Piagam Jakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Membalikkan revisi 24145714 oleh Aadne Schneider (bicara)
Tag: Pembatalan
Baris 131:
Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPK menggelar sidang resmi keduanya dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang terkandung dalam Piagam Jakarta.{{sfn|Schindehütte|2006|p=125}} Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]".{{sfn|Elson|2009|p=114}}
 
Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah [[Johannes Latuharhary]], seorang anggota beragama [[Kristen Protestan|Protestan]] yang berasal dari [[Pulau Ambon]]. Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali" terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa [[Orang Minangkabau|etnis Minangkabau]] meninggalkan [[Adat Minangkabau|adat istiadat]] mereka dan juga berdampak terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku.{{sfn|Elson|2009|p=115}} Dua anggota lain yang tidak setuju dengan tujuh kata adalah [[Wongsonegoro]] dan [[Hoesein Djajadiningrat]]. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam untuk menjalankan hukum syariat. Salah satu anggota Panitia Sembilan, Wahid Hasjim, menampik kemungkinan terjadinya pemaksaan karena adanya dasar permusyawaratan. Ia juga berkomentar bahwa meskipun ada anggota yang menganggap tujuh kata itu "tajam", ada pula yang menganggapnya "kurang tajam".{{sfn|Boland|1971|p=29}}
 
Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam. Ia juga mengusulkan agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen untuk menjadikan Islam sebagai [[agama negara]] ditambah dengan klausul yang menjamin kebebasan beragama untuk kaum non-Muslim. Menurutnya, hal ini diperlukan karena hanya agama yang dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk mengambil nyawa dalam konteks pertahanan nasional.{{sfn|Anshari|1976|p=28-29}}{{sfn|Elson|2009|pp=115-116}} Anggota BPUPK lainnya, [[Otto Iskandardinata]], menentang usulan agar Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengusulkan agar tujuh kata di Piagam Jakarta diulang dalam Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar.{{sfn|Anshari|1976|p=29}}