Pengguna:Fazoffic/Arsip percobaan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 1:
{{Hatnote|''Utama:'' [[Pengguna:Fazoffic/bak pasir]]}}
 
= Mulyono =
[[Kapten]] '''Mulyono''' ({{lahirmati||11|11|1921||15|5|1975}}) adalah seorang tokoh militer anggota [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR) dan [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) yang berperan dalam penyerbuan tentara [[Imperium Belanda|Belanda]] di Pulau [[Kalimantan]]. Namanya secara khusus dihormati di [[Kabupaten Seruyan]] dan sekitarnya.
 
== Kehidupan awal ==
Mulyono dilahirkan di [[Magetan]], [[Jawa Timur]]. Ia adalah anak dari mantan [[wedana]] Magetan pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari bersekolah di Sekolah Dasar Bahasa Belanda, kemudian berlanjut ke Sekolah Teknik Ratu Emma selama tiga tahun. Setelah lulus, Mulyono bekerja sebagai asisten di sebuah Otoritas Air Propinsi di Jawa Timur dan Madura.{{sfn|Ekpres|2019|p=1}} Kemudian, ia bergabung dengan Korps teknik dari [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]] (KNIL) dan mendapat pangkat [[sersan]]. Ia bertanggung jawab atas penjagaan para kuli yang membangun gudang senjata.{{sfn|Ekpres|2019|p=1–2}}
 
=== Buronan tentara Jepang ===
Antara tahun 1942 atau 1943, Belanda menyerah kepada [[Kekaisaran Jepang]] yang menginvasi Hindia Belanda selama [[Perang Dunia II]]. Namun, Mulyono, yang diinstruksikan oleh atasannya untuk menyerahkan posnya kepada Jepang, menolak dan menembak tentara Jepang yang mendatangi posnya untuk menerima penyerahan dirinya. Hal itu menyebabkan Mulyono dinyatakan sebagai buronan di Madura, yang membuat Mulyono melarikan diri ke Pulau [[Sumatra]] hingga Jepang menyerah pada Agustus 1945.{{sfn|Ekpres|2019|p=2}}
 
== Revolusi Kemerdekaan (1945–1946) ==
{{Main|Revolusi Kemerdekaan Indonesia}}
=== Bergabung ke Badan Keamanan Rakyat ==
Setelah Jepang menyerah, Mulyono kemudian pulang ke [[Jombang]].{{sfn|Ekpres|2019|p=2}} Setelah itu, ia bergabung ke [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR) dan dikirim ke [[Surabaya]] untuk mengepung tentara Jepang di sana. Meskipun tidak memiliki jabatan militer secara formal, namun Mulyono turut berperan dalam melawan tentara [[Inggris Raya|Inggris]] di Surabaya. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke Jombang dan dan memegang komando [[Tentara Rakyat Indonesia]] (TRI). Setelah itu, ia dipindahkan ke [[Semarang]].{{sfn|Ekpres|2019|p=3–4}}
 
=== Berangkat ke Kalimantan ===
Setelah [[Pertempuran Lima Hari]] di Semarang berakhir, Mulyono dan rekan-rekannya bertemu dengan [[Zulkifli Lubis]], yang menanyakan apakah mereka besedia dikirim ke luar Pulau Jawa, tepatnya di Kalimantan. Dari sejumlah orang yang ditanya, hanya Mulyono yang menyatakan kesediaannya.{{sfn|Ekpres|2019|p=3}} Mulyono kemudian mendapat tambahan pasukan sebanyak lima orang: Sukurgani putra mantan wedana Jombang, Markoni dan Alfred orang [[Dayak Kapuas]], Jauhari orang [[suku Banjar|Banjar]], dan Gusti Rusli Noor, putra Gubernur [[Kalimantan (provinsi)|Kalimantan]]. Pada awalnya, mereka berniat untuk berangkat pada 1 Januari 1946, namun gagal karena angin laut yang kencang. Mereka baru bisa berangkat dua minggu setelahnya, dan dibekali dengan persiapan logistik yang terbatas.{{sfn|Ekpres|2019|p=4}}
 
Perahu mereka diduga berlabuh di [[Tanjung Puting]]. Tugas utama mereka adalah untuk mengabarkan kepada desa-desa di pedalaman Kalimantan bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka, serta untuk memetakan wilayah tersebut dan melakukan propaganda untuk mendukung sekaligus mempertahankan kemerdekaan.{{sfn|Ekpres|2019|p=5}}
 
=== Menetap di Kuala Pembuang dan kembali ke Jawa===
Mulyono dan teman-temannya kemudian menetap di [[Kuala Pembuang]], ibukota [[Distrik Pambuang]] saat itu. Di sana, Mulyono menjalin hubungan baik dengan empat orang pelaut: H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah dengan harapan mereka bisa membawanya kembali ke Jawa.{{sfn|Ekpres|2019|p=7}} Sementara itu, rekan-rekan Mulyono yang lain ditugaskan ke [[Banjarmasin]], namun tidak ada yang pernah kembali. Akhirnya, Mulyono memilih untuk kembali ke Jawa, tepatnya ke [[Yogyakarta]], untuk melapor kepada Lubis.{{sfn|Ekpres|2019|p=8}} Di Yogyakarta, Mulyono kemudian bertemu kembali dengan Sukurgani, yang ternyata berhasil kembali dari Banjarmasin dengan membawa sejumlah peta dan laporan-laporan yang juga dikirimkan kepada Lubis.{{sfn|Ekpres|2019|p=8–9}}
 
=== Kembali ke Kalimantan ===
Pada Juli 1946, Mulyono kembali mendapat perintah untuk menjalankan operasi inteljen ke Kalimantan. Ia kemudian berangkat dari [[Kabupaten Tuban|Tuban]] menggunakan ''Seri Bintang'', perahu yang ia beli sendiri. Ia ditemani oleh empat orang pelaut Kuala Pembuang rekannya, H. Busra, Ipat, Ibus, dan Dilah. Kali ini ia dibekali dengan cukup banyak persenjataan, di antaranya [[pedang samurai]], dua bom seberat 50 kg, tujuh bom seberat 10 kg, dua senjata laras panjang, dan satu kotak berisi 1000 peluru.{{sfn|Ekpres|2019|p=9}} Lubis mengatakan bahwa bom tersebut berfungsi untuk menenggelamkan kapal Belanda yang mungkin mengepung Mulyono, namun ketika Mulyono sadar bahwa kapalnya juga akan ikut tenggelam, Mulyono kemudian membuang tujuh bom kecil dari kapalnya ketika mendekati Tanjung Puting.{{sfn|Ekpres|2019|p=9–10}}
 
Segera setelah mendarat, kedatangan Mulyono dan rekan-rekannya diketahui oleh Belanda, yang kemudian memburu mereka. Hal ini membuatnya memutuskan untuk berjalan selama dua puluh hari dengan tujuan ke [[Tumbang Manjul, Seruyan Hulu, Seruyan|Tumbang Manjul]].{{sfn|Ekpres|2019|p=10}} Bupati ketiga Seruyan, [[Yulhaidir]] mengatakan,{{sfn|Ekpres|2019|p=10}}
{{Kutipan|Kalau [menurut] cerita kakek saya, Kapten Mulyono beserta rekannya dari Tanjung Puting berjalan di tengah hutan dan rawa-rawa menuju Tumbang Manjul.}}
 
Setelah itu, Mulyono mengirim surat kepada seorang informan yang disebut sebagai "Guru Lewi," bahwa dirinya adalah perwira TRI, bukan seorang bandit atau penjahat. Mulyono juga menjelaskan bahwa dia datang untuk melatih kader dan menyatukan berbagai kelompok berbeda yang beroperasi di sana. Dukungan pertama ia dapatkan dari Markoni, kemudian Jayadi Seman, pemimpin kelompok TRI lain di sekitar Tumbang Manjul.{{sfn|Ekpres|2019|p=10–11}}
 
=== Penyerbuan Tumbang Manjul ===
Pada Oktober 1946, tentara KNIL Belanda yang dipimpin oleh Hullenberg melakukan patroli ke Manjul dan berkemah di suatu [[pesanggrahan]]. Mulyono yang telah menyadap pasukan itu kemudian mengetahui bahwa mereka berencana untuk meminta pengiriman dua pasukan dari [[Pontianak]] untuk mencegah pelarian Mulyono dan teman-temannya. Setelah berdiskusi dengan kelompoknya, mereka sepakat untuk menyerang pasukan patroli Belanda tersebut.{{sfn|Ekpres|2019|p=11}}
 
Pada jam 4 pagi, Mulyono dan rekan-rekannya, mengepung pesanggrahan pasukan Belanda. Beberapa tentara KNIL lainnya terlihat berjaga di luar pesanggrahan. Segera, salah seorang rekan Mulyono menghancurkan lampu [[petromaks]] pesanggrehan dan keadaan sekitar segera menjadi gelap.{{sfn|Ekpres|2019|p=12}} Salah seorang rekan Mulyono, Markasan, secara tidak sengaja melukai sepupunya sendiri dengan[[parang]], yang akhirnya membuat sepupunya meninggal dunia. Hal ini membuat Markasan menjadi marah, dan segera mengamuk serta membantai seluruh orang Belanda yang ada di pesanggrehan itu.{{sfn|Ekpres|2019|p=57}} Menurut cucu Markasan, Syahran, kejadian itu membuat Markasan menyimpan dendam terhadap pasukan KNIL, meskipun Syahran menyatakan bahwa dirinya melupakan nama sepupu Markasan yang tewas tersebut.{{sfn|Ekpres|2019|p=58}} Syahran hanya menceritakan bahwa Markasan kemudian selalu diburu oleh Belanda, dan menyebabkan ia selalu bersembunyi di dalam hutan. Pada akhirnya, Markasan berhasil ditangkap oleh Belanda karena salah seorang warga berkhianat dan melaporkan tempat persembunyian Markasan. Pada akhirnya, Markasan ditangkap dan disiksa, kemudian ditembak mati dihadapan istri dan anaknya sendiri, yang merupakan nenek dan ayah Syahran.{{sfn|Ekpres|2019|pp=57, 59}}
 
Meskipun begitu, dikabarkan bahwa tentara KNIL Belanda sempat melakukan serangan balasan. Mereka menembaki Mulyono dan kemudian melarikan diri menggunakan perahu [[sampan]].{{sfn|Ekpres|2019|pp=95}} Salah satu rekan Mulyono, Rawi, kemudian melompat ke Sungai Manjul untuk menyelamatkan diri dari tembakan pasukan KNIL. Menurut penduduk Tumbang Manjul, jejak telapak kaki Rawi yang melompat dari jendela pesanggrahan diklaim masih ada hingga sekarang dan terdapat di [[Ulin|kayu ulin]] yang menancap di dasar sungai.{{sfn|Ekpres|2019|pp=96}} Pada awalnya, Mulyono mengira Rawi tenggelam, namun kemudian Rawi muncul kembali ke permukaan sungai.{{sfn|Ekpres|2019|pp=97–98}} Sebelum melarikan diri, Mulyono melepaskan salah satu tawanan Belanda untuk membawakan atasannya sebuah surat, yang berisi pernyataan bahwa Mulyono adalah orang yang bertanggung jawab atas penyerangan ini, dan penyerangan ini tidak ada hubungannya dengan masyarakat setempat. Beberapa hari kemudian, Mulyono dan rekan-rekannya meninggalkan Kalimantan menuju [[Kabupaten Jepara|Jepara]].{{sfn|Ekpres|2019|pp=13–14}}
 
==== Tanggapan KNIL ====
KNIL Belanda dikabarkan sangat marah atas penyerangan ini. Sejak Desember 1946 sampai akhir Maret 1947, Belanda melakukan operasi pembersihan TRI secara besar-besaran di sepanjang Sungau Manjul sampai ke desa paling utara di Pambuang, meskipun operasi tersebut juga mendapatkan berbagai perlawanan dari pendukung TRI di Kalimantan.{{sfn|Ekpres|2019|pp=19}} Dalam operasi tersebut, tercatat ada 18 orang anggota TRI yang gugur, sementara banyak warga sipil yang ditangkap dan disiksa karena dianggap mendukung aksi TRI.{{sfn|Ekpres|2019|pp=19–20}} Pada akhirnya, jumlah anggota TRI di Kalimantan mengalami penurunan besar-besaran, dan banyak petinggi TRI di Kalimantan yang ditangkap dan dipenjara.{{sfn|Ekpres|2019|pp=20}}
 
=== Berangkat ke Tungkal ===
Mulyono melaporkan kepada Lubis bahwa kabar penyerbuan di Manjul sudah menyebar hingga ke [[Sampit]], dan kini dirnya sudah menjadi salah satu buronan yang paling dicari oleh Belanda.{{sfn|Ekpres|2019|p=21}} Lubis kemudian memberikan instruksi baru, yaitu untuk melatih kader baru di Tungkal dan Tambilahan.{{sfn|Ekpres|2019|p=21}}
 
Mulyono berangkat ke Tungkal pada Januari 1947, dan dengan cepat berhasil mengumpulkan 200 orang Banjar di Tungkal dan Tambilahan.{{sfn|Ekpres|2019|p=22}} 200 orang yang telah direkrut kemudian didaftarkan ke [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI).{{efn|Ekpres|2019|p=23}}
 
=== Pindah ke Singapura ===
Pada Januari 1948, dalam rangka keluar dari Tangkal. Mulyono bekerja sebagai pelaut pada sebuah tongkang bermotor dari Singapura. Dia bekerja di tongkang ini selama dua bulan pelayarannya di Singapura. Sampai di Singapura, Mulyono sempat kebingungan karena tidak memiliki keluarga atau teman di Singapura. Dalam kebingungan itu, Mulyono tiba-tiba bertemu dengan Jayadi Seman, rekan satu tim ketika menyerbu tentara Belanda di Tumbang Manjul.{{sfn|Ekpres|2019|p=24}} Jayadi sendiri mengaku sudah menetap di Singapura, dan saat inu menjadi seorang pedagang. Jayadi mengajak Mulyono untuk tinggal di rumahnya sebelum pergi ke Sambas. Selama tinggal di rumah Jayadi, Mulyono menceritakan bahwa ia mendapat tugas baru untuk melakukan operasi inteljen di Borneo Barat. Jayadi sendiri bercerita kepada Mulyono bahwa dia yang ditugasi sebagai kepala persiapan lapangan untuk wilayah Borneo.{{sfn|Ekpres|2019|p=25}}
 
Untuk menyeberang ke Sambas, Mulyono menumpang tongkang bermotor milik Abdurachman, mitra layadi di persiapan lapangan dan agen di Borneo Barat.{{sfn|Ekpres|2019|p=25}} Hingga akhirnya ia berhasil sampai di Sambas. Namun, ketika ia sampai di Sambas, ia ditangkap oleh tentara Belanda pada 23 September 1948, yang kemudian menginterogasinya terkait penyerbuan Tumbang Manjul dan kariernya di TRI. Mulyono kemudian berhasil selamat dan kemudian pindah ke Banjar untuk berpartisipasi dalam sebuah perundingan dengan Belanda, yang bertujuan agar Borneo Selatan tidak dimasukkan dalam [[Negara Federal Kalimantan]].{{sfn|Ekpres|2019|pp=26–27}}
 
=== Konfrontasi Malaysia ===
Mulyono kemudian pindah ke Puruk Cahu, sekitar tahun 1950-an.{{sfn|Ekpres|2019|p=33}} Diduga, Mulyono juga membangun salah satu basis militer di Puruk Cahu, sama seperti di Tumbang Manjul. Diketahui bahwa selama menetap di Puruk Cahu, Mulyono pernah dikunjungi oleh Jenderal [[Ahmad Yani]] dan [[Agus Siswandi]] dari [[Jakarta]]. Kunjungan itu terjadi sekitar tahun 1964, setahun sebelum Jenderal Yani terbunuh pada peristiwa [[Gerakan 30 September]].{{sfn|Ekpres|2019|p=35}}
 
Setelah kunjungan tersebut, Mulyono mempersiapkan 162 orang pemuda yang kemudian menyerang [[Serawak]] di [[Malaysia]]. Penyerangan ini dikatakan telah menarik banyak perhatian dari kalangan internasional.{{sfn|Ekpres|2019|pp=35–36}} Presiden Indonesia, [[Soekarno]], secara khusus menyebut penyerangan ini dalam pidatonya,{{sfn|Ekpres|2019|pp=37}}
{{Kutipan|Mati satu, tumbuh seribu. Mati seribu, tumbuh sepuluh ribu. Padahal gerilyawan yang ada di perbatasan Malaysia hanya ada seratus enam puluh dua orang.}}
Setahun kemudian, Mulyono menarik pasukannya dari Serawak, dikarenakan kondisi yang dinilai tidak kondusif, ditambah dengan adanya pemberontakan [[Partai Komunis Indonesia]]. Upaya untuk merebut Serawak mulai melemah, ditambah dengan pemerintahan [[Soeharto]] yang sepakat untuk berdamai dengan Malaysia.{{sfn|Ekpres|2019|p=37–38}}
 
== Kematian ==
Pada tahun 1975, Mulyono mendapat tugas ke [[Kalimantan Timur]]. Nama daerah pastinya tidak diketahui. Dalam perjalanannya menuju Kalimantan Timur, Mulyono menaiki sebuah [[speaedboat]] bersama beberapa orang penumpang lainnya.{{sfn|Ekpres|2019|pp=114}} Namun, speedboat tersebut kemudian mengalami kecelakaan. Badan speedboat menabrak tebing batu dan speedboat tersebut kemudian terbalik dan akhirnya pecah. Sementara itu, Mulyono terjepit di antara batu besar dan badan speedboat, namun ia tidak memedulikan dirinya sendiri dan berusaha untuk membantu penumpang lain yang terjebak di sekitarnya.{{sfn|Ekpres|2019|pp=115}} Hal ini berlanjut hingga ia merasakan sakit di bagian dadanya. Mulyono segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat, kemudian dipindah ke Rumah Sakit Suaka Insani di Banjarmasin.{{sfn|Ekpres|2019|pp=115}}
 
Setelah mendapatkan perawatan di Banjarmasin, diketahui bahwa [[paru-paru]] Mulyono pecah akibat terjepit di antara speedboat dan batu besar tersebut. Mulyono akhirnya meninggal dunia pada 11 Mei 1975 di Banjarmasin.{{sfn|Ekpres|2019|pp=115–116}} Ia kemudian dimakamkan di Makam Pahlawan Banjarmasin.{{sfn|Ekpres|2019|pp=116}}
 
== Warisan ==
=== Perusahaan tambang misterius ===
Di daerah Puruk Cahu, Mulyono mendirikan sebuah perusahaan tambang berbasis [[perseoran terbatas]] yang bernama PT Mulyono Mining Coorperation. Lokasi tambangnya adalah di Indo Muro Puruk Cahu dan sejumlah tempat lain. Perusahaan ini bekerja sama dengan sejumlah negara, seperti [[Australia]] dan [[Amerika Serikat]]. Salah satu nama yang diingat adalah Mr. Parker, seorang warga Amerika.{{sfn|Ekpres|2019|pp=107}}
 
Mulyono mempercayakan perusahaannya kepada teman-temannya, termasuk Markoni, Gatot, Tondo Widigdo, dan Hendro Sujiati. Namun mereka semua telah meninggal dunia. Anak-anak Mulyono dikabarkan ikut menandatangani kepemilikan saham perusahaan ayahnya.{{sfn|Ekpres|2019|pp=108–109}}
 
Meskipun begitu, hingga saat ini tidak diketahui di mana lokasi fisik perusahaan ini berada. Satu-satunya yang diketahui adalah Mulyono yang bekerjasama dengan Mr. Parker dan putranya, Mr. Robin untuk mengurus tambang di Puruk Cahu, namun sebelum hal itu terlaksana, Mulyono terlebih dahulu meninggal dunia pada tahun 1975.{{sfn|Ekpres|2019|pp=110, 111}}
 
=== Bendera pusaka ===
Salah satu sisa-sisa dari perjuangan Mulyono dan kelompoknya adalah sebuah bendera merah putir di Tumbang Laku. Mayoritas masyarakat percaya bahwa bendera tersebut dibawa oleh kelompok TRI pimpinan Mulyono yang bertujuan untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar sepenuhnya merdeka.{{sfn|Ekpres|2019|pp=69–71}} Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa bendera itu dibawa langsung oleh [[Tjilik Riwut]], Gubernur Kalimantan Tengah pertama untuk dikibarkan pada [[HUT RI|Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia]].{{sfn|Ekpres|2019|pp=72}} [[Yulhaidir]], bupati ketiga Seruyan memiliki versi sendiri. Menurutnya, bendera tersebut dibawa oleh kakeknya, Jamhir bin Matnor dari Banjarmasin.{{sfn|Ekpres|2019|pp=73}} Jamhir sendiri membawa banyak bendera serupa untuk dibagikan ke setiap desa, menandai akhir dari kekuasaan penjajah atas Indonesia.{{sfn|Ekpres|2019|pp=74}} Pada akhirnya, Jamhir diburu oleh tentara Belanda, dan terpaksa mengganti namanya menjadi Ijam bin Nor.{{sfn|Ekpres|2019|pp=75–77}}
 
Selama masa pemerintahan [[Sudarsono]] sebagai bupati, pemerintah telah membuatkan peti kayu berukuran 40×70 cm sebagai tempat penyimpanan bendera tersebut, setelah sebelumnya bendera tersebut disimpan di dalam sebuah lemari pakaian.{{sfn|Ekpres|2019|pp=70}} Bendera itu sendiri hanya akan dikeluarkan pada saat [[HUT RI|Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia]] saja.{{sfn|Ekpres|2019|pp=70–71}}
 
== Referensi ==
{{Tl|Reflist}}
 
== Bibliografi ==
* {{cite book|title=Pertempuran Tumbang Manjul: Menelusuri jejak Kapten Mulyono di Tanah Dayak|last=Ekpres|first=Palangka|date=2019|publisher=Idea Press Yogyakarta|language=id|isbn=978-6237085058|ref={{sfnref|Ekpres|2019}}}}
 
=Halaman lama (April–September 2022)=