Sumpah Palapa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Verosaurus (bicara | kontrib) |
Miminsastra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 5:
== Isi sumpah ==
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks [[Sastra Jawa Pertengahan|Jawa Pertengahan]] ''[[Pararaton]]'', yang berbunyi:<ref name=":0">{{Cite book|last=Purwanto|first=Heri|year=2023|title=Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit|location=Tangerang Selatan|publisher=Javanica|isbn=978-623-98438-4-7}}</ref>{{Rp|363}}
{{cquote2|Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".}}
Baris 31:
[[Petrus Josephus Zoetmulder]] memaknai ''amukti palapa'' sebagai "menikmati suatu keadaan dimana segalanya bisa diambil", atau secara sederhana "menikmati kesenangan"; sedangkan menurut [[Slamet Muljana]] bermakna "menikmati istirahat".<ref name=":0" />{{Rp|364}}
==
<blockquote>Sumpah Palapa diikrarkan oleh Gajah Mada ketika ia dilantik sebagai Patih kerajaan Majapahit pada tahun 1331 M. Intisari sumpah tersebut adalah bahwa Gajah Mada bersumpah untuk tidak akan makan palapa (semacam jenis rempah-rempah yang manis), tidak juga bersenang-senang atau beristirahat sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah kekuasaan Majapahit.
Upaya terakhirnya yaitu dengan upaya penyatuan, melalui perkawinan antara Raja Hayam Wuruk dengan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda.
Namun upaya tersebut gagal dan ditandai dengan tragedi Bubat. Tragedi tersebut yaitu peristiwa tewasnya rombongan pengantin Sunda akibat pengkhianatan oleh Gajah Mada sebagai Patih Majapahit dan pasukannya yang terjadi pada 1357 M di Bubat.
Tragedi ini menewaskan Raja Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi. Peristiwa ini disebutkan dalam naskah kuno seperti Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Carita Parahyangan, dan Serat Keraton. Tragedi inilah yang menandai kegagalan Gajah Mada dalam memenuhi Sumpah Palapa yang diikrarkannya.
Sumpah Palapa sebagaimana juga Perang Bubat disinggung di dalam salah satu pupuh Pararaton, tarikh Jawa dari abad ke-15. Jati diri penulisnya tidak diketahui.
Pararaton disusun dalam bentuk catatan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1474–1486, sementara bagian sastrawinya disusun sebagai uraian sejarah antara tahun 1500–1613. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1896 oleh J.L.A. Brandes, seorang filolog Belanda, lengkap dengan terjemahan, keterangan, dan ulasan.
Beberapa sejarawan mempertanyakan keaslian Pararaton, serta berpendapat bahwa Kidung Sunda hanyalah sebuah novel fiksi kuno dan Perang Bubat tidak pernah terjadi.
Demi merukunkan beragam kajian ini, penting untuk dipahami bahwa Nagarakretagama adalah sebuah pujasastra.[ii] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto memaparkan di dalam Sejarah Nasional Indonesia II bahwa "peristiwa ini tampaknya sengaja dikesampingkan Prapanca dalam Nagarakretagama, karena tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politis Gajah Mada untuk menundukkan orang Sunda."
Menurut tradisi, wafatnya Dyah Pitaloka ditangisi oleh Hayam Wuruk dan seluruh penduduk kerajaan Sunda yang telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaannya.
Kemudian, raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, sepupunya sendiri. Perbuatan Pitaloka dan keberanian ayahnya dipuja sebagai tindakan mulia kehormatan, keberanian dan martabat dalam tradisi Sunda. Ayahnya, Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dipuja oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi (Sunda: raja dengan aroma yang menyenangkan) karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit.
Keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut Siliwangi (Sunda: penerus Wangi).
Gajah Mada menghadapi tentangan, ketidakpercayaan dan ejekan di istana Majapahit karena tindakannya yang ceroboh, yang tidak sesuai selera para bangsawan Majapahit, telah mempermalukan martabat Majapahit, dan merusak pengaruh raja Hayam Wuruk.
Peristiwa malang ini juga menandai berakhirnya karir Gajah Mada, karena tidak lama setelah peristiwa ini, raja memaksa Gajah Mada untuk pensiun dini melalui pemberian sebidang tanah di Madakaripura (hari ini Probolinggo), sehingga diasingkan jauh dari urusan istana ibu kota.</blockquote>
== Lihat pula ==
|