Raden Abdul Jalil: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 96:
 
== Masa Pendidikan ==
Naskah ''Negara Kretabhumi'' Sargha III pupuh 77, menyebutkan bahwa Abdul Jalil sewaktu dewasa pergi menuntut ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru kepada seorang Yahudi yang menyamar Islam dan menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama. Menurut cerita tutur di kalangan penganut tarekat Akmaliyah, orang Syiah Muntadhar itu bernama Abdul Malik Al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya, selama menuntut ilmu di Baghdad, Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasaannya atas ilmu tersebut. Bahkan karena kesukaannya pada ilmu tasawuf tersebut, ia berguru pada Syaikh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Silsilah Tarekat Akmaliyah yang diperoleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dari Syaikh Ahmad Baghdady. Selain menganut Tarekat Akmaliyah, Syikh Lemah Abang juga menganut tarekat Syathariyah yang diperoleh dari saudara sepupunya, yang juga guru ruhaninya, Syaikh Datuk Kahfi.
 
Pergumulan menguasai berbagai disiplin keilmuan di Baghdad yang dewasa itu merupakan pusat peradaban, telah menjadikan pandangan-pandangan Syaikh Datuk Jalil berbeda dari kelaziman. Ilmu tasawuf yang berdiri tegak di atas fenomena pengetahuan intuitif yang bersumber dari kalbu, oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil diformulasikan sedemikian rupa dengan ilmu filsafat dan manthiq (logika). Sehingga, ajarannya menimbulkan ketidaklaziman dalam pengembangan ilmu tasawuf - yang merupakan pengetahuan intuitif - yang bersifat rahasia, yang serta merta berubah menjadi ilmu, yang terbuka untuk dijadikan bahasan filosofis. Sebab, Syaikh Datuk Abdul Jalil beranggapan bahwa pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat suprarasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal. Sebaliknya, pengetahuan gnostik harus bisa dijelaskan secara rasional yang bisa diterima akal.<ref>Agus Sunyoto, ''Atlas Walisongo,'' Depok: Pustaka Iman, 306.</ref>