arjuna]], [[Srikandi]], [[Gatotkaca]], dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti [[Hikayat Amir Hamzah|Amir Hamzah]] dan [[Nabi Yusuf]] juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal [[Cerita Panji|Pangeran Panji]], [[Damar Wulan]], dan [[Calon Arang]].{{sfn|Behrend|1996|pp=172-175}}
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh [[Paul van Vlissingen]] yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan dalam surat kabar ''Bataviasch Courant'' edisi bulan Oktober 1825.{{sfn|Molen|2000|pp=137}} Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian sastra Jawa.{{sfn|Molen|2000|pp=136-140}} Pada tahun 1838, [[Taco Roorda]] menyelesaikan [[Tuladha Jejeg|fon]] cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan [[Surakarta]]{{efn|Bagi kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui sebagai langgam aksara Jawa yang paling indah sehingga tokoh seperti [[J.F.C. Gericke]] menyarankan agar langgam Surakarta dijadikan panutan untuk membuat rancangan aksara Jawa yang layak.{{sfn|Molen|2000|pp=149-154}}}} dengan sedikit campuran elemen [[tipografi]] Eropa. Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan [[Fon (tipografi)|fon]] Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah [[majalah Kajawen|''Kajawèn'']] yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.{{sfn|Molen|2000|pp=154-158}}<ref name="astuti">{{Cite conference|last=Astuti|first=Kabul|title=Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa dalam Pelestarian Sastra Jawa|url=https://www.academia.edu/5280381/Perkembangan_Majalah_Berbahasa_Jawa_dalam_Pelestarian_Sastra_Jawa|conference=International Seminar On Austronesian - Non Austronesian Languages and Literature|date=Oktober 2013|location=Bali
=== Kemunduran ===
[[Berkas:Mesin ketik beraksara Jawa buatan pabrik Royal Bar-Lock.jpg|jmpl|ki|240px|Mesin tik beraksara Jawa yang pernah dipakai oleh [[Keraton Surakarta]] dari tahun 1917–1960 untuk surat-menyurat, membuat surat keputusan, dan pengumuman.<ref>{{Cite web|url=https://muspen.kominfo.go.id/koleksi/single?id=228|title=Mesin Ketik Huruf Jawa|last=|first=|date=|website=Museum Penerangan|access-date=8 November 2021
Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis: mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan hingga dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya.{{efn|Sebagaimana dituturkan oleh direktur Balai Poestaka [[D.A. Rinkes]] pada tahun 1920 dalam kata sambutan katalog buku-buku Jawa koleksi [[Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen|Bataviaasch Genootschap]]:<br>{{Verse translation|lang=nl|
Bovendien is voor den druk het Latijnsche lettertype gekozen, hetgeen de zaak voor Europeesche gebruikers aanzienlijk vergemakkelijkt, voor Inlandsche belangstellended geenszins een bezwaar oplevert, aangezien de Javaansche taal, evenals bereids voor het Maleisch en het Soendaneesch gebleken is, zeker niet minder duidelijk in Latijnsch type dan in het Javaansche schrift is weer te geven. Daarbij zijn de kosten daarmede ongeveer ⅓ van druk in Javaansch karakter, aangezien drukwerk in dat type, dat bovendien niet ruim voorhanden is, 1½ à 2 x kostbaarder (en tijdroovender) uitkomt dan in Latijnsch type, mede doordat het niet op de zetmachine kan worden gezet, en een pagina Javaansch type sleechts ongeveer de helft aan woorden bevat van een pagina van denzelfden tekst in Latijnsch karakter.{{sfn|Molen|1993|pp=83}}
|Selain itu, huruf Latin dipilih untuk pencetakan [buku berbahasa Jawa], hal ini tidak hanya memudahkan bagi pembaca Eropa, tetapi juga tidak dikeluhkan oleh pembaca Pribumi, karena bahasa Jawa, sebagaimana bahasa Melayu dan bahasa Sunda, terbukti tetap dapat dipahami dengan baik ketika ditulis menggunakan huruf Latin dan tidak kalah jelas dibanding penulisan yang menggunakan aksara Jawa. Dengan begitu, biaya dapat ditekan hingga ⅓ dari biaya cetak aksara Jawa, mengingat bahwa mencetak dengan aksara Jawa, yang peralatannya tidak selalu tersedia, bisa jadi 1½ hingga 2 kali lipat memakan lebih banyak biaya (dan waktu) dibanding mencetak dengan huruf Latin, dan mengingat pula aksara Jawa tidak dapat dicetak menggunakan mesin ''setting'', dan selembar teks beraksara Jawa hanya dapat memuat sekitar setengah jumlah kata dibanding lembar teks sama yang telah dialihaksarakan menjadi huruf Latin.
|attr1=Poerwa Soewignja dan Wirawangsa (1920:4), disadur oleh Molen (1993:83)
}} }} Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat, berbagai penerbit seperti [[Balai Pustaka]] kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.{{sfn|Robson|2011|pp=25}} Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20 cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|menduduki Indonesia]] pada tahun 1942.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=jQ0KAQAAIAAJ&hl=id&source=gbs_book_other_versions_r&cad=4|title=Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab: titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa|first=R. D. S.|last=Hadiwidjana|publisher=U.P. Indonesia|year=1967|page=9}}</ref> Beberapa penulis melaporkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik.{{efn|Meski dokumentasi atau catatan perintah resmi dari larangan tersebut tidak diketahui. Sebagai perbandingan, pemerintahan Jepang yang [[Pendudukan Jepang di Kamboja|menduduki Kamboja]] pada periode waktu yang sama justru menghapus upaya penggunaan huruf Latin yang dimulai [[Kamboja Prancis|pemerintahan kolonial Kamboja Prancis]] dan mengembalikan penggunaan [[aksara Khmer]] sebagai aksara resmi Kamboja.<ref name=Chandler>{{cite book|first=David P|last=Chandler|title=A History of Cambodia|publisher=Silkworm books|year=1993|isbn=9747047098|url=https://books.google.co.id/books/about/A_History_of_Cambodia.html?id=E8BRPgAACAAJ&redir_esc=y}}</ref>}} Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang. Program-program pendidikan pemerintahan yang baru didirikan setelah Indonesia merdeka berfokus pada pendidikan Bahasa Indonesia dan pemberantasan buta huruf Latin, sehingga penggunaan aksara tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.<ref>{{cite journal|last=Lowenberg|first=Peter|journal=Studies in the Linguistic Sciences|volume=30|issue=1|date=2000|title=Writing and Literacy in Indonesia|url=https://www.researchgate.net/publication/32963154_Writing_and_literacy_in_Indonesia|page=135–148
{{clear}}<!-- Paksa buat baris baru agar subjudul tidak menjorok ke dalam. -->
Baris 102:
| caption2 = [[nyk Ngayogyan|Gagrag Yogyakarta]]. Huruf Latin diletakkan di atas aksara Jawa (Pergub DIY No. 70/2019).
}}
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di [[DI Yogyakarta]], [[Jawa Tengah]], [[Jawa Timur]], dan sebagian kecil [[Jawa Barat]]. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Akan tetapi, banyak upaya kontemporer untuk menerapkan aksara Jawa hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak ada lagi, sebagai contoh, publikasi berkala seperti majalah ''Kajawèn'' yang isi substansialnya menggunakan aksara Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan aksara Jawa dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang ada yang mampu membaca atau menulisnya secara substansial,<ref name="wahab">{{cite conference|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/3067/1/Kongres%20Bahasa%20Indonesia%20VIII%20Kelompok%20B%20Ruang%20Rote.pdf|conference=Kongres Bahasa Indonesia VIII|date=Oktober 2003|title=Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah|first=Abdul|last=Wahab|publisher=Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia|volume=Kelompok B, Ruang Rote|page=8-9
== Bentuk ==
Baris 108:
''Aksara'' adalah huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
==== ''Wyanjana'' ====
''Aksara wyanjana'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]], aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara ''wyanjana'' untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa [[Sanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}<ref name="mardikawi">{{cite book|url=http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20186831-166.%20Serat%20Mardi%20Kawi%20Jilid%20I.pdf|title=Serat Mardi Kawi|volume=1|year=1930|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|page=9-12
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align:center;" | ''Aksara Wyanjana'' (deret kuno)
|- style="text-align:center;"
! rowspan="3"|Tempat pelafalan
! colspan="5"|
! rowspan="3" "|[[Semivokal]]
! rowspan="3" "|[[Sibilan]]
! rowspan="3"|[[Konsonan celah suara|Celah]]
|-
! colspan=2|[[Bantuan:Pengucapan#Penyuaraan|Nirsuara]]
! colspan=
! rowspan=2|[[Konsonan nasal|Sengau]]
|-
! Tidak [[Aspirasi (linguistik)|Teraspirasi]]
Baris 188 ⟶ 190:
|-
|}
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara ''wyanjana'' dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai ''aksara nglegena'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai ''aksara murda'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan [[nama diri|nama]] yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal [[Bima (Mahabharata)|Bima]] ditulis ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal [[Pakubuwana]] ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=11-13}} Dari 20 aksara ''nglegena'', hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk ''murda'', oleh karena itu penggunaan ''murda'' tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=11-13}} apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk ''murda,'' maka suku kata kedua yang menggunakan ''murda''. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk ''murda'', maka suku kata ketiga yang menggunakan ''murda'', begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan ''murda'' apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan ''murda'' tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti ''Gani'' dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa ''murda''), ꦓꦤꦶ (dengan ''murda'' di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan ''murda'') tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk ''nglegena'' maupun ''murda'' adalah ''aksara mahaprana''. Aksara ''mahaprana'' tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}{{efn|Contoh kata dengan aksara ''mahaprana'' yang digunakan dalam penulisan Kawi misal ''aṣṭa'' (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan)<ref>{{cite book|first= Petrus Josephus|url=http://sealang.net/ojed/|last=Zoetmulder|title=Old Javanese-English Dictionary|page=143, entri 4|year=1982|publisher=Nijhoff|editor-first1=Stuart Owen|editor-last1=Robson|isbn=9024761786
{| class="wikitable""
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Wyanjana'' (deret modern)
Baris 315 ⟶ 317:
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel iikara.png|25px]]<br>ꦇ<hr>ī
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel uukara.png|25px]]<br>ꦈꦴ<hr>ū
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Ganten pa cerek dirgha2.png|25px]]<br>ꦉꦴ<hr>ṝ/reu{{ref label|reu|
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Ganten nga lelet raswadi2.png|25px]]<br>ꦋ<hr>ḹ/leu{{ref label|leu|
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel aikara.png|25px]]<br>ꦍ<hr>ai{{ref|ai|6}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel aukara.png|25px]]<br>ꦎꦴ<hr>au{{ref|au|7}}
Baris 326 ⟶ 328:
:{{note|e|3}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
: {{note|reu|
: {{note|reu|4b}} dalam penulisan Sunda digunakan untuk /rɨ/ sebagaimana reu dalam kata bahasa Sunda "pireu"{{sfn|Everson|2008|pp=18}}
:{{note|leu|5a}} nga lelet raswadi, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini<ref name="woodard"/>
:{{note|leu|5b}} dalam penulisan Sunda digunakan untuk /lɨ/ sebagaimana leu dalam kata bahasa Sunda "deuleu"{{sfn|Everson|2008|pp=18}}
:{{note|ai|6}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|au|7}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au kata "pantau"
Baris 335 ⟶ 339:
''Pa cerek'' ꦉ, ''pa cerek dirgha'' ꦉꦴ, ''nga lelet'' ꦊ, dan ''nga lelet raswadi'' ꦋ adalah [[Syllabic consonant|konsonan silabis]] yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.<ref name="woodard"/>{{sfn|Poerwadarminta|1930|pp=11}} Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya ''pa cerek'' dan ''nga lelet'' yang digunakan; ''pa cerek'' dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara ''nga lelet'' dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara ''swara'' menjadi kategori sendiri yang disebut ''aksara gantèn''. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+''pepet'' (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+''pepet'' (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=20}}
==== ''Rékan'' ====
''Aksara rékan'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=16-17}} Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari [[bahasa Arab]], kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari [[bahasa Belanda]], dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata [[bahasa Indonesia]] dan [[bahasa Inggris|Inggris]]. Sebagian besar aksara ''rékan'' dibentuk dengan menambahkan diakritik ''cecak telu'' pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara ''rékan'' fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan ''cecak telu'' pada aksara ''wyanjana'' pa ꦥ. Kombinasi ''wyanjana'' dan ekuivalen bunyi asing tiap ''rékan'' bisa jadi berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa yang mengatur.
Terdapat lima aksara rekan menurut Padmasusastra<ref>{{cite book|url=https://www.sastra.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2677&catid=53|title=Layang Carakan|last=Padmasusastra|year=1917|page=16
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Rékan''
Baris 403 ⟶ 408:
! style="width: 80px;" |-ai{{ref label|3|3}}
! style="width: 80px;" |-au{{ref label|4|4}}
! style="width: 80px;" |-eu{{ref label|
|- style="text-align: center"
| -
Baris 464 ⟶ 469:
:{{note|3|3}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|4|4}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
:{{note|
:{{note|5b|5b}} dalam penulisan Sunda digunakan untuk /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peuyeum"
</small>
|}
Baris 854 ⟶ 860:
== Pengurutan ==
Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.{{efn|Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam [[alfabet Yunani]] (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam [[abjad Arab]] (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).}} Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah [[pangram]] yang sering kali dikaitkan dengan legenda [[Aji Saka]].{{sfn|Robson|2011|pp=13-14}}{{sfn|Rochkyatmo|1996|pp=8-11}}<!--Terdapat pula berbagai versi dan legenda lainnya mengenai asal-usul legendaris hanacaraka, misal pada ''Serat Manik Maya'', asal-usul hanacaraka dikaitkan ke seorang tokoh bernama Empu Sangkaadi.{{sfn|Robson|2011|pp=13-14}}<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=2W25AAAAIAAJ&q=Javaansch+Leesboek&dq=Javaansch+Leesboek&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjFxsG_7KDpAhVBJHIKHTeWAK4Q6AEIbzAI|title=Javaansch Leesboek: vier verhalen uit de oudere Javaansche letterkunde
|year=1937|publisher=H.J. Paris|place=Amsterdam|first=M|last=Prijohoetomo|page=3, 10}}</ref>--> Asal-usul deret ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Jawa setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.{{sfn|Everson|2008|pp=5-6}}<ref>{{cite journal|last=Ricci|first=Ronit|journal=Itinerario|volume=39|issue=03|date=Desember 2015|publisher=Leiden|doi=10.1017/S0165115315000868|title=Reading a History of Writing: heritage, religion and script change in Java|url=https://www.academia.edu/41523387/Reading_a_History_of_Writing_heritage_religion_and_script_change_in_Java|page=424
{| class="wikitable" style="width:80%;"
Baris 864 ⟶ 870:
|[[Berkas:Hanacaraka legend 4.png|200px]]
|-
| align=center| {{java|ꦲꦤꦕꦫꦏ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦢꦠꦱꦮꦭ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦥꦝꦗꦪꦚ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦩꦒꦧꦛꦔ|18px|0}}
|-
| align=center| ''(h)ana caraka''<br>ada dua utusan
Baris 897 ⟶ 903:
|[[Berkas:Velaar.svg|95px]]
|-
| align=center| {{java|ꦏꦑꦒꦓꦔ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦕꦖꦗꦙꦚ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦛꦜꦝꦞꦟ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦠꦡꦢꦣꦤ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦥꦦꦧꦨꦩ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦪꦫꦭꦮ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦯꦰꦱ|18px|0}}
| align=center| {{java|ꦲ|18px|0}}
|-
| align=center| ka kha ga gha nga
Baris 955 ⟶ 961:
== Perbandingan dengan aksara Bali ==
Kerabat paling dekat dari aksara Jawa adalah [[aksara Bali]]. Sebagai keturunan langsung [[aksara Kawi]], aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Bali cenderung bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai contoh, kata ''desa'' dalam aksara Jawa kini ditulis ꦢꦺꦱ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena ''desa'' adalah kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: ''deśa'' ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa ''murda'' alih-alih aksara sa ''nglegena''. Seperti bahasa Jawa, [[bahasa Bali]] juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa ''nglegena'' dan sa ''murda'', tetapi ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi [[homofon|yang bunyinya sama]] dalam bahasa Bali dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata ''pada'' (ꦥꦢ, tanah/bumi), ''pāda'' (ꦥꦴꦢ, kaki), dan ''padha'' (ꦥꦣ, sama), serta antara kata ''asta'' (ꦲꦱ꧀ꦠ, adalah), ''astha'' (ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan ''aṣṭa'' (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).<ref>{{cite book|last=Tinggen|first=I Nengah|year=1993|title=Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali|place=Singaraja|publisher=UD. Rikha|page=7}}</ref><ref>{{cite book|last=Medra|first=I Nengah|title=Pedoman Pasang Aksara Bali|place= Denpasar|publisher= Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali|year=1998|url=http://www.babadbali.com/aksarabali/books/tobacaan.htm|page=44
Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:
Baris 1.350 ⟶ 1.356:
== Penggunaan dalam bahasa Madura ==
Aksara Jawa di dalam [[bahasa Madura]] disebut ''Carakan Madhurâ'' atau ''Carakan Jhâbân'' (aksara yang berasal dari Jawa). Apabila dalam penggunaan bahasa Jawa tiap aksara dapat merepresentasikan suara /a/ atau /ɔ/, maka dalam bahasa Madura mewakili suara /a/ atau /ɤ/. Bentuk ''carakan Madhurâ'' sendiri terdiri dari ''aksara ghâjâng'' (''aksara nglegena''), ''aksara rajâ'' atau ''murdâ'' (''aksara murda''), ''aksara sowara'' atau ''swara'' (''aksara swara''), dan ''aksara rèka'an'' (''aksara rékan''). Terdapat pula ''pangangghuy'' (''sandhangan'') yang terdiri dari ''pangangguy aksara'' (''sandhangan swara''), ''pangangghuy panyèghek'' (''sandhangan panyigeging wanda''), dan ''pangangghuy panambâ'' (''sandhangan wyanjana'').<ref name="sekkaranomi">{{Cite book|last=Hamzah|first=Bambang Hartono|last2=Sayunani|first2=Isya|last3=Gani|first3=Abdul|first4=Rusliy|last5=Dradjid|first5=H.M.|first6=Zaini|date=2014|title=Sekkar Anom I|publisher=Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur|editor-last=Ghazali|editor-first=A. Syukur|pages=148|language=Madura|editor-last2=Poerno|editor-first2=Heru Asri|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Sukardi|first=A.|date=2005|url=|title=Kasustraan Madura Kembang Sataman|location=Jember|publisher=Dinas Pendidikan Kabupaten Jember|isbn=|edition=2|pages=|language=Madura|url-status=live}}</ref>{{sfn|Kiliaan|1897|p=89}}<ref>{{Cite book|last=Wedhawati|first=|date=2001|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/16353/|title=Tata Bahasa Jawa Mutakhir|location=Jakarta|publisher=Pusat Bahasa|isbn=9796851415|pages=39-40
Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Meski demikian, dalam bahasa Madura tidak terdapat perbedaan penggunaan konsonan aspirat dan tanaspirat.{{sfn|Kiliaan|1897}}
Baris 1.626 ⟶ 1.632:
|}
Berikut penggunaan ''carakan'' dalam ''Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera'' (Bab orang menangkap ikan di Tanah Jawa dan Madura) disertai dengan ejaan bahasa Madura modern.<ref>{{Cite book|last=Koesoemo|first=R. Sosro Danoe|last2=M. Partosoegondo|first2=|date=1922|title=Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera|publisher=Balai Poestaka|language=Madura|url-status=live}}</ref>
{| class="wikitable"
Baris 1.646 ⟶ 1.652:
| ''2. Parao sè èbhâḍhi papan rabten bân sadhâjâ.''
| 2. Perahu yang dibuat dari papan dan seluruhnya.
|}
Baris 1.965 ⟶ 1.689:
Berkas:Yogyakarta Sultanate Hamengkubhuwono X Emblem.svg|Lambang [[Kesultanan Yogyakarta]] dengan stilisasi aksara Jawa di bidang tengahnya
<!--Berkas:"+Arya+" pintu masuk makam buyut tambi 2014.jpg|Pintu masuk situs makam Buyut Tambi di [[Indramayu]], [[Jawa Barat]] menggunakan aksara Jawa. Terdapat kesalahan penulisan pada aksara sa (terbalik) dan pada kata ''kramat'' yang seharusnya ditulis dengan ''sandhangan cakra'' alih-alih ''pasangan'' ra.-->
<!-- Dimohon untuk tidak menambahkan foto lagi karena sudah terlalu banyak. Disarankan untuk menambahkannya ke galeri foto Wikimedia Commons, https://commons.wikimedia.org/wiki/Javanese_script -->
</gallery>
Baris 1.985 ⟶ 1.707:
=== Daftar pustaka ===
* {{cite book|url=https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=75|title=Baoesastra Djawa|last=Poerwadarminta|first=W.J.S|publisher=J.B. Wolters|year=1939|isbn=0834803496|location=Batavia|language=JV|ref=harv}}
* {{cite journal|last=Arps|first=B|url=https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/15216|title=How a Javanese Gentleman put his Library in Order|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|year=1999|issue=3|volume=155|page=416-469|ref=harv}}
* {{cite journal|last=Behrend|first=T E|url=https://www.researchgate.net/publication/41017542_Manuscript_production_in_nineteenth-century_Java_Codicology_and_the_writing_of_Javanese_literary_history|title=Manuscript Production in Nineteenth Century Java. Codicology and the Writing of Javanese Literary History|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|year=1993|volume=149|issue=3|doi=10.1163/22134379-90003115|pages=407-437|ref=harv}}
* {{cite book|last=Behrend|first=T E|chapter=Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma|title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n3319.pdf|first=Michael|last=Everson|title=Proposal for encoding the Javanese script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N3319R3|date=6 Maret 2008|publisher=Unicode|ref=harv}}
* {{cite book|last=Molen|first=Willem van der|year=1993|title=Javaans Schrift|publisher=Rijksuniversiteit te Leiden|journal=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden|place=Leiden|volume=Semaian 8|isbn=90 73084 09 1|language=nl|url=https://books.google.co.id/books?id=8FNTAAAACAAJ&dq=javaans+schrift&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi42vnx_J3pAhVWbn0KHRTPDeYQ6AEIKDAA|ref=harv}}
* {{cite book|last=Molen|first=Willem van der|year=2000|chapter=Hoe Heft Zulks Kunnen Geschieden? Het Begin van de Javaanse Typografie|publisher=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden|title=Woord en Schrift in de Oost. De betekenis van zending en missie voor de studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie|editor=Willem van der Molen|place=Leiden|volume=Semaian 19|language=nl|url=https://books.google.co.id/books/about/Woord_en_schrift_in_de_Oost.html?id=TQjZAAAAMAAJ&redir_esc=y|isbn=9074956238|page=132-162|ref=harv}}
* {{cite Journal|last=Moriyama|first=Mikihiro|url=https://kyoto-seas.org/pdf/34/1/340108.pdf|journal=Southeast Asian Studies|volume=34|issue=1|date=Juni 1996|title=Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java|pages=151-183|ref=harv}}
* {{cite Journal|url=https://research.monash.edu/en/publications/javanese-script-as-cultural-artifact-historical-background|last=Robson|first=Stuart Owen|year=2011|title=Javanese script as cultural artifact: Historical background|journal=RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs|volume=45|issue=1-2|page=9-36|ref=harv}}
* {{cite book|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/7638/1/PELESTARIAN%20DAN%20MODERNISASI%20AKSARA%20DAERAH.pdf|title=Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa|last=Rochkyatmo|first=Amir|date=1 Januari 1996|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|language=id|ref=harv}}
==== Pedoman penulisan ====
|