Pandangan dekolonialitas sendiri mencakup berbagai macam bentuk teori kritis, dan dalam keilmuan akademis ia mempelajari dan menganalisis tentang perbedaan kelas, penelitian kelamin, penellitian etnis dan ras, serta penelitian wilayah. Dekolonialitas juga dianggap mempelajari unsur penguraian dan kebijaksanaan dari "pilihan-pilihan untuk melawan dan memutus rantai keterikatan dari [...] acuankandungan kekuatan penjajahan<ref>{{Cite web|title=coaccess|url=https://apps.crossref.org/coaccess/coaccess.html?doi=10.1215%2F9780822394501|website=apps.crossref.org|doi=10.1215/9780822394501|access-date=2021-10-25}}</ref> atau "acuan kemoderenan" yang sering kali berakar dari penjajahan. Pandangan dekolonialitas juga mempercayai bahwa walaupun secara resmi penjajahan telah berakhir dengan [[dekolonisasi Amerika|berhentinya penjajahan di benua Amerika]] pada abad ke-18 dan ke-19, serta [[dekolonisasi|pemberhentian penjajahn]] besar-besaran di negara-negara Selatan pasca [[Perang Dunia II]], imperialisme Barat dan globalisas masih mempertahankan kesenjangan antara negara-negara adidaya dan negara-negara berkembang.
Menurut Quijano, matrikskandungan kekuatan penjajahn negara-negara Barat menciptakan kesenjangan dan marjinalisasi sosial dalam konteks ras, etnisitas, nasionalitas, sosial, serta sejarah sehingga dekolonialitas selalu sepadan dengan upaya pelepasan dari penghasilan ilmu yang kebarat-baratan. Dekolonialitas juga merujuk pada pendekatan penguraian terhadap sebab-sebab seperti pelaksanaan sosioekonomi dan politik yang jauh dari pelaksanaan dan pandangan Eurosentrik.
Sebagai gerakan sosial, dekolonialitas juga dipandang sebagai gerakan untuk melepaskan diri dari pemikiran, pelaksanaan, kaidah, nilai, dan kesusilaan yang berasal dari warisan penjajahan untuk mencapai sebuah masyarakat yang "terbebas dari kesenjangan, kejahatan, pemerasan, serta penguasaan yang jahat."