Kerajaan Sunda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menambah plot atau sinopsis dalam jumlah besar |
|||
Baris 157:
Menurut prasasti Batutulis, Rahyang Dewa Niskala kemudian dimakamkan di Gunatiga. Informasi ini didukung oleh Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa Tohaan di Galuh ''nu surup di Gunung Tilu'' wafat atau dimakamkan di Gunung Tilu (Tilu berarti tiga), yang sesuai dengan pegunungan Gunung Tilu yang terletak di sebelah timur kota [[Kabupaten Kuningan|Kuningan]].<ref>{{Cite web|title=Google Maps|url=https://www.google.com/maps/place/Gn.+Tilu/@-7.1188884,108.6816571,14z/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x2e6f73efb54d5283:0x8ef28fb8de770294!8m2!3d-7.1188889!4d108.6991667!5m1!1e4|website=Google Maps|access-date=2018-06-17}}</ref>
====Sri Baduga Maharaja====
{{main|Sri Baduga Maharaja}}
[[File:KITLV 87605 - Isidore van Kinsbergen - Hindu-Javanese sculpture at Telaga in Kuningan - Before 1900.tif|thumb|right|Patung dewa Hindu dari Telaga di dekat Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari Kerajaan Sunda.]]
'''Sang Ratu Jayadewata''' (memerintah tahun 1482 hingga 1521) atau juga dikenal sebagai '''Sri Baduga Maharaja'''', adalah cucu dari Prabu Wastu Kancana. Jayadewata sering dikaitkan dengan tokoh populer [[Prabu Siliwangi]] dalam [[Pantun Sunda]], sebuah tradisi lisan masyarakat Sunda.
Raja Jayadewata memindahkan pusat pemerintahan dari [[Kawali]] ke [[Pakuan Pajajaran]] pada tahun 1482. Namun, tidak jelas alasan di balik pemindahan ibu kota ke arah barat; mungkin merupakan langkah geopolitik untuk mengamankan ibu kota dari ancaman timur dari kekuatan Muslim yang meningkat dari [[Kesultanan Demak]] di Jawa Tengah. Pada tahun 1482, menurut ''Purwaka Caruban Nagari'', sebuah kronik Cirebon, [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] menyatakan kemerdekaannya dari Sunda dan tidak lagi mengirimkan upeti ke istana Sunda. Berdasarkan prasasti Kebantenan, ia mendirikan tanah suci ''tanah devasasana'' di Gunung Samya atau Rancamaya. Ia juga mengumumkan pembangunan sebuah kompleks suci di Sunda Sembawa, yang ditetapkan sebagai tempat tinggal para pendeta.
Menurut [[Prasasti Batutulis]], Sri Baduga Maharaja membangun [[parit]] pertahanan di sekeliling [[Pakuan Pajajaran]]; ia membangun ''gugunungan'' (gundukan tanah yang dikeramatkan), mendirikan gubuk-gubuk dan hutan Samya yang dikeramatkan, tempat penyimpanan kayu yang diperuntukkan bagi persembahan, dan danau buatan Talaga Rena Mahawijaya (yang diduga berfungsi sebagai waduk).<ref>{{cite journal |last1=Budimansyah |last2=Sofianto |first2=Kunto |last3=Dienaputra |first3=Reiza D. |title=Representasi "Perempuan Matang" Dalam Majalah Pesona (Femina Group) Indonesia |date=2018-11-08 |url=https://media.neliti.com/media/publications/291875-sang-hyang-talaga-rena-mahawijaya-telaga-b72a4772.pdf |journal=Patanjala |volume=10 |issue=3 |pages=419–434 |doi=10.30959/patanjala.v10i3.376 |s2cid=192336846 }}</ref> Sudah pasti, ada jalur penghung menuju [[Sunda Kalapa]] (sekarang Jakarta), pelabuhan terpenting kerajaan Sunda. Pada saat kunjungan [[Tomé Pires|Tome Pirés]] ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja memerintah kerajaan.
Masa pemerintahan Raja Jayadewata disebut-sebut sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Kerajaan ini mengonsolidasikan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaannya di seluruh bagian barat Jawa. Masa ini juga menandai era kemakmuran yang luar biasa yang dihasilkan dari pengelolaan pertanian yang efisien dan perdagangan lada yang berkembang pesat di wilayah tersebut. Era kemakmuran besar ini juga menandai awal kemunduran kerajaan Sunda.
== Wilayah kekuasaan ==
|