Perang Bubat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Mars Julian (bicara | kontrib) k Mengembalikan suntingan oleh 202.67.40.6 (bicara) ke revisi terakhir oleh 202.67.40.203 Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Verosaurus (bicara | kontrib) Membalikkan revisi 24690408 oleh 202.67.40.203 (bicara) Tag: Pembatalan |
||
Baris 128:
Menurut tradisi, wafatnya Dyah Pitaloka ditangisi oleh Hayam Wuruk dan seluruh penduduk kerajaan Sunda yang telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaannya. Kemudian, raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, sepupunya sendiri. Perbuatan Pitaloka dan keberanian ayahnya dipuja sebagai tindakan mulia kehormatan, keberanian dan martabat dalam tradisi [[orang Sunda|Sunda]]. Ayahnya, Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dipuja oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi ({{lang-su|raja dengan aroma yang menyenangkan}}) karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit. Keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut [[Siliwangi]] ({{lang-su|penerus Wangi}}).
Gajah Mada menghadapi tentangan, ketidakpercayaan dan ejekan di istana Majapahit karena tindakannya yang ceroboh, yang tidak sesuai selera para bangsawan Majapahit, telah mempermalukan martabat Majapahit, dan merusak pengaruh raja Hayam Wuruk. Peristiwa malang ini juga menandai berakhirnya karir Gajah Mada, karena tidak lama setelah peristiwa ini, raja memaksa Gajah Mada untuk pensiun dini melalui pemberian perdana menteri tanah di Madakaripura (hari ini [[Probolinggo]]), sehingga diasingkan jauh dari urusan istana ibu kota.
Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan dan mengakibatkan permusuhan selama bertahun-tahun yang akan datang, situasi tidak pernah kembali normal.<ref name="end"/> Pangeran Niskalawastu Kancana—adik puteri Pitaloka yang semasa kecil tinggal di keraton Kawali (ibu kota Sunda Galuh) dan tidak menemani keluarganya ke Majapahit—menjadi satu-satunya pewaris Raja Sunda yang masih hidup. Kebijakannya setelah naik takhta antara lain memutuskan hubungan diplomatik Sunda dengan Majapahit, memberlakukan kebijakan isolasi terhadap Majapahit, termasuk memberlakukan undang-undang "Larangan Estri ti Luaran", yang melarang orang Sunda menikah [[orang Jawa|Jawa]]. Reaksi-reaksi ini mencerminkan kekecewaan dan kemarahan Sunda terhadap Majapahit, dan kemudian berkontribusi pada permusuhan Sunda-Jawa, yang mungkin masih berlangsung hingga saat ini.<ref>{{Cite news|url=https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3670213/antropolog-dampak-perang-bubat-diwariskan-lintas-generasi/komentar|title=Antropolog: Dampak Perang Bubat Diwariskan Lintas Generasi|last=Hadi|first=Usman|work=[[Detik.com|detikcom]]|language=id-ID|access-date=2018-05-06|date=2017-10-04}}</ref>
|