Suku Keo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jeff van Timor (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Jeff van Timor (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 20:
Di [[Kepulauan Sunda Kecil]], beberapa penguasa lokal dengan sistem penguasa asli setempat yang dikenal dengan nama tetua adat (''adathoofden'' atau ''mosalaki'') dan pengawas atau pengatur tanah (''grondvoogden'' atau ''ine tana ame watu'') difungsikan oleh pemerintah kolonial. Hingga tahun 1910-an, pemerintah kolonial Belanda sering memandang Keo sebagai kawasan dengan masyarakat yang keras kepala, sulit diperintah, dikuasai, dan diatur. Kesan itu timbul karena di wilayah Keo pada masa itu telah terjadi 2 pemberontakan lokal, yakni pemberontakan yang dipimpin oleh Kaka Dupa di wilayah Tana Dea (1907) dan pemberontakan Lejo, yang dikenal dengan ''Lejo oorlog'' (1912) di bawah pimpinan Lewa Wula. Kolonial Belanda yang lazim menerapkan sistem ''[[divide et impera]]'' (membagi-bagi dan menguasai), di kawasan Keo menerapkan sistem yang dinamakan ''unifica et impera'' (menyatukan dan menguasai). Berhadapan dengan sikap non-kooperatif dari masyarakat Keo dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan wilayah-wilayah administratif berdasarkan kesamaan budaya, bahasa, dan organisasi sosial lokal, maka pemerintah kolonial memperlakukan Keo sebagai bagian dari [[Suku Nage|Nage]], sambil mendaftarkan semua kampung di kawasan Keo dalam wilayah Nage sebagaimana tertera dalam laporan kolonial tahun 1910-an. Latar belakang dari usaha unifikasi Keo dan Nage ini adalah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif di kawasan Keo antara tahun 1908 hingga 1912, yang dipicu umumnya pemberontakan atas ketidakpuasan dalam hal pembayaran pajak dan sistem ''[[rodi]]'' (kerja paksa). Pada tahun 1913, setelah pemberontakan Sela Lejo, sebuah rapat besar diadakan di kampung Wajo. Dalam rapat itu Muwa Tunga dari kampung Kota terpilih sebagai administrator lokal sementara. Muwa Tunga akhirnya menjadikan kampung Kota sebagai pusat distrik, yang dikenal kemudian dengan nama Kota Keo. Ketika situasi dan kondisi pemberontakan di Keo semakin mereda, maka pada tahun 1915, pejabat kolonial A.R. Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu ''landschap'' (distrik) bernama Nage dan diperintah oleh Roga Ngole. Pada prinsipnya usulan tersebut diterima baik oleh Belanda. Namun, dalam sebuah rapat di [[Boawae, Nagekeo|Boawae]] pada tanggal 8 April 1917, usulan itu tidak dapat disahkan oleh para pemimpin kedua wilayah, baik dari Nage maupun Keo. Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut, maka pimpinan ''afdeeling'' Flores dan ''gezagheber'' Ngada, dalam laporan yang ditulis pada 20 April 1917 (no. 798/15) menginformasikan kepada Residen Timor bahwa kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole. Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau ''landschap'' tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya. Maka dengan dekrit pemerintah kolonial Belanda tertanggal 28 November 1917 (no. 57), Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator (atau ''bestuurder'') yang juga telah diembannya sejak 1913, dan kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan.<ref name="keo"/>
 
Pada 2 Maret 1918, disaksikan oleh ''gezagheber'' Ngada, Muwa Tunga mengambil sumpah (''korte verklaring''), lalu ditandatangani olehnya dan oleh para saksi. Di bawah kepemimpinan Muwa Tunga, ''landschap'' Keo dibagi atas 10 ''hamintehamente'' dan dipimpin oleh masing-masing ''secundaire hoofden'' atau ''kepala mere''. Hamilton mendaftar ke-10 ''hamente'' dengan masing-masing ''kepala mere'' sebagai berikut: Tonggo dengan ''kepala mere'' Pua Mera, Riti dengan ''kepala mere'' Goo Bhoko, Lewa dengan ''kepala mere'' Aja Mbaa, Wajo dengan ''kepala mere'' Aja Ari, Wuji dengan ''kepala mere'' Mere Muku, Pau Tola dengan ''kepala mere'' Ora Ari, Kota dengan ''kepala mere'' Ego Ari, Sawu dengan ''kepala mere'' Mite Ebu, Lejo dengan ''kepala mere'' Tado Toyo, dan Worowatu dengan ''kepala mere'' Seme Rau.<ref name="keo"/>
 
Kendatipun yurisdiksi administrasi sementara telah diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda sesuai dengan lembaran negara, yang selanjutnya menjadi satu wilayah administratif yang tetap dengan ibukotanya di [[Bajawa]], Belanda tetap saja berusaha merevisi kemungkinan untuk mempersatukan Keo dengan Nage selama dua dekade pertama masa pemerintahan kolonial di kawasan ini. Usaha lain untuk mempersatukan kedua wilayah itu juga gagal pada tahun 1928. Tiga tahun kemudian, unifikasi terjadi pada 26 Januari 1931. Swapraja Nagekeo terbentuk dan berlangsung hingga tahun 1950.<ref name="keo"/>