Perang Tiongkok-Jepang Pertama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis
Baris 121:
 
Pada pagi hari tanggal 27–28 Juli 1894, kedua pasukan bertemu di luar Asan dalam pertempuran yang berlangsung hingga pukul 07:30 keesokan paginya. Pertempuran dimulai dengan serangan pengalih perhatian oleh pasukan Jepang, disusul dengan serangan utama yang dengan cepat mengepung pertahanan Tiongkok. Pasukan Tiongkok yang menyaksikan mereka dikepung, meninggalkan posisi bertahannya dan melarikan diri ke arah Asan. Pasukan Tiongkok perlahan-lahan kalah dari pasukan Jepang yang jumlahnya lebih banyak, dan akhirnya pecah dan melarikan diri menuju Pyongyang dengan meninggalkan senjata, amunisi, dan seluruh artileri mereka.{{sfn|Paine|2003|p=158}} Jepang merebut kota Asan pada tanggal 29 Juli, mematahkan pengepungan Tiongkok di Seoul.{{sfn|Paine|2003|p=158}} Pihak Tiongkok menderita 500 orang tewas dan luka-luka, sedangkan pihak Jepang menderita 88 korban jiwa.{{sfnm|1a1=Olender|1y=2014|1p=56|2a1=Jowett|2y=2013|2p=30}}
 
===Deklarasi Perang===
[[File:Japanese soldiers of the Sino Japanese War 1895.jpg|thumb|Prajurit Jepang saat Perang Tiongkok-Jepang Pertama, 1895]]
Pada tanggal 1 Agustus 1894, perang secara resmi diumumkan antara Tiongkok dan Jepang. Alasan, bahasa dan nada yang diberikan oleh penguasa kedua negara dalam deklarasi perang masing-masing sangat berbeda.
 
Tenor deklarasi perang Jepang, yang dikeluarkan atas nama Kaisar Meiji, setidaknya menarik perhatian komunitas internasional yang lebih luas dengan menggunakan frasa seperti 'Keluarga Bangsa-Bangsa', 'Hukum Bangsa-Bangsa' dan membuat referensi tambahan untuk perjanjian internasional. Hal ini sangat kontras dengan pendekatan Tiongkok terhadap hubungan luar negeri yang secara historis terkenal karena menolak memperlakukan negara lain dengan pijakan diplomatik yang setara, dan malah bersikeras agar kekuatan asing tersebut memberikan penghormatan kepada Kaisar Tiongkok sebagai bawahannya. Sesuai dengan pendekatan tradisional Tiongkok terhadap negara-negara tetangganya, deklarasi perang Tiongkok menyatakan penghinaan yang nyata terhadap Jepang. Kata atau istilah ''Wojen'' yang artinya 'kurcaci' ditulis berulang-ulang,{{sfn|Paine|2003|p=137}} istilah kuno tersebut dianggap menghina dan merendahkan bagi orang Jepang.{{sfn|Paine|2003|p=137}}
 
Penggunaan kata merendahkan untuk mendeskripsikan negara asing bukanlah hal yang aneh dalam dokumen resmi Tiongkok pada masa itu – Salah satu kata utama perselisihan antara Kekaisaran Tiongkok dan Kekuatan Perjanjian pada masa itu adalah penggunaan karakter Tiongkok 夷 ('Yi'...yang secara harafiah berarti 'barbar'), untuk merujuk pada mereka yang disebut sebagai 'Iblis Asing' yang biasanya menggambarkan kekuatan yang menduduki [[Pelabuhan perjanjian]]. Penggunaan istilah 'Yi' (夷) oleh pejabat Kekaisaran Tiongkok pada kenyataannya dianggap sangat provokatif oleh Kekuatan Perjanjian sehingga kumpulan kesepakatan kolektif yang dikenal sebagai Perjanjian Tientsin secara eksplisit melarang Pengadilan Kekaisaran Tiongkok menggunakan istilah 'Yi' untuk merujuk pada pejabat, subjek, atau warga negara yang berperang. Para penandatangan tampaknya merasa perlu untuk mengekstraksi permintaan khusus ini dari perwakilan [[Kaisar Xianfeng]].
 
===Setelah Deklarasi===
Pada tanggal 4 Agustus, pasukan Tiongkok yang tersisa di Korea mundur ke kota utara Pyongyang, di mana mereka bertemu dengan pasukan yang dikirim dari Tiongkok. Sekitar 13.000–15.000 pasukan yang bertahan melakukan perbaikan pada pertahanan di kota tersebut, dengan harapan dapat menghentikan kemajuan Jepang.
 
Pada tanggal 15 September, Tentara Kekaisaran Jepang berkumpul di kota Pyongyang dari beberapa arah. Jepang menyerang kota tersebut dan akhirnya mengalahkan Tiongkok dengan serangan dari belakang; pasukan Tiongkok menyerah. Memanfaatkan hujan lebat semalaman, pasukan Tiongkok yang tersisa melarikan diri dari Pyongyang dan menuju timur laut menuju kota pesisir Uiju. Dini hari tanggal 16 September, seluruh tentara Jepang memasuki Pyongyang.
 
Jenderal Muslim Qing Hui [[Zuo Baogui]], dari provinsi Shandong, tewas dalam aksi di Pyongyang akibat artileri Jepang pada tahun 1894 saat mengamankan kota tersebut. Sebuah peringatan untuknya dibangun
 
== Lihat pula ==