A.P.T. Pranoto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
PeragaSetia (bicara | kontrib)
PeragaSetia (bicara | kontrib)
Baris 52:
Kedudukan Pranoto sebagai Gubernur sangat menguntungkan golongan bangsawan Kutai. Dia mengangkat [[Aji Raden Padmo]], sesama bangsawan dan anggota PIR, sebagai Bupati [[Kabupaten Kutai]] yang pertama pada tanggal 20 Januari 1960. Pada hari yang sama, Pranoto juga mengangkat beberapa kepala daerah yang hampir semua berasal dari kalangan bangsawan, seperti [[Aji Raden Sayid Mohammad]] sebagai [[Daftar Wali Kota Balikpapan|Wali Kota Balikpapan]], [[Aji Raden Muhammad Ayub|Aji Raden Muhammad Ajub]] sebagai [[Daftar Bupati Berau|Bupati Berau]], dan [[Andi Tjatjo]] gelar Datuk Wihardja sebagai [[Daftar Bupati Bulungan|Bupati Bulungan]]. Hanya Kapten [[Soedjono AJ|Soedjono A.J.]] selaku [[Daftar Wali Kota Samarinda|Wali Kota Samarinda]] yang bukan berasal dari golongan bangsawan.{{sfn|Magenda|2010|p=77}} Setelah pembubaran PIR-Hazairin pada masa [[Demokrasi Terpimpin (1959–1965)|Demokrasi Terpimpin]], Pranoto bergabung dengan Partai NU ([[Nahdlatul Ulama|Nahdhatul Ulama]]).{{sfn|Magenda|2010|p=149}} Selain itu, sebagai Gubernur, Pranoto juga menjabat sebagai pengurus daerah [[Front Nasional (Orde Lama)|Front Nasional]] di Kalimantan Timur pada tahun 1961.{{sfn|Deppen|1961|p=412}}
 
Menguatnya kedudukan bangsawan tidak disukai oleh golongan pejuang yang antifeodal dan terpusat di [[Kota Balikpapan|Balikpapan]] dan [[Kota Samarinda|Samarinda]]. Mereka terlibat dalam persaingan politik dengan para bangsawan. Sebagian besar dari merekapara pejuang di Samarinda tergabung dalam PNI ([[Partai Nasional Indonesia]]I), sedang di Balikpapan didominasi oleh [[Partai Musyawarah Rakyat Banyak|Murba]]. Untuk menandingi Pranoto, PNI menunjuk [[Inche Abdoel Moeis|Inche Abdul Muis]], yang juga seorang anggota partai, sebagai [[Daftar Gubernur Kalimantan Timur|Kepala Daerah Kalimantan Timur]]. Penunjukkan ini dipermudah dengan dominasi PNI di [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur|DPRD Kalimantan Timur]]. PNI menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan Gubernur bekerja sama dengan seorang Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan, sebagai dasar hukum untuk penunjukkan ini.<ref name=":1" />{{sfn|Magenda|2010|p=81}}
 
== Pemenjaraan dan kematian ==
Selain golongan pejuang, Pranoto juga tidak disukai oleh pihak militer, terutama [[Komando Daerah Militer VI/Mulawarman|Pangdam IX/Mulawarman]], Brigjen [[Soehario Padmodiwirio|Suhario Padmodiwirio]] yang antifeodal dan dekat dengan golongan kiri. Menguatnya kekuatan politik PNI di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] dan keinginan SuharioSoehario agar Pranoto digantikan, berhasil membujuk [[Soekarno|Sukarno]] untuk menunjuk [[Abdoel Moeis Hassan|Abdul Muis Hassan]] sebagai pengganti Pranoto pada tahun 1961.{{sfn|Magenda|2010|p=81}}
 
Pada bulan Agustus 1964, Soehario mengirimkan pasukannya ke Tenggarong untuk menangkap beberapa tokoh, seperti mantan sultan Kutai, [[Aji Muhammad Parikesit]], Bupati Kutai [[Aji Raden Padmo]], Mansjursjah yang saat itu menjabat sebagai ketua [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara|DPRD Kutai]] dan anggota PNI, dan Pranoto sendiri. Mereka ditangkap atas tuduhan ingin kembali mendirikan daerah swapraja. Khusus untuk Pranoto, terdapat tuduhan lain yang dialamatkan padanya, yakni melakukan tindak korupsi terhadap [[Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah|APBD]] sebesar Rp 13 juta. Meskipun tuduhan kedua terbukti benar, namun yang sebenarnya dilakukan Pranoto adalah membagi-bagikan uang tersebut kepada kawan-kawan dan sekutunya yang benar-benar memerlukan uang. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya sejak masih menjadi pejabat kesultanan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Pranoto tidak pernah memperkaya diri melalui uang tersebut.{{sfn|Magenda|2010|p=93-94}}