Abu al-Mafakhir dari Banten: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 22:
== Kehidupan awal ==
[[Maulana Muhammad dari Banten|Sultan Maulana Muhammad]] wafat pada awal tahun 1596 di [[Kota Palembang|Palembang]] ketika sedang melakukan ekspedisi militer terhadap [[Kesultanan Palembang]].<ref>{{Cite book|last=Hernadi|first=Edi|url=https://books.google.com/books?id=W0yqDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA198&dq=sultan+maulana+muhammad+palembang&hl=en|title=Sejarah Nasional Indonesia: Edisi Revisi 2013|publisher=Uwais Inspirasi Indonesia|isbn=978-623-227-121-0|language=id}}</ref> Kemudian pada tanggal [[23 Juni]] [[1596]], dikarenakan putranya Abul Mafakhir masih berusia lima bulan, maka untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya. Pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal, jabatannya digantikan oleh adiknya. Namun [[17 November]] [[1602]] ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Khawatir akan terjadi perpecahan dan iri hati, maka pemerintahan diputuskan untuk tidak dipegang oleh Mangkubumi, tetapi langsung oleh Ibunda Sultan, Nyimas Ratu Ayu Wanagiri yang menikah lagi dengan Pangeran Camara.<ref name="djajadiningrat">Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> Nyimas Ratu lalu mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan Abul Mafakhir.<ref name="
Keberadaan Pangeran Camara sebagai wali sultan tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah [[kesultanan Banten]] sehingga dikatakan bahwa kekuasaan wali sultan yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah kapal [[Djong (kapal)|jung]] dari [[Johor]] oleh Pangeran [[Arya Mandalika]] (anak dari [[Maulana Yusuf dari Banten|Maulana Yusuf]]), seruan dari Patih untuk melepaskan jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Arya Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, dimana mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota Banten, Masalah ini kemudian dapat diselesaikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Arya Mandalika oleh [[Pangeran Jayakarta]] yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuan militernya, lalu akhirnya dibuatlah perjanjian damai antara kubu istana dengan kubu Pangeran Arya Mandalika, dimana dalam perjanjian disebutkan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah Kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.<ref name="djajadiningrat" />
Baris 38:
Situasi ini mendorong terjadinya perang antara kedua belah pihak pada bulan November 1633. Perang tersebut menurut versi VOC dimulai karena orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik VOC, sehingga memicu perang besar antara Kesultanan Banten dengan VOC. Pihak Kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan VOC dikarenakan pada masa itu VOC sedang melemah akibat berperang dengan Mataram.<ref name="michrob">Michrob, Halwany, A. Mudjahid Chudari. 1989. Catatan masalalu Banten. [[Serang]]: Pengurus Daerah Tingkat II Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kapubaten Serang</ref>
Di tanggal 5 Januari 1634 VOC mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Keraton Surosowan, lalu diadakan blokade menyeluruh atas wilayah perairan [[Teluk Banten]]. Pengepungan VOC di perairan Tanara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin [[Tubagus Singaraja]], bangsawan pejabat Banten di Tanara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten baru dapat digagalkan setelah digunakannya taktik yang baru melalui pembakaran kapal-kapal pemblokade VOC yang dipimpin kapal induk yang disebut ''Barungut''.<ref name="
=== Konflik dengan Mataram ===
Baris 45:
Di tahun 1627, anak dari bupati wedana [[Parahyangan]] [[Rangga Gempol I]] yang bernama [[Kartajiwa]] menghadap Abulmafakhir dikarenakan kekecewaannya karena jabatan bupati wedana ayahnya tidak turun kepada dirinya namun pamannya yaitu [[Rangga Gede]]. Kartajiwa mengusulkan untuk memimpin tentara Banten menyerbu daerah Parahyangan, dimana apabila Parahyangan berhasil dikuasai olehnya, maka daerah tersebut akan menggabungkan diri sebagai bagian dari Banten.<ref>{{Cite book|last=Lubis|first=Nina Herlina|date=2001|url=https://books.google.com/books?id=4RZxAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Suriadiwangsa+II&q=Suriadiwangsa+II&hl=en|title=Konflik elite birokrasi: biografi politik Bupati R.A.A. Martanagara|publisher=Humaniora Utama Press|isbn=978-979-9231-52-9|language=id}}</ref> Abulmafakhir menyanggupi usulan tersebut, dimana ia memberikan Kartajiwa pasukan untuk dipimpin olehnya. Dalam penyerbuan ini daerah-daerah perbatasan di Parahyangan sebelah barat berhasil diduduki oleh Banten, meskipun hanya bersifat sementara karena pasukan Mataram di bawah pimpinan [[Dipati Ukur]] berhasil mengusir pasukan Banten keluar dari daerah Parahyangan.<ref>{{Cite book|last=Lubis|first=Nina Herlina|date=1998|url=https://books.google.com/books?id=QZBuAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Dipati+Ukur+%22Suriadiwangsa+II%22&q=Dipati+Ukur+%22Suriadiwangsa+II%22&hl=en|title=Kehidupan kaum ménak Priangan, 1800-1942|publisher=Pusat Informasi Kebudayaan Sunda|language=id}}</ref>
Sultan Agung memiliki niatan untuk menaklukan Banten secara menyeluruh, namun sebelumnya ia [[Penyerbuan di Batavia|menyerbu Batavia]] terlebih dahulu agar bisa mengusir VOC kemudian menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer sebelum menyerbu Banten secara langsung. Dua serbuan Mataram yang dilakukan tahun 1628 & 1629 ini gagal menaklukan Batavia.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2021-06-21|title=Mengapa Serangan Sultan Agung ke Batavia Mengalami Kegagalan?|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/21/150000479/mengapa-serangan-sultan-agung-ke-batavia-mengalami-kegagalan|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-02-28}}</ref> Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan anaknya [[Amangkurat I]], ia meminta bantuan penguasa Cirebon [[Panembahan Ratu II]] (Sultan Abdul Karim) untuk membujuk Banten agar mau bersahabat dengan Mataram.<ref name="
Di tahun 1650, Cirebon mengirim kembali utusan atas perintah Mataram bernama Jiwaprana dan Nalawangsa untuk kembali membujuk Banten agar mau mengakui eksistensi dan superioritas Mataram, menurut Abul Mafakhir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram di atas Banten namun sultan Abul Mafakhir tetap tidak bersedia.<ref name="titik23">Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. [[Jakarta]]: Wedatama Widya Sastra</ref> Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk Abul Mafakhir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat Penambahan Ratu II mengirimkan langsung kerabatnya yaitu Pangeran Martasari, Pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat Cirebon bernama Wiratantaha.<ref name="
Banten dan Mataram lalu terus bermusuhan hingga terjadi [[Pemberontakan Trunajaya]] di tahun 1674.<ref>{{Cite book|last=Kartodirdjo|first=Sartono|date=1987|url=https://books.google.com/books?id=TYYeAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Pemberontakan+Trunajaya+Banten&q=Pemberontakan+Trunajaya+Banten&hl=en|title=Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari emporium sampai imperium|publisher=Gramedia|isbn=978-979-403-129-2|language=id}}</ref>
|