Mi instan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 196:
Aspek penting lain yang dapat dimaknai dari maraknya konsumsi mi instan adalah kegagalan pemerintah Orde Baru mendorong diversifikasi pangan. Banyak yang menilai, berbeda dengan Orde Lama yang berusaha mengembangkan berbagai alternatif makanan pokok, pemerintah Soeharto cenderung mentitikberatkan penyeragaman pangan, dengan hanya mendorong beras sebagai bahan pokok utama dan produk olahan gandum sebagai substitusinya. Gandum dianggap sebagai "penyelamat" cepat jika pemerintah gagal mengatasi krisis pangan yang ada, yang dalam hal ini adalah memacu produksi beras. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki keanekaragaman pangan yang kaya, dengan adanya hasil bumi seperti sagu, umbi-umbian dan biji-bijian yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber [[karbohidrat]] alternatif.<Ref>[https://cemeti.art/2022/04/22/kertas-kerja-pembusukan-indomie-no-1/ Kertas Kerja Pembusukan Indomie No 1]</ref><ref name=gg>[https://www.alinea.id/bisnis/ketika-terigu-menggerogoti-pangsa-konsumsi-beras-b2hSE9Ngt Ketika terigu menggerogoti pangsa konsumsi beras]</ref><ref>[https://lib.ui.ac.id/data/digital/2021-7/20497522-S-Muhamad%20Rafi%20Somantri.pdf Tata Niaga Terigu di Masa Orde Baru]</ref>
Keberadaan mi instan sebagai bahan pangan utama masyarakat sebenarnya sungguh ironis. Tidak seperti bangsa-bangsa [[Asia Timur]], Indonesia tidak memiliki tradisi yang kuat dalam konsumsi mi. Lebih parahnya lagi, gandum sebagai bahan dasar mi tidak mampu dibudidayakan secara masif di Indonesia.<ref name=mie/> Akibatnya, Indonesia
Ketergantungan impor gandum (dan konsumsi mi instan) tidaklah berdampak positif. Seperti misalnya ketika [[Perang Rusia-Ukraina]] mencuat sejak awal 2022, kebutuhan gandum Indonesia yang salah satunya disuplai dari kedua negara, mendapat ancaman yang dapat mendorong kenaikan harga mi di dalam negeri.<ref name=jadi/><ref name=pangan/> Sayangnya, langkah-langkah mengatasi masalah ini, seperti rencana substitusi gandum dengan produk pangan lain (sorgum, mocaf, dll), atau upaya mengembangkan gandum yang bisa ditanam di Indonesia,<ref>[https://www.voaindonesia.com/a/pakar-gandum-indonesia-potensial-tetapi-belum-kompetitif-/6703229.html Pakar: Gandum Indonesia Potensial, Tetapi Belum Kompetitif]</ref> sejauh ini cenderung hanya menjadi wacana. Selain itu, harga mi instan yang lebih murah daripada nasi,<ref name=Liem/> juga membuat beberapa kelompok masyarakat bawah, seperti petani dan buruh, dirugikan mengingat harga beras yang bisa ditekan dengan harga mi.<ref name=mie/> Mi instan juga bukanlah produk pangan yang ideal untuk menciptakan masyarakat yang sehat mengingat nutrisinya yang rendah.<Ref name=jurno/>
|