Geger Pacinan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 15 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
Zanizambuana (bicara | kontrib)
correct sentences and words that are wrong in writing so that they are better and better #ADS
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
Baris 27:
|notes =
}}
 
'''Geger Pacinan''' (juga dikenal sebagai '''Tragedi Angke'''; dalam {{lang-nl|'''Chinezenmoord'''}}, yang berarti "Pembunuhan orang Tionghoa") merupakan sebuah [[pogrom]] terhadap [[Tionghoa-Indonesia|orang keturunan Tionghoa]] di kota pelabuhan [[Batavia]], [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]). Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama.
 
Keresahan dalam masyarakat [[Tionghoa]] dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan [[Dewan Hindia]] ({{lang|nl|''Raad van Indië''}}), badan pemimpin [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] (VOC), [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur-Jenderal]] [[Adriaan Valckenier]] menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan. Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan [[Tionghoa]], banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda. Penguasa Belanda mengirim pasukan tambahan, yang mengambil semua senjata dari warga [[Tionghoa]] dan memberlakukan [[jam malam]]. Dua hari kemudian, setelah ditakutkan desas-desus tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan [[meriam]]. Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh. Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan. Di luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke [[Kota Bekasi|Bekasi]].
 
Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat. Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu [[Perang Jawa (1741—1743)|perang selama dua tahun]], dengan tentara gabungan Tionghoa dan [[Suku Jawa|Jawa]] melawan pasukan [[Belanda]]. Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke [[Belanda]] dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini; [[Gustaaf Willem baron van Imhoff|Gustaaf Willem van Imhoff]] menggantikannya sebagai [[gubernur jenderal]]. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam [[sastra Belanda]]. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.