Siti Hayinah Mawardi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 69:
Menurut Darban, Kauman menyebabkan dirinya “mengakrabi” tradisi [[Budaya Jawa|Jawa]] yang bersinggungan dengan tradisi [[Budaya Islam|Islam]]. Dia “akrab” dengan tradisi yang dikesankan oleh logika “feminisme ''mainstream''” sebagai penindasan, tetapi kehidupanya tidak memperlihatkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam “ruang pribadi”, dia merupakan seorang wanita biasa, tetapi di “ruang publik” dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif (Darban et al, 2010).
Selain itu, dia juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Taman Siswa, Budi Utomo, dan Wanita Katolik) sebagai salah satu wakil dari organisasi Aisyiyah (Suratmin et al, 1991).<ref name=":0">{{Cite web|last=
=== Pendidikan ===
Baris 87:
Hayinah mulai aktif terlibat di Aisyiyah sejak 1925 atau ketika dirinya berusia 19 tahun. Saat itu, dia telah memperoleh kepercayaan menjabat sebagai sekretaris ''hoofdbestuur'' (pimpinan pusat) Muhammadiyah bagian Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan.<ref>{{Cite web|last=The Aisyiyah Center|title=Siti Hayinah Mawardi|url=https://aisyiyahstudies.org/siti-hayinah/|website=The Aisyiyah Center|access-date=17 Februari 2024}}</ref> Amanat tersebut dikeluarkan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta yang dipimpin oleh [[Ibrahim bin Fadlil]] (Suratmin et al, 1991). Sementara itu, Suratmin juga mencatat jika Hayinah juga telah terlibat aktif dalam majalah ''[[Suara Aisyiyah]]'' sejak pertama kali diterbitkan pada 1927. Beberapa tulisannya yang dimuat dalam majalah ''Suara Asiyiyah'' adalah ''Kemajengan'' (''Kemajuan''), ''Kewajiban Kita'', dan ''[https://suaraaisyiyah.id/tulisan-siti-hayinah-mawardi-aisyiyah-menghadapi-kenyataan/ Aisyiyah Menghadapi Kenyataan]'' (Suratmin, 1990).
Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan [[Siti Bariyah]], [[Siti Walidah]], [[Siti Munjiyah]], dan [[Siti Aisyah Hilal]] (Setyowati, 2011).
▲Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan [[Siti Bariyah]], [[Siti Walidah]], [[Siti Munjiyah]], dan [[Siti Aisyah Hilal]] (Setyowati, 2011).
Dia pertama kali memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946 di Yogyakarta (pimpinan Bagoes Hadikoesoemo).<ref>{{Cite web|last=Pimpinan Pusat Aisyiyah|title=Daftar Ketua Umum PP Aisyiyah dari Masa ke Masa|url=https://suaraaisyiyah.id/daftar-ketua-umum-pp-aisyiyah-dari-masa-ke-masa/|website=Suara Aisyiyah|access-date=17 Februari 2024}}</ref> Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia ditunjuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, dan Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, dia berturut-turut memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah (Suratmin, 1990).
|