[[File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Vorstelijk_echtpaar_Kangdjeng_Pangeran_Angabei_Sakalijan_met_echtgenote._TMnr_60002322.jpg|pra=https://en.wiki-indonesia.club/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Vorstelijk_echtpaar_Kangdjeng_Pangeran_Angabei_Sakalijan_met_echtgenote._TMnr_60002322.jpg|jmpl|Para bangsawan Jawa mengadopsi dan memadukan beberapa aspek mode Eropa, seperti pasangan ini pada tahun 1890.]] Di wilayah jajahan Hindia Belanda, fashion memainkan peran penting dalam menentukan status dan kelas sosial seseorang.KolonialMasyarakat kolonial Eropa mengenakan pakaian Eropa langsung dari Belanda, atau bahkan Paris, sedangkan penduduk asli mengenakan pakaian tradisional mereka yang berbeda di setiap daerah. Seiring berjalannya waktu dan pengaruh Belanda semakin kuat, banyak penduduk asli mulai memadukan gaya Eropa dalam pakaian tradisional mereka. Pribumi berpangkat tinggi di koloni serta bangsawan, akan mengenakan setelan gaya Eropa dengan sarung batik mereka untuk acara-acara khusus dan bahkan untuk penggunaan sehari-hari. Semakin banyak penduduk asli Indonesia mulai berpakaian lebih Eropa. InitentuHal sajaini datangmuncul dengan gagasan bahwa mereka yang mengenakan pakaian Eropa lebih progresif dan terbuka terhadap masyarakat Eropa dan etiket yang menyertainya. Semakin banyak pengaruh Eropa yang lebih diutamakan di kalangan pribumi Indonesia. IniPenyebabnya mungkin berasal dari fakta bahwa banyak penduduk asli diperlakukan lebih baik jika mereka mengenakan pakaian Eropa. Rekan-rekan Eropa mereka mengakuinya, dan hal itu pada gilirannya kemungkinan besar menjadi katalis untuk adopsi pakaian barat menjadi pakaian tradisional Indonesia.[151]<ref>{{Cite book |title=Chic in kebaya: catatan inspiratif untuk tampil anggun berkebaya |last=Pentasari |first=R |publisher=Esensi |year=2007 |location=Jakarta}}</ref>
[[File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Studioportret_van_een_Europees_echtpaar_gekleed_in_saroeng_kabaja_en_ochtendbroek_TMnr_60048827.jpg|pra=https://en.wiki-indonesia.club/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Studioportret_van_een_Europees_echtpaar_gekleed_in_saroeng_kabaja_en_ochtendbroek_TMnr_60048827.jpg|kiri|jmpl|Pasangan kolonial Belanda pada awal abad ke-20 mengenakan busana batik dan kebaya asli]] Pengaruh mode antara kolonial dan pribumi adalah fenomena timbal balik. Sama seperti orang Eropa mempengaruhi penduduk asli, penduduk asli juga mempengaruhi kolonial Eropa. Misalnya, kain Eropa yang tebal dianggap terlalu panas untuk dipakai di iklim tropis. Dengan demikian, busana ringan dari kain kebaya yang tipis serta sarung batik yang nyaman dan mudah dikenakan dinilai cukup cocok untuk busana sehari-hari di iklim Hindia Timur yang panas dan lembab.
Kemudian dalam sejarah Hindia Belanda, ketika gelombang baru orang Eropa dibawa ke koloni, banyak yang mengadopsi gaya Indonesia, bahkan banyak yang memakai [[kebaya]] tradisional Jawa di rumah.[152] <ref>{{Cite book |title=The Netherlands East Indies at the Tropenmuseum: a colonial history |last=Legêne, S. |first=& Dijk, J. V |publisher=KIT |year=2011 |location=Amsterdam |pages=146}}</ref> [[Batik]] juga berpengaruh besar bagi Belanda. Teknik ini sangat menarik bagi mereka sehingga mereka membawa teknik tersebut ke koloni mereka di [[Afrika]] di mana teknik tersebut diadopsi dengan pola Afrika.[153] Sebagian besar, [[Europeanen|orang Eropa]] di Hindia Belanda, berpegang teguh pada gaya berpakaian tradisional Eropa. Tren mode dari Paris masih sangat dihargai dan dianggap sebagai lambang gaya. Wanita mengenakan gaun dan rok dan pria mengenakan celana dan kemeja.