Kerajaan Sunda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tag: menambah plot atau sinopsis dalam jumlah besar |
||
Baris 227:
Karena tidak mampu mengendalikan kerajaan, alih-alih memenuhi tugasnya dengan menjaga hukum dan ketertiban, Prabu Ratu Dewata mengundurkan diri menjadi ''Raja Pandita'' (raja pendeta), dan menenggelamkan diri secara mendalam ke dalam ritual-ritual keagamaan sebagai bentuk permohonan yang tampaknya putus asa untuk mendapatkan keselamatan dari para dewa.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}} Pada masa ini, Kerajaan Sunda sudah terisolasi dan terkurung di pedalaman.
==== Raja-raja terakhir dan keruntuhan kerajaan Sunda====
[[Berkas:Bird’s-eye View of the City of Bantam de Bry.jpg|thumb|right|Pelabuhan Banten pada abad ke-16]]
Kesultanan Banten yang bercorak Islam bertanggung jawab atas runtuhnya Kerajaan Hindu Sunda, dan menggantikannya sebagai pemerintahan yang dominan di bagian barat Pulau Jawa pada abad-abad berikutnya.
Rangkaian raja-raja Sunda terakhir terkenal sebagai penguasa yang tidak kompeten. Penerus Ratu Dewata, Raja '''Ratu Sakti''' yang memerintah dari tahun 1543 hingga 1551, dikenal sebagai raja yang kejam, yang memanjakan diri dengan kenikmatan indrawi.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}}
Penerus berikutnya yang memerintah dari tahun 1551 hingga 1567, Raja '''Nilakendra''', yang juga dikenal sebagai Tohaan di Majaya, juga merupakan penguasa yang tidak kompeten. Alih-alih memenuhi kewajibannya sebagai raja, ia malah merenovasi dan mempercantik istana. Menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan dengan memanjakan diri dalam kesenangan dan kemewahan.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|396}}
Karena pertempuran yang terus berlangsung, ironisnya Tohaan di Majaya tidak dapat tinggal di istananya yang baru saja direnovasi. Raja-raja Sunda terakhir tidak dapat lagi tinggal di Pakuan Pajajaran, karena pada tahun 1550-an [[Maulana Hasanuddin dari Banten|Hasanuddin]], sultan Banten telah melancarkan serangan yang sukses ke Dayeuh Pakuan, merebut dan meratakan ibu kota.
Para bangsawan dan rakyat biasa yang masih hidup melarikan diri dari kota yang jatuh, menuju ke hutan belantara pegunungan. Setelah jatuhnya Pakuan Pajajaran, para bangsawan Kerajaan Sunda diungsikan ke kerajaan timur [[Kerajaan Sumedang Larang]]. Mereka membawa benda pusaka sebagai pewaris Kerajaan Sunda, di antara warisan tersebut adalah [[Binokasih Sanghyang Pake|''Makuta Binokasih Sanghyang Paké'']], mahkota kerajaan Sunda. Dengan demikian, anggota dinasti Sunda mendirikan kerajaan daerah kecil Sumedang Larang di mana aristokrasi Sunda akan bertahan selama beberapa abad berikutnya hingga mengintegrasikan diri dengan [[Kesultanan Mataram]] pada abad ke-17.
Dari tahun 1567 hingga 1579, di bawah raja terakhir Raja Mulya, yang juga dikenal sebagai '''Prabu Surya Kencana''', kerajaan ini mengalami kemunduran yang cukup besar. Dalam Carita Parahyangan, Raga Mulya disebut sebagai ''Nusiya Mulya''. Ia memerintah lebih jauh ke pedalaman di Pulasari, dekat [[Pandeglang]], di lereng Gunung Palasari. Kerajaan ini mengalami kemunduran, terutama setelah tahun 1576 akibat tekanan terus-menerus dari Banten, dan akhirnya runtuh sepenuhnya pada tahun 1579. Setelah itu, [[Kesultanan Banten]] mengambil alih sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Sunda, dan pada akhirnya mengakhiri satu milenium peradaban Hindu-Buddha di Jawa Barat.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}} Pada masa ini, Jawa telah berubah menjadi semakin Islami. Hanya kerajaan [[Kerajaan Blambangan]] di ujung timur yang merupakan kerajaan Hindu terakhir yang masih ada di Jawa, hingga keruntuhannya pada awal abad ke-18.
== Wilayah kekuasaan ==
|