Abdul Wahab Bugis: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k jalusr silisilah bagan anak cucu |
k merapihkan spasi dan paragraf |
||
Baris 1:
{{Infobox
|
| succession = Penasihat Dan fakih Guru Spiritual Istana Kesultanan Banjar
|
* '''Syarifah''' binti Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]}}
| issue = {{plainlist|
1. ♀'''Aisyah Abdul Wahab Al-Banjary'''
2. ♀'''Datu Syekhah Siti Fathimah Abdul Wahab Al-Banjary''' Lahir 1775 (Wafat 1828) (diperistri '''Syekh Haji Muhammad Said Al-Bugisi''') Memiliki 2 Orang Anak:
-''♂'''Syekh Abdul Gani''' (Menikahi '''Saudah Binti Muhammad As’ad''') Muhammad As’ad menjadi mufti pertama Kesultanan Banjar, salah satu institusi keagamaan di lingkungan Kesultanan yang dibentuk atas usulan '''Muhammad Arsyad'''. Posisi mufti yang diduduki As’ad ini kelak digantikan oleh '''Paman ♀Datu Syekhah Siti Fathimah Abdul Wahab Al-Banjary''', '''Mufti Tuan Guru Syekh Haji Jamaluddin''')
-''♀'''Ratoe Halimah''' (Di Peristri [[Pangeran Ratu]] [[Sultan Muda]] [[Abdur Rahman dari Banjar]] (1825-1852)''
3. '''Syekh Muhammad Yasin Abdul Wahab Al-Banjary'''
}}
|title = Syekh Abdul Wahab Bugis al-Banjari Sadenreng Bunga Wariyah
| birth_date = 1725 Sadenreng Bunga Wariyah
| birth_place = Pangkajene, kecamatan yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi Sulawesi Selatan. Arojong Pangkajene (Depag RI, 1996: 786). Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan
| death_date = 1790
| death_place = dan dimakamkan di Desa Karang Tangah
| burial_place = Desa Tungkaran, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan
| religion = [[Islam Sunni]]}}
'''Syekh Abdul Wahab Bugis''' (atau '''Syekh Abdul Wahab Bugis al-Banjari''') yang bergelar '''''Sadenreng Bunga Wariyah '''''adalah salah seorang [[ulama]] [[suku Bugis]] berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi (1996: 28), Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah., tetapi ia banyak berkiprah hingga wafatnya di Tanah Banjar.
Kelahiran Syekh persisnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan antara tahun 1725-1735 Masehi, mengingat usianya yang masih lebih muda dari Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]].<ref>{{Web|url = http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2011/04/syekh-abdul-wahab-bugis-mengungkap.html|title = Syekh Abdul Wahab Bugis: Mengungkap Riwayat dan Perjuangan Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis|date =2011-04-03|author = Sya'roni As-Samfuriy}}</ref>
Ia juga dikenal sebagai ''Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu)''<ref name=":0">{{Web|url = http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/07/18/mq3twd-muhammad-arsyad-albanjari-sang-matahari-agama-dari-kalimatan|title = Muhammad Arsyad al-Banjari Sang Matahari Agama dari Kalimantan|date = 18 Juli 2013|author = [[Republika (surat kabar)|Republika]]}}</ref>'' ''yang menuntut ilmu di [[Madinah]] dan [[Mesir]] bersama 3 sahabat lainnya yaitu [[Muhammad Arsyad al-Banjari|Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari]], [[Abdus Samad al-Palimbani|Syekh Abdus Shamad al-Palimbani]], dan [[Syekh Abdurrahman Mashri al-Jawi|Syekh Abdurrahman Mishri al-Jawi.]]<ref name=":0" />
Jika Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu menuntut ilmu di Kota Makkah, maka Syekh Abdul Wahab Bugis bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di Mesir.
Syekh Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syaikh al-Islam, Imam al-Haramain Allimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke Kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.
Di sinilah empat serangkai kemudian bertemu. Selama di Madinah, 4 Serangkai juga sempat belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke Kerajaan Banjar beriringan dengan kepulangan Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]. '''Oleh Sultan, Syekh Abdul Wahab diangkat menjadi penasihat dan guru spiritual istana''', Ia juga mengkader umat, dan ikut membantu membuka kawasan kosong bersama-sama dengan Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] untuk dijadikan sentral pendidikan agama.
Syekh Abdul Wahab Bugis memiliki jasa, peranan, dan perjuangan yang besar terhadap perkembangan dakwah, terutama di Kerajaan Banjar (sekarang: Kota Banjarmasin).
Walaupun ia bukan orang Banjar, tetapi ilmu, amal, dan perjuangan hidupnya telah dibaktikan untuk kejayaan Islam di Tanah Banjar.
Di samping Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
Kedua, membantu Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, di samping itu Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran– terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar. Dengan kata lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]], terutama Kitab Sabilal Muhtadin.
Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] dapat saja terjadi, mengingat bahwa:
1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]], mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.
Keempat, untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.
Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.
Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Sultan Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli.
'''Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).''' Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]. Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara.
Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah.
Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya.
Dengan kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).
Apatah lagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu, Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).
Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]], yakni lebih kurang 10-15 tahunan.
Ada pula yang menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Siti Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).
Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa Abdul Wahab Bugis, kawan seperguruan, sahabat, dan sekaligus menantu dari Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] juga memiliki peran dan jasa yang besar dalam mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan. Mulai dari mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada keluarga atau bubuhan bangsawan di kerajaan Banjar sampai membangun tanah lungguh desa Dalam Pagar menjadi locus utama dakwah Islam, pendidikan, dan pengkaderan kader-kader yang kelak menjadi pejuang dakwah diberbagai daerah yang menjadi sebarannya di Kalimantan.
Mengingat ketokohan, akhlak, dan keilmuan yang dimilikinya yang memang diakui, serta melalui kebersamaan sebagaimana yang telah diikrarkan, bahu-membahu, dan ikhlas berjuang bersama Syekh Muhammad Arsyad, Abdul Wahab berhasil menempatkan posisi dirinya sebagai ulama pejuang dalam rangka menjadikan Islam sebagai pola kehidupan masyarakat Banjar, baik bidang kenegaraan maupun bidang sosial kemasyarakatan.
Demikianlah, Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya.
Ia dikawinkan dengan ''Syarifah binti Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]''<ref>{{Web reference|url = http://www.geni.com/people/syeikh-abdul-wahab-bugis/6000000008648849372|title = Public Profile - Syeikh Abdul Wahab Bugis|date =2014-12-30|author = {{en}} Geni (admin)}}</ref> oleh syekh sendiri, dan berlangsung di Mekkah dengan disaksikan dua orang sahabatnya tersebut.<ref name=":0" /><ref name=":1">{{Web reference|url = http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/04/syaikh-muhammad-arsyad-al-banjari-mursyid-yang-pejuang-syariah/|title = Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari, Mursyid yang Pejuang Syariah|date = 4 Agustus 2011|author = GusUwik (via [[Hizbut Tahrir]] site)}}</ref>
Syekh Abdul Wahab Bugis wafat antara tahun 1782-1790 M dan dimakamkan di ''Desa Karang Tangah'' (sekarang: [[Tungkaran, Martapura, Banjar|Desa Tungkaran]], [[Kabupaten Banjar]], [[Kalimantan Selatan]].{{Bio muslim butuh rujukan}}
Empat Serangkai
Syekh Abdul Wahab Bugis dikenal sebagai ''Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu) ''yang menuntut ilmu di [[Madinah]] dan [[Mesir]] bersama 3 sahabat lainnya yaitu [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]|Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari]], [[Abdus Samad al-Palimbani|Syekh Abdus Shamad al-Palimbani]], dan [[Syekh Abdurrahman Mashri al-Jawi|Syekh Abdurrahman Mishri al-Jawi.]]<ref name=":0" /><ref>{{Web|url = http://www.republika.co.id/berita/shortlink/69382|title = Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan|date = 14 Agustus 2009|author = [[Republika (surat kabar)|Republika]]}}</ref>
Jika Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di Kota [[Mekkah]], maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di [[Mesir]].{{Bio muslim butuh rujukan}}
Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari ''Syaikh al-Islam, Imam al-Haramain Allimul Allamah'' [[Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi]]. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke Kota [[Madinah]] ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.{{Bio muslim butuh rujukan}}
Di sinilah empat serangkai kemudian bertemu.{{Bio muslim butuh rujukan}} Selama di Madinah, ''Empat Serangkai'' juga sempat belajar ilmu tasawuf kepada [[Syekh Muhammad as-Samman al-Madani|Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani]], seorang ulama besar dan ''Wali Quthub'' di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
'''Pulang dari Mekkah'''
Syekh Abdul Wahab pulang ke Kerajaan Banjar beriringan dengan kepulangan Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]. Oleh Sultan, Syekh Abdul Wahab diangkat menjadi penasihat dan guru spiritual istana, Ia juga mengkader umat, dan ikut membantu membuka kawasan kosong bersama-sama dengan Syekh Muhammad Arsyad untuk dijadikan sentral pendidikan agama.
Syekh Abdul Wahab Bugis memiliki jasa, peranan, dan perjuangan yang besar terhadap perkembangan dakwah, terutama di [[Kerajaan Banjar]] (sekarang: [[Kota Banjarmasin]]). Walaupun ia bukan orang Banjar, tetapi ilmu, amal, dan perjuangan hidupnya telah dibaktikan untuk kejayaan Islam di Tanah Banjar.
'''Peristiwa perkawinan'''
Saat Syaikh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] masih berada di [[Makkah]], dia mendengar kabar bahwa anaknya yang bernama ''Syarifah'' dari istrinya, ''Tuan Bajut'', sudah beranjak dewasa. Oleh karena itu, dia mengawinkan anaknya tersebut dengan sahabatnya, Syeikh Abdul Wahab Bugis.
Namun saat Syaikh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] kembali ke Banjarmasin (saat itu masih [[Kerajaan Banjar]]), ternyata ''Syarifah'' oleh Sultan Panembahan Batuah Sunan Nata Alam-Sultan Tahmidillah menikah kan dengan '''''Usman''''' dan hubungan perkawinan ini telah melahirkan seorang anak '''Mufti Tuan Guru Syekh Haji Muhammad As'ad al-Banjary. Muhammad As’ad menjadi mufti pertama Kesultanan Banjar, salah satu institusi keagamaan di lingkungan Kesultanan yang dibentuk atas usulan Muhammad Arsyad. Posisi mufti yang diduduki As’ad ini kelak digantikan oleh Paman Syekhah Fatimah Abdul Wahab Al-Banjary, Mufti Tuan Guru Syekh Haji Jamaluddin'''
''Syarifah'' telah dikawinkan oleh Panembahan Batuah Sunan Nata Alam-Sultan Tahmidillah dengan seseorang yang bernama ''Usman'' dalam hal ini Sultan bertindak sebagai ''wali hakim'', karena wali (ayah)-nya dianggap uzur (karena belajar di Mekkah). Padahal dalam ketentuan [[fikih]], kedua perkawinan ini dapat dianggap benar dan sah.{{Bio muslim butuh rujukan}}
Untuk memutuskan permasalahan ini, Syaikh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]] menetapkan dengan melihat ''masa terjadinya akad pernikahan''; akad perkawinan yang lebih dulu dilakukan, itulah yang dimenangkan. Berdasarkan keahliannya dalam bidang ''ilmu falak'' dan berdasarkan penelitiannya terhadap kedua perkawinan tersebut, dengan mengaitkan perbedaan waktu antara Makkah dan Martapura, maka dia mendapati bahwa akad perkawinan yang terjadi di Makkah lebih dulu beberapa saat daripada perkawinan di Martapura.Berdasarkan penelitian ini, ikatan perkawinan antara ''Syarifah'' dan ''Usman'' dibatalkan, kemudian sahabatnya, '''Syaikh Abdul Wahab Bugis diresmikan sebagai suami Syarifah yang sah'''.<ref name=":1" />
Keputusan ini kemudian ditaati oleh kedua belah pihak, dan menurut cerita '''Usman akhirnya merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan)'''.
Hasil perkawinan Syeikh Abdul Wahab dengan ''Syarifah binti Syekh [[Muhammad Arsyad al-Banjari]]'' ini kemudian mendapatkan anak, masing-masing bernama:
* '''♀Aisyah Abdul Wahab Al-Banjary'''
* ♀'''Datu Syekhah Siti Fathimah Abdul Wahab Al-Banjary'''<ref>{{Web|url = http://www.geni.com/people/siti-fathimah-bt-syeikh-abdul-wahab-bugis/6000000008648874911|title = Public Figure - Siti Fathimah bt Syeikh Abdul Wahab Bugis|author = {{en}} Geni (admin)|date =2014-12-30}}</ref> (kawin dengan '''Syekh HM Said Bugis''', memiliki 2 orang anak)
** ♂'''Syekh Abdul Gani''' (Menikahi '''Saudah Binti Muhammad As’ad''') Muhammad As’ad menjadi mufti pertama Kesultanan Banjar, salah satu institusi keagamaan di lingkungan Kesultanan yang dibentuk atas usulan Muhammad Arsyad. '''Posisi mufti yang diduduki As’ad ini kelak digantikan oleh Paman Syekhah Fatimah Abdul Wahab Al-Banjary, Mufti Tuan Guru Syekh Haji Jamaluddin)'''
** '''Ratoe Halimah''' (di peristri [[Pangeran Ratu]] [[Sultan Muda]] [[Abdur Rahman dari Banjar]] 1825-1852)
* '''Syekh Muhammad Yasin Abdul Wahab Al-Banjary'''.
Tidak diketahui secara pasti kapan tahun meninggalnya, tetapi diperkirakan antara tahun 1782-1790M.
* [[Muhammad Arsyad al-Banjari
<div align="center">Silsilah:'''</div>
<div align="center">1.Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam'''
Baris 360 ⟶ 467:
== Referensi ==
{{Reflist}}
== Bacaan lanjutan ==
* Abu Daudi, ''Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Tuan Haji Besar'', (Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum, 1996), h.28
|