Gajah Mada: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Surijeal (bicara | kontrib)
Dikembalikan ke revisi 24365644 oleh OrophinBot (bicara): Tidak diberi rujukan (TW)
Tag: Pembatalan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 128:
Begitulah bunyi pemberitaan dalam ''[[Kakawin Nagarakretagama]]'' pupuh 70 bait 1–3 dikutip Slamet Muljana dalam ''Tafsir Sejarah Nagarakretagama''. Raja Majapahit Rajasanegara atau [[Hayam Wuruk]] yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke [[Simping]] (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu kota Majapahit.
 
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam ''Gajah Mada Biografi Politik'' menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah ''[[Kakawin Nagarakretagama]]'' yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka ([[1364]] M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai ''wanaprastha'' (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya. Tuduhan para pembesar Majapahit terhadap Gajah Mada yang berambisi menyatukan nusantara merupakan ikon dari watak raja Kertanegara karena sama- sama berambisi meluaskan kekuasaan walaupun harus menyingkirkan lawan politiknya. Tuduhan yang di tujukan kepada Gajah Mada merupakan indeks dari konspirasi politik para pejabat Majapahit untuk menghancurkan dan menyingkirkan Gajah Mada dari percaturan politik di kerajaan
Majapahit. Fitnah yang di mainkan oleh sebagian pejabat Majapahit untuk menghancurkan nama baik Gajah Mada merupakan simbol dari kebencian sebagian pejabat Majapahit akibat dendam masa lalu dan timbulnya
keinginan untuk mengikis dominasi Gajah Mada di kerajaan Majapahit.
 
Adapun ''Kidung Sunda'' menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area ''Karsyan'' yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota Majapahit dalam ''Nagarakretagama'', segera setelah mendengar sang patih sakit.