Jalur ABG: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
→‎Golkar sebagai Penjaga: Penambahan konteks dan referensi.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
Baris 36:
 
== Golkar sebagai Penjaga ==
Pada awal berdirinya, [[Golongan Karya]] atau [[Golkar]] sebenarnya bukan sebuah [[partai politik]], tetapi sebagai sebuah organisasi gabungan yang terdiri dari berbagai golongan fungsional yang terdapat dalam [[Dewan Nasional]]. Masuknya Golkar ke dalam pemilihan umum adalah ketika dibentuk sebuah Sekretariat Bersama Golongan Karya ([[Sekber Golkar]]) pada Oktober 1964 yang didalamnya terdiri dari berbagai macam kelompok profesi yang berbeda-beda, seperti [[buruh]], [[pegawai negeri]], [[guru]], termasuk [[militer]]. Meskipun pada saat itu militer tidak ikut politik praktis, ide pembentukan Golkar itu sendiri sebenarnya lahir untuk menampung aspirasi politik dari pihak militer yang tak bisa ikut politik praktis secara langsung, sehingga melalui Golkar-lah militer menopang kepentingan politiknya, sekaligus untuk menandingi kekuatan [[Partai Komunis Indonesia|Partai Komunis Indonesia (PKI)]] yang tidak mengedepankan [[Pancasila]], bahkan akan menggati landasan dasar [[negara]] yaitu [[UUD]] 1945. Dan [[moderat]] PKI yang menjadi saingan utama militer pada saat itu.<ref name="Suryani, 2011">Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 84</ref> Di era [[Orde Baru]], bila militer menjadi stbilisator dan birokrasi sebagai regulator dan penggerak, maka Golkar menjadi penjaga kans kekuasaan militer dalam pemilihan umum sebagai kendaraan politik yang sejajar dengan partai politik. Pertama kali [[Golkar]] ikut dalam pemilihan umum [[Orde Baru]] adalah pada [[Pemilu 1971|pemillihan umum 1971]], dan seterusnya sebanyak enam kali pemilihan umum yang hasilnya selalu menjadi pemenang dan terus menjadikan [[Soeharto|Jenderal Soeharto]] sebagai [[Presiden Republik Indonesia]]. Kemenangan Golkar itu tak lepas dari peran dominasi militer dan pegawai negeri sipil ([[Korps Pegawai Republik Indonesia|KORPRI]]) atau kelompok birokrat yang kemudian dibentuk sebuah doktrin [[sindikalisme]] [[monoloyalitas]] hanya kepada [[Golongan Karya]] dan [[Presiden Soeharto]], yaitu mewajibkan seluruh pegawai negeri untuk memilih Golkar saat pemilihan umum.<ref name="Suryani, 2011"/>
 
Di era [[Orde Baru]], bila militer menjadi stbilisator dan birokrasi sebagai regulator dan penggerak, maka Golkar menjadi penjaga kans kekuasaan militer dalam pemilihan umum sebagai kendaraan politik yang sejajar dengan partai politik. Pertama kali [[Golkar]] ikut dalam pemilihan umum [[Orde Baru]] adalah pada [[Pemilu 1971|pemillihan umum 1971]], dan seterusnya sebanyak enam kali pemilihan umum yang hasilnya selalu menjadi pemenang dan terus menjadikan [[Soeharto|Jenderal Soeharto]] sebagai [[Presiden Republik Indonesia]]. Kemenangan Golkar itu tak lepas dari peran dominasi militer dan pegawai negeri sipil ([[Korps Pegawai Republik Indonesia|KORPRI]]) atau kelompok birokrat yang kemudian dibentuk sebuah doktrin [[sindikalisme]] [[monoloyalitas]] hanya kepada [[Golongan Karya]] dan [[Presiden Soeharto]], yaitu mewajibkan seluruh pegawai negeri untuk memilih Golkar saat pemilihan umum.<ref name="Suryani, 2011"/>
 
Melalui doktrin monoloyalitas, suara dukungan dari pegawai negeri birokrat di seluruh Indonesia kemudian terakumulasi, hal itulah yang menjadikan Gokar selalu mengungguli dua partai politik lainnya, yaitu [[Partai Demokrasi Indonesia]] dan [[Partai Persatuan Pembangunan]]. Doktrin monoloyalitas pegawai negeri itu dilegalkan melalui Peraturan Presiden No. 82/1971 tentang pembentuk n Korps Pegawai Negeri, yang isinya melarang seluruh pegawai negeri untuk melakukan kegiatan politik dan terlibat dalam partai politik dan mengharuskan untuk menyatakan kesetiaan tunggal (monoloyalitas) kepada pemerintah. Berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan melalui birokrasinya yang terutama berada di dalam [[Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia]], sebagai instansi yang membawahi urusan politik dalam negeri dan penanggungjawab aparatur birokrasi, yaitu pergawai negeri sipil, maka negara [[Orde Baru]] semakin kuat menghimpun kekuatan politik secara vertikal.<ref name="ReferenceA">Haniah Hanafie dan Suryani, ''Politik Indonesia,'' (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 85</ref>