Jalan Tol Padang–Sicincin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wasid Hagono (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Wasid Hagono (bicara | kontrib)
Baris 33:
 
=== Masalah Hukum Pemerintah ===
Suku Minangkabau menganut sistem kekerabatan matri- lineal, yakni kekerabatan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu. Jadi suku seseorang di Minangkabau mengikuti suku ibunya<ref>{{Cite journal|last=Ariani|first=Iva|date=2015|title=NILAI FILOSOFIS BUDAYA MATRILINEAL DI MINANGKABAU (RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGAN HAK-HAK PEREMPUAN DI INDONESIA)|url=https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12613|journal=Jurnal Filsafat, UGM|volume=25|issue=1|pages='32-55'}}</ref>. Dalam Suku Minangkabau di kenal dua jenis kepemilikan tanah yaitu Tanah Pribadi yang bisa diperjualbelikan dan juga Tanah Ulayat. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3) adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan<ref>{{Cite web|title=Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Sumatera Barat (15/12)|url=https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/252-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat#:~:text=Tanah%20ulayat%20kaum%20adalah%20hak,mamak%20jurai/mamak%20kepala%20waris.|website=www.pa-cilegon.go.id|access-date=2023-11-27}}</ref>. Menurut Pemerintah Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Pasal 5 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatanya diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat.<ref>{{Cite web|title=Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Sumatera Barat (15/12)|url=https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/252-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat#:~:text=Tanah%20ulayat%20kaum%20adalah%20hak,mamak%20jurai/mamak%20kepala%20waris.|website=www.pa-cilegon.go.id|access-date=2023-11-27}}</ref>
 
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara, Jadi menurut peraturan Pemerintah ini kepastian hukum bagi tanah ulayat dalam pendaftaran tanah tidak ada. Haknya dihormati akan tetapi dalam tataran pelaksananya berupa bukti sertifikat sebagai proses pendaftaran tanah tidak diakui. Sehingga tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati.
Baris 41:
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tanah ulayat bukan merupakan obyek pendaftaran tanah, akan tetapi berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan tanah ulayat dapat dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut kententuan hukum adatnya yang berlaku. Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan bisa menguasai tanah ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
 
Dari paparan diatas, secara jelas dapat diketahui tanah ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum, padahal tanah ulayat merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak bisa dibagi dan harus dihormati demi persatuan bangsa sesuai amanat UUPA Pasal 3. Hal ini tentu membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi perlindungan hak mereka<ref>{{Cite web|title=Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Sumatera Barat (15/12)|url=https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/252-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat#:~:text=Padahal%20tanah%20ulayat%20tidak%20bisa,Tahun%201997%20tentang%20Pendaftaran%20Tanah.|website=www.pa-cilegon.go.id|access-date=2023-11-27}}</ref>. Dengan tidak adanya kepastian Hukum tentang tanah ulayat ini maka patut diduga mucul mafia tanah yang menguasai Tanah Ulayat tersebut.
 
=== Masalah Hukum Adat ===
Salah satu harta pusaka tinggi kaum Suku Minangkabau adalah berupa tanah. Tanah bagi orang Minangkabau begitu penting, terutama yang berkaitan dengan kepemilikannya oleh kaum yang merupakan tempat lahir, tempat hidup, dan juga tempat mati kaum tersebut. Analoginya, sebagai tempat lahir maka setiap kerabat harus memiliki sebuah rumah, tempat anak cucu dilahirkan; sebagai tempat hidup, setiap kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang menjadi andalan untuk menjamin makan kerabat; sebagai tempat mati maka setiap kaum harus mempunyai pandam pusara agar jenazah kerabat jangan sampai telantar. Ketiga-tiganya harta pusaka yang melambangkan kesahannya orang Minangkabau. Oleh karena itu haram hukumnya bagi orang Suku Minangkabau untuk menjual tanah ulayat kecuali dengan 4 syarat berikut ini ''mayit tabujua di tangah rumah'' (mayat terletak di tengah rumah), ''rumah gadang katirisan'', (mendirikan rumah besar) ''gadih gadang alun balaki'', (gadis tua belum bersuami), ''mambangkik batang tarandam''. (menegakkan penghulu) dan itupun sistem Gadai dan tidak dilepas total, jadi nanti bisa di tebus kembali tanahnya apabila sudah mampu<ref>{{Cite book|last=Fitriana|first=Arma|date=2021|url=http://repository.iainbengkulu.ac.id/7485/1/SKRIPSI%20ARMA%20FULL.pdf|title=KEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM|location=Bengkulu|url-status=live}}</ref>.
 
Di Minangkabau tanah ulayat dibagi menjadi tanah ulayat rajo, tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum. Tanah ulayat rajo’ merupakan hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat. Tanah ulayat nagari diartikan sebagai tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. tanah ulayat suku diartikan sebagai hak milik atas tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Sedangkan ‘tanah ulayat kaum’ sebagai hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum ini dimiliki secara bersama dalam keturunan matrilineal yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh yang tidak terbagi-bagi. Tanah ulayat kaum inilah yang untuk saat sekarang ini yang lebih menonjol dibandingkan dengan tanah ulayat lainnya. Tanah ulayat kaum hanya bisa diwarisi garis perempuan secara kolektif, sedangkan laki-laki dalam kaum tersebut hanya berhak mengatur dan melaksanakan segala hal yang berkenaan dengan kepentingan bersama, termasuk dalam memelihara harta benda kekayaan kaum serta harkat dan martabat kaum. Tanah ulayat kaum tidak dapat dibagi-bagikan kepada orang-perorangan yang menjadi anggota kaum untuk dimiliki, karena harta tersebut akan tetap berada dalam penguasaan kaum secara komunal.
 
Berbeda dengan kenyataannya bahwa tanah ulayat, terutama ulayat kaum, sering menimbulkan sengketa, baik di dalam kaum itu sendiri maupun antara suatu kaum dengan pihak lainnya. Persengketaan yang terjadi dapat berupa masalah pewarisan. Adanya sengketa pewarisan di dalam kaum salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan dari anggota kaum tentang falsafah ''ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapangadok''. Anggota kaum yang menguasai tanah ulayat kaum secara ''ganggam bauntuak, pagang bamasiang, hiduik bapangadok'' berpandangan bahwa tanah ulayat kaum tersebut telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki, padahal penguasaannya itu hanya untuk dikelola dan untuk diambil hasilnya, yaitu dalam arti kata ‘kepemilikan semu’. Sengketa pewarisan dapat juga terjadi antara suatu kaum dengan kaum lainnya atau orang perseorangan lainnya.
 
Bentuk persengketaan lainnya adalah disebabkan karena adanya pengalihan hak terhadap tanah ulayat kaum, baik dengan titel jual beli ataupun dengan pagang gadai. Apabila ditelaah prinsip yang dikandung oleh tanah ulayat kaum, bahwa tanah ulayat kaum tidak dapat dilakukan pengalihan hak. Prinsip ini sesuai dengan pepatah adat ''jua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando'', kecuali dalam batas-batas tertentu yang tujuannya adalah untuk menutup malu, yaitu ''mambangkik batang tarandam'', ''mayik tabujua di ateh rumah'', ''rumah gadang katirisan'', ''gadih gadang indak balaki.'' Namun demikian pengalihan hak tersebut haruslah dengan kesepakatan seluruh anggota kaum, dan biasanya sengketa terjadi karena pengalihan hak dilakukan oleh seorang atau beberapa orang anggota kaum tanpa adanya kesepakatan seluruh anggota kaum. <ref>{{Cite web|title=Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum - Peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah Ulayat Kaum|url=https://badilum.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/2453-peran-kerapatan-adat-nagari-kan-dalam-menyelesaikan-sengketa-tanah-ulayat-kaum.html#:~:text=Dalam%20istilah%20lain,%20tanah%20ulayat,ini%20menjadi%20harta%20sumpah%20setia.|website=badilum.mahkamahagung.go.id|access-date=2023-11-27}}</ref>
 
=== Dugaan Adanya Mafia Tanah ===
Dalam proses Pembebasan Lahan Jalan Tol Padang Sicincin sebagai 36,6 Km yang dimulai sejak Februari 2018 mengalami banyak sekali kendala terutama dengan bukti kepemilikan atas tanah yang berupa sertifikat hak milik kecuali tanah pribadi bukan tanah ulayat karena adanya beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN yang menyebabkan tanah ulayat ini tidak memiliki kepastian hukum, sehingga celah hukum ini dimanfaatkan oleh Mafia Tanah. Hal ini dibuktikan dengan adanya gugatan Ke Pengadilan Negeri Pariaman dengan Nomor Perkara 82/Pdt.G/2022/PN.Pmn sebab penggugat merasa dirugikan karena ada pihak lain yang mengklaim atas tanah yang diduduki oleh penggugat sehingga hal ini mengganggu atas proses pencairan Uang Ganti Rugi pembangunan jalan tol, selain itu pihak tergugat juga merasa tanah itu miliknya sehingga terjadilah saling gugat menggugat ke Pengadilan Negeri Pariaman, sementara objek yang diperdepatkan adalah sebanyak 41 NIS dan Jumlah tergugat sebanyak 17 orang. <ref>{{Cite web|last=Selvia|first=Novitri|date=2023-03-02|title=Polda Usut Dugaan Praktik Mafia Tanah, Pembebasan Lahan Tol Padang-Sicincin|url=https://padek.jawapos.com/utama/02/03/2023/polda-usut-dugaan-praktik-mafia-tanah-pembebasan-lahan-tol-padang-sicincin/|website=Padek.co|language=id|access-date=2023-11-27}}</ref>.
 
Selain kasus di atas ada juga kasus bidang tanah yang digugat Rangkayo Mulie dan gugatan Afrizen terhadap 307 bidang tanah di Nagari Kapalohilalang. Selain itu ada Juga 9 Laporan Kepada Polda Sumatera Barat terkait dugaan kasus Mafia Tanah ini.
 
== Referensi ==