Pertanggungjawaban korporasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kepada -> ke (tata bahasa, "kepada" untuk orang), +iw (mengurangi risiko kebingungan) | t=1'763 su=189 in=195 at=189 -- only 24 edits left of totally 214 possible edits | edr=000-0000 ovr=010-1111 aft=000-0000 |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Newcomer task: copyedit |
||
Baris 11:
Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di [[Indonesia]] mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber [[lumpur]] di [[Sidoarjo]] yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. [[Lapindo Brantas]]. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri di sekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.
'''[[Kejahatan Korporasi]]''' (''[[Corporate Crime|Corporate rime]]'')
Akibat semakin
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai ''[[corporate crime]]'', banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin [[''universitas delinquere non potest'']] (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi [[hukum]] yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (''mens rea'') selain adanya perbuatan (''actus reus'') atau dikenal dengan [[''actus non facit reum, nisi mens sit rea'']].
Namun, masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran ''corporate crime''. Menurut '''[[Mardjono Reksodiputro]]''' ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (''fysieke dader'') namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran "pelaku fungsional" (''functionele dader'') . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam [[lalu lintas]] bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.
Di negara-negara [[Common Law System]] seperti [[Amerika Serikat|Amerika]], [[Inggris]], dan [[Kanada]] upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (''corporate criminal liability'') sudah dilakukan pada saat [[Revolusi Industri]]. Menurut '''[[Remy Sjahdeini]]''' ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah ''doctrine of strict liability'' dan [[''doctrine of vicarious liability'']]. Berdasarkan ajaran ''strict liability'' pelaku [[tindak pidana]] dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran ''vicarious liability'' dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
|