Pelindo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Brisco Rusly (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Menata paragraf, menyunting kalimat agar enak dibaca. Tapi hanya sampai bagian sejarah. Suntingan kecil ini semoga membantu.
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor Tugas pengguna baru Newcomer task: copyedit
Baris 20:
}}
 
'''PT Pelabuhan Indonesia (Persero)''' (disingkat '''Pelindo''') adalah sebuah [[badan usaha milik negara|Badan Usaha Milik Negara]] Indonesia yang bergerak di bidang logistik, terutama pengelolaan dan pengembangan pelabuhan. Saat ini, perusahaan ini mengoperasikan 94 Pelabuhan yang terletak di 34 Provinsi Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, Pelindo menjadi salah satu BUMN strategis dimana seluruh pelabuhan yang dikelola memiliki posisi yang signifikan dalam perhubungan jaringan [[perdagangan internasional]] berbasis [[transportasi air|transportasi laut]].
 
Perusahaan ini juga merupakan merger dari sejumlah entitas yakni PT Pelabuhan Indonesia I (Persero), PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), dan PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero). Proses penggabungan ini merupakan bagian dari transformasi bisnis yang dilakukan Kementerian BUMN pada awal tahun 2023.
Perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah sejak tahun 1960 ini telah berubah status usaha dari PN sejak pendiriannya berlanjut menjadi Perum pada tahun 1983 dan akhirnya menjadi Perseroan Terbatas pada tahun 1992. Perubahan status usaha itu tak lepas dari gegap gempitanya Pelindo untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis kegiatan logistik dibidang kepelabuhanan, yaitu membangun Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok. Pencapaian sukses pernah diraih perusahaan ini sebagai ''The Best Port Practices in Asia-Pacific Region'' pada Tahun 1980an. Namun, tidak lepas juga akibat tidak adanya perkembangan signifikan dalam kegiatannya membuat Pelindo tertinggal dan terkucil. Meski cukup ironis untuk diketahui, Pelindo tidak malu untuk menghadapi perubahan dan bergerak bersama dengan perubahan dengan berubah. Kawasan pelabuhan diperluas, fasilitas pelabuhan diperbarui dan tata kelola manajemen perusahaan dirombak total untuk menciptakan gerak usaha yang lebih adaptabel, resilien dan progresif dalam perkembangannya sebagai pengelola pintu perdagangan Indonesia. Kini, setelah menjalani serangkaian penataan, revitalisasi dan transformasi, Pelindo hadir menjadi pengelola dan pengembang kegiatan logistik, tidak hanya sekadar pelabuhan tetapi juga berbagai usaha yang terkait dengan logistik sebagai energi perdagangan Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 2021, [[Pelindo I]], [[Pelindo II]], [[Pelindo III]], dan [[Pelindo IV]] resmi melebur menjadi satu, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyatukan pengelolaan pelabuhan di Indonesia.<ref name="merger">{{Cite web|url=https://jdih.setkab.go.id/puu/buka_puu/176535/Salinan_PP_Nomor_101_Tahun_2021.pdf|title=Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2021|publisher=Sekretariat Kabinet Republik Indonesia|language=id|access-date=4 Oktober 2021}}</ref> Sehingga nama Pelindo II resmi berubah menjadi hanya Pelindo saja.
 
Pelindo mengoperasikan 94 Pelabuhan yang terletak di 34 Provinsi Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, Pelindo menjadi salah satu BUMN strategis dimana seluruh pelabuhan yang dikelola memiliki posisi yang signifikan dalam perhubungan jaringan [[perdagangan internasional]] berbasis [[transportasi air|transportasi laut]].
 
Perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah sejak tahun 1960 ini telah berubah status usaha dari PN sejak pendiriannya berlanjut menjadi Perum pada tahun 1983 dan akhirnya menjadi Perseroan Terbatas pada tahun 1992. Perubahan status usaha itu tak lepas dari gegap gempitanya Pelindo untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis kegiatan logistik dibidang kepelabuhanan, yaitu membangun Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok.
 
Pencapaian sukses pernah diraih perusahaan ini sebagai ''The Best Port Practices in Asia-Pacific Region'' pada Tahun 1980an. Namun, tidak lepas juga akibat tidak adanya perkembangan signifikan dalam kegiatannya membuat Pelindo tertinggal dan terkucil. Meski cukup ironis untuk diketahui, Pelindo tidak malu untuk menghadapi perubahan dan bergerak bersama dengan perubahan dengan berubah.
 
Kawasan pelabuhan diperluas, fasilitas pelabuhan diperbarui dan tata kelola manajemen perusahaan dirombak total untuk menciptakan gerak usaha yang lebih adaptabel, resilien dan progresif dalam perkembangannya sebagai pengelola pintu perdagangan Indonesia.
 
Perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah sejak tahun 1960 ini telah berubah status usaha dari PN sejak pendiriannya berlanjut menjadi Perum pada tahun 1983 dan akhirnya menjadi Perseroan Terbatas pada tahun 1992. Perubahan status usaha itu tak lepas dari gegap gempitanya Pelindo untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana teknis kegiatan logistik dibidang kepelabuhanan, yaitu membangun Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok. Pencapaian sukses pernah diraih perusahaan ini sebagai ''The Best Port Practices in Asia-Pacific Region'' pada Tahun 1980an. Namun, tidak lepas juga akibat tidak adanya perkembangan signifikan dalam kegiatannya membuat Pelindo tertinggal dan terkucil. Meski cukup ironis untuk diketahui, Pelindo tidak malu untuk menghadapi perubahan dan bergerak bersama dengan perubahan dengan berubah. Kawasan pelabuhan diperluas, fasilitas pelabuhan diperbarui dan tata kelola manajemen perusahaan dirombak total untuk menciptakan gerak usaha yang lebih adaptabel, resilien dan progresif dalam perkembangannya sebagai pengelola pintu perdagangan Indonesia. Kini, setelahSetelah menjalani serangkaian penataan, revitalisasi dan transformasi, Pelindo hadir menjadi pengelola dan pengembang kegiatan logistik, tidak hanya sekadar pelabuhan tetapi juga berbagai usaha yang terkait dengan logistik sebagai energi perdagangan Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 2021, [[Pelindo I]], [[Pelindo II]], [[Pelindo III]], dan [[Pelindo IV]] resmi melebur menjadi satu, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyatukan pengelolaan pelabuhan di Indonesia.<ref name="merger">{{Cite web|url=https://jdih.setkab.go.id/puu/buka_puu/176535/Salinan_PP_Nomor_101_Tahun_2021.pdf|title=Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2021|publisher=Sekretariat Kabinet Republik Indonesia|language=id|access-date=4 Oktober 2021}}</ref> Sehingga nama Pelindo II resmi berubah menjadi hanya Pelindo saja.
 
== Sejarah ==
Baris 36 ⟶ 46:
[[Berkas:PELINDO.jpg|jmpl|Lambang logo Perusahaan PELINDO di era 80an sampai 2000an sebelum diganti di tahun 2012]]
 
Selesainya pembangunan Terminal Peti Kemas 1 pada tahun 1980 dan Terminal Peti Kemas 2 pada tahun 1982 menjadi bukti pesatnya perkembangan dan pembangunan yang dilakukan oleh Perum Pelindo 2 untuk menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai ikon dan tolak ukur infrastruktur dan fasilitas serta, kegiatan kepelabuhanan di Indonesia. Hal ini terwujud dengan menjadi ''benchmark'' (acuan) dan ''best practices'' (praktik terbaik) di Asia untuk kegiatan pengelolaan dan pembangunan pelabuhan. Tercatat hingga saat ini, terdapat beberapa negara yang pernah menjadikan Pelindo 2 cabang Tanjung Priok sebagai benchmarking pembangunan pelabuhan di negara mereka, dari [[Malaysia]], [[Thailand]] dan [[Republik Rakyat Tiongkok]] serta [[Korea Selatan]] hingga [[Uni Emirat Arab]].
 
Tercatat hingga saat ini, terdapat beberapa negara yang pernah menjadikan Pelindo 2 cabang Tanjung Priok sebagai benchmarking pembangunan pelabuhan di negara mereka, dari [[Malaysia]], [[Thailand]] dan [[Republik Rakyat Tiongkok]] serta [[Korea Selatan]] hingga [[Uni Emirat Arab]].
Namun, relevansi Pelindo 2 sebagai perusahaan logistik yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan dengan praktik terbaik di Asia tidak bertahan lama. Meningkatnya jumlah peredaran kapal berukuran besar, pada tahun 1990an membuat banyak perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dari Luar Negeri untuk menutup rute pengangkutan kargo menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini tak lepas dari langkah direksi Perum saat itu yang hanya berfokus untuk meningkatkan keuntungan tanpa diikuti dengan perputaran uang yang signifikan bagi perusahaan, seperti pembangunan terminal baru yang tentunya akan meningkatkan keuntungan perusahaan seiring dengan makin membesarnya kapasitas tampung arus lalu lintas kargo. Lebih jauh lagi, para perusahaan EMKL membuka kartu dan menyatakan bahwa tingkat pengembalian keuntungan dari rute menuju Pelabuhan Tanjung Priok kecil, karena Kapal yang melayani rute kesulitan untuk bersandar, berlabuh dan melakukan bongkar muat karena ukurannya yang besar, sehingga perusahaan yang melayani rute ke Pelabuhan Tanjung Priok terpaksa melayani rute tersebut menggunakan kapal kecil yang tertinggal zaman. Hal ini tentunya membuka mata para anggota direksi, dimana secara jelas, singkat dan eksplisit bahwa Pelabuhan Tanjung Priok tidaklah sesuai, bahkan sejajar dengan pelabuhan yang ada kawasan sekitarnya. Pernyataan itu menjadi pukulan telak bagi Perum Pelindo 2 saat itu, karena dulunya Pelindo 2 lah yang justru menjadikan iklim usaha EMKL menjadi usaha yang menguntungkan, karena Pelabuhan Tanjung Priok menjadi acuan standar bagi Pelabuhan di Asia untuk berkembang lebih berkualitas dan perkembangan ini diikuti oleh perusahaan pengelola dan pengembang pelabuhan yang menjadi pemicu perubahan arah permainan usaha EMKL kelas global, malahan yang ironis adalah Pelabuhan yang pernah menjadi acuan di Asia tersebut malah menjadi kawasan yang kumuh, semrawut dan penuh kegiatan pungutan liar. Belum lagi pengelolaannya, akrab dengan kelambanan, fasilitas kuno dan tata kelolanya sangat tertinggal zaman.
 
Namun, relevansi Pelindo 2 sebagai perusahaan logistik yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan dengan praktik terbaik di Asia tidak bertahan lama. Meningkatnya jumlah peredaran kapal berukuran besar, pada tahun 1990an membuat banyak perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dari Luar Negeri untuk menutup rute pengangkutan kargo menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
 
Hal ini tak lepas dari langkah direksi Perum saat itu yang hanya berfokus untuk meningkatkan keuntungan tanpa diikuti dengan perputaran uang yang signifikan bagi perusahaan, seperti pembangunan terminal baru yang tentunya akan meningkatkan keuntungan perusahaan seiring dengan makin membesarnya kapasitas tampung arus lalu lintas kargo. Lebih jauh lagi, para perusahaan EMKL membuka kartu dan menyatakan bahwa tingkat pengembalian keuntungan dari rute menuju Pelabuhan Tanjung Priok kecil, karena Kapal yang melayani rute kesulitan untuk bersandar, berlabuh dan melakukan bongkar muat karena ukurannya yang besar, sehingga perusahaan yang melayani rute ke Pelabuhan Tanjung Priok terpaksa melayani rute tersebut menggunakan kapal kecil yang tertinggal zaman.
 
Namun, relevansi Pelindo 2 sebagai perusahaan logistik yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan dengan praktik terbaik di Asia tidak bertahan lama. Meningkatnya jumlah peredaran kapal berukuran besar, pada tahun 1990an membuat banyak perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dari Luar Negeri untuk menutup rute pengangkutan kargo menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini tak lepas dari langkah direksi Perum saat itu yang hanya berfokus untuk meningkatkan keuntungan tanpa diikuti dengan perputaran uang yang signifikan bagi perusahaan, seperti pembangunan terminal baru yang tentunya akan meningkatkan keuntungan perusahaan seiring dengan makin membesarnya kapasitas tampung arus lalu lintas kargo. Lebih jauh lagi, para perusahaan EMKL membuka kartu dan menyatakan bahwa tingkat pengembalian keuntungan dari rute menuju Pelabuhan Tanjung Priok kecil, karena Kapal yang melayani rute kesulitan untuk bersandar, berlabuh dan melakukan bongkar muat karena ukurannya yang besar, sehingga perusahaan yang melayani rute ke Pelabuhan Tanjung Priok terpaksa melayani rute tersebut menggunakan kapal kecil yang tertinggal zaman. Hal ini tentunya membuka mata para anggota direksi, dimanadi mana secara jelas, singkat dan eksplisit bahwa Pelabuhan Tanjung Priok tidaklah sesuai, bahkan sejajar dengan pelabuhan yang ada kawasan sekitarnya. Pernyataan itu menjadi pukulan telak bagi Perum Pelindo 2 saat itu, karena dulunya Pelindo 2 lah yang justru menjadikan iklim usaha EMKL menjadi usaha yang menguntungkan, karena Pelabuhan Tanjung Priok menjadi acuan standar bagi Pelabuhan di Asia untuk berkembang lebih berkualitas dan perkembangan ini diikuti oleh perusahaan pengelola dan pengembang pelabuhan yang menjadi pemicu perubahan arah permainan usaha EMKL kelas global, malahan yang ironis adalah Pelabuhan yang pernah menjadi acuan di Asia tersebut malah menjadi kawasan yang kumuh, semrawut dan penuh kegiatan pungutan liar. Belum lagi pengelolaannya, akrab dengan kelambanan, fasilitas kuno dan tata kelolanya sangat tertinggal zaman.
 
=== Stagnansi dan mengejar ketertinggalan (1990–2000) ===
 
Ketertinggalan Pelindo 2 dalam kancah usaha logistik dengan bidang kepelabuhanan, membuat Pemerintah pada tahun 1992 mengeluarkan keputusan untuk mengubah status usaha Perum Pelindo I-VIII menjadi [[perseroan terbatas|perusahaan perseroan]] ([[badan usaha milik negara|Persero]]) Pelindo I-IV agar BUMN pengelola dan pengembang pelabuhan ini bisa bersaing, tanpa mendapatkan kekhususan dan mampu mengikuti arus dan dinamika persaingan global.

Dimulainya revitalisasi sejak diubahnya status usaha oleh Pemerintah, Pelindo 2 mengambil langkah stategis dengan membangun Terminal Peti Kemas Koja pada tahun 1995 dan membuka lelang terbuka untuk mengoperasikan Terminal Peti Kemas 1 dan 2. Jatuhnya pertumbuhan ekonomi indonesia, hingga mencapai angka negatif akibat [[Krisis finansial Asia 1997]], membuat Terminal Peti Kemas Koja yang selesai pada tahun 1997, mengharuskan Pelindo 2 sebagai BUMN untuk mencari rekanan baru sekaligus melepas kepemilikan aset pelabuhan Tanjung Priok sebagai langkah untuk mengisi kekurangan kas perusahaan yang hampir default, karena hampir semua transaksi dilakukan dengan menggunakan Dolar Amerika.

Hal ini bertepatan dengan kesepakatan paket normalisasi kegiatan ekonomi dari [[International Monetary Fund]] yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia (saat itu) [[Soeharto]] bersama Direktur IMF saat itu, Michael Camdesus sebesar US$ 40 Miliar yang mendorong BUMN untuk mengurangi besaran kepemilikan dan bekerjasama dengan investor asing sebagai langkah untuk berkompetisi secara terbuka dan adaptabel.

Menindaklanjuti kesepakatan itu, Pelindo 2 langsung menyusun program pelelangan terbuka Pelindo 2 terhadap kedua Terminal Peti Kemas 1 dan 2 dengan skema KSO (Kerja Sama Operasional) yang bertujuan untuk, pertama meningkatkan keuntungan perusahaan, kedua mendorong kelayakan ekonomi perusahaan untuk mengembangkan Terminal Peti Kemas baru dan ketiga menggali pengalaman dengan memanfaatkan jaringan global rekanan kerjasama untuk membuat kegiatan kepelabuhanan di Tanjung priok secara ekonomi menjadi menguntungkan.

Pelelangan yang dilakukan pada tahun 1997 ini menjadikan Hutchison Ports (Perusahaan asal Hong Kong yang dibentuk di [[Kepulauan Virgin Britania Raya]] yang mengoperasikan pelabuhan di 52 Negara dengan 26 Terminal Peti Kemas) keluar sebagai rekanan yang sesuai dengan kriteria dan syarat yang ditentukan oleh Pelindo 2,. kesepakatanKesepakatan diraih oleh kedua pihak pada tahun 1999 dengan kepemilikan sebesar 51% milik Hutchison Ports, 48,9% milik Pelindo 2 dan sisanya milik Koperasi pegawai Maritim dengan jangka waktu selama 20 tahun dengan nilai kontrak investasi sebesar US$ 423 Juta dengan ''upfront payment'' sebesar US$ 243 Juta (sebelum pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan bahwa, Pelindo 2 harus membeli aset yang dikerjasamakan dengan harga pasar yang sesuai dan kesepakatan ini baru saja diamendemen dengan perubahan kepemilikan sebesar 51% dimiliki oleh Pelindo 2 dan sisanya dimiliki oleh HPH dan besaran kontrak yang telah diperbarui dengan nilai sebesar 486,5 Juta dengan upfront payment sebesar US$ 215 Juta (setelah pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan ''Built-Operate-Transfer'' yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang kesepakatan sebeumnya, meski nilai pembayaran dimuka lebih sedikit, karena dialokasikan ke dalam belanja infrastruktur dan fasilitas baru yang nantinya akan dipindahtangankan kepemilikannya kepada Pelindo kembali.<ref>http://www.indonesiaport.co.id/download/WHITE%20BOOK%20IPC.pdf</ref>
 
Adapun nilai kontrak investasi ini sebesar US$ 423 Juta dengan ''upfront payment'' sebesar US$ 243 Juta (sebelum pengembalian aset JICT 2). Skemanya adalah pengembangan dan pengelolaan pelabuhan mengharuskan Pelindo 2 untuk membeli aset yang dikerjasamakan dengan harga pasar yang sesuai. Diketahui, kesepakatan ini baru saja diamendemen dengan perubahan kepemilikan sebesar 51% dimiliki oleh Pelindo 2 dan sisanya dimiliki oleh HPH, dengan kontrak yang telah diperbarui dengan nilai sebesar 486,5 Juta.
 
Ini ditambah dengan upfront payment sebesar US$ 215 Juta (setelah pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan ''Built-Operate-Transfer'' yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang kesepakatan sebeumnya, meski nilai pembayaran dimuka lebih sedikit, karena dialokasikan ke dalam belanja infrastruktur dan fasilitas baru yang nantinya akan dipindahtangankan kepemilikannya kepada Pelindo kembali.<ref>http://www.indonesiaport.co.id/download/WHITE%20BOOK%20IPC.pdf</ref>
 
=== Menghadapi perubahan, berubah dan berkembang (2000–2010) ===
Memasuki milenium baru, masuknya Richard "Manneke" Joost Lino kedalamke dalam jajaran Pelindo 2 oleh Menteri BUMN saat itu, [[Sofyan Djalil]] pada Bulan Mei 2009, menjadi tonggak awal perubahan di dalam Pelindo 2. Alumni Fakultas Teknik Sipil ITB Tahun 1977 yang pernah membidani kelahiran Pelabuhan Tanjung Priok itu kembali, setelah Ia sukses mengembangkan Pelabuhan Sungai Guigang, Provinsi Guangxi yang dikelola oleh Aneka Kimia Raya.

Manneke memimpin Pelindo 2 dengan penuh ketegasan, keberanian dan kelugasan yang tinggi dengan cara yang cerdas dan tidak kenal kompromi. Lino memutar balikkan situasi dan kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang semula kumuh, tidak terawat dan ketinggalan zaman. Mula-mula, Lino melakukan revitalisasi kompetensi SDM yang berkecimpung di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) itu, agar mental untuk melayani tetap ada, bukan sebaliknya.

Reformasi Sumber Daya Manusia terjadi dengan perombakan standar pengisian jabatan berdasarkan kompetensi, bukan dengan melobi direksi atau pejabat tinggi. Pelindo 2 (kini menjadi IPC) pun melakukan investasi besar-besaran di human capital development. Tercatat lebih dari 500 pegawai dikirim ke berbagai Institusi berkelas dunia, baik di dalam dan luar negeri untuk mengikuti pelatihan, kuliah pascasarjana, dan program executive master of business administration (MBA).
 
Bahkan Ia tak gentar menghadapi para birokrat-birokrat yang mengobrak-abrik Pelindo 2. Sebagai pimpinan perusahaan Ia juga tak pernah gentar saat digertak atau dibatasi. Dari Dirjen hingga Menteri, Ia memulai perubahan ini dengan serius dan memulai keseriusan untuk memimpin perubahan. Hal ini bukan alasan, banyak sekali upaya keras dari berbagai pejabat untuk menjatuhkan Lino.
 
Hal itu bermula dari upaya Lino menata antrean panjang di pelabuhan pada tahun 2009. Penyebabnya ternyata ada di loket Bea dan Cukai yang sering kali hanya membuka satu loket. Melihat truk antre, ia menghubungi Bea dan Cukai setempat, tetapi tidak dilayani. Setelah itu, ia pun mengirim SMS ke Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Sri Mulyani. Ternyata Sri Mulyani menindaklanjuti dan para dirjen kalang kabut.
 
Bahkan Ia tak gentar menghadapi para birokrat-birokrat mengobrak-abrik Pelindo 2, sebagai pimpinan perusahaan Ia juga tak pernah gentar saat digertak atau dibatasi. Dari Dirjen hingga Menteri, Ia memulai perubahan ini dengan serius dan memulai keseriusan untuk memimpin perubahan. Hal ini bukan alasan, banyak sekali upaya keras dari berbagai pejabat untuk menjatuhkan Lino. Hal itu bermula dari upaya Lino menata antrean panjang di pelabuhan pada tahun 2009. Penyebabnya ternyata ada di loket Bea dan Cukai yang sering kali hanya membuka satu loket. Melihat truk antre, ia menghubungi Bea dan Cukai setempat, tetapi tidak dilayani. Setelah itu, ia pun mengirim SMS ke Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Sri Mulyani. Ternyata Sri Mulyani menindaklanjuti dan para dirjen kalang kabut. Rupanya Lino telah mengusik ketentraman dan kesejahteraan Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, serta mitra-mitranya dari pemerintah yang mengurus pelabuhan. Penataan yang dilakukan oleh R.J Lino di Perseroan BUMN rupanya telah mempengaruhi kerja berbagai kementerian. Tentunya, mengerti bukan, "bahwa kebanyakan regulasi yang diterbitkan oleh institusi pemerintah sendiri hanya membuat segalanya berbelit-belit dan sulit", dimanadi mana artinya adalah regulasi sudah tidak bertindak lagi sebagaimana regulasi bertindak mestinya, tetapi berubah menjadi sebuah formalitas yang hanya membatasi tetapi tidak menyelesaikan permasalahan dan digunakan oleh mereka yang mengerti peraturan itu, untuk dijadikan “rezeki” bagi mereka dengan memperlambat proses di pelabuhan dan hal ini berhasi diberantas oleh Pelindo 2.
[[Berkas:Pelindo II (IPC) logo 2012.svg|thumb|Logo Pelindo tahun 2012]]