Alun-alun: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di alun-alun Surakarta Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi). |
Menambahkan dan merapikan |
||
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De waringins op de alun-alun bij de ingang van de kraton van de sultan van Jogjakarta TMnr 60022716.jpg|jmpl|ka|300px|''Wringin kurung kembar'' atau dua [[Beringin|pohon beringin]] kembar di tengah alun-alun utara [[Yogyakarta]], circa 1857]]'''Alun-alun''' (dulu ditulis '''''aloen-aloen''''' atau '''''aloon-aloon''''' dan dengan keliru ''alon-alon'') adalah suatu [[lapangan kota|lapangan]] terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam. Menurut [[Van Romondt]] (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, tetapi dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti [[raja]], [[bupati]], [[wedana]], dan [[camat]] bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau [[pendopo]] tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan [[militer]], perdagangan, kerajinan dan pendidikan. Lebih jauh [[Thomas Dixon Jr.|Thomas Nix]] (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya.▼
▲'''Alun-alun''' (dulu ditulis ''aloen-aloen'' atau ''aloon-aloon'' dan dengan keliru ''alon-alon'') adalah suatu [[lapangan kota|lapangan]] terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam. Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, tetapi dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti [[raja]], [[bupati]], [[wedana]], dan [[camat]] bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau [[pendopo]] tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan [[militer]], perdagangan, kerajinan dan pendidikan. Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya.
Jadi alun-alun bisa di [[desa]], [[kecamatan]], [[kota]] maupun pusat [[kabupaten]].
Baris 9 ⟶ 6:
== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Alun-alun Fort van der Capellen TMnr 60048871.jpg|jmpl|ka|296x296px|Alun-alun [[Batusangkar]], [[Indonesia]], 1938]]Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari [[evolusi]] pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain.
'''Zaman Hindu-Budha''', alun-alun telah ada (Buku Negara Kertagama, menyatakan di Trowulan terdapat alun-alun) asal usulnya ialah dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.
Baris 18 ⟶ 15:
'''Masa masuknya Islam''', bangunan [[masjid]] dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar [[Islam]] termasuk Salat [[Idul Fitri]]. Pada saat ini banyak alun-alun yang digunakan sebagai perluasan dari masjid seperti Alun-alun [[Kota Bandung]]. Konsep alun-alun menurut Islam adalah sebagai ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari keraton. Siar Islam telah membawa perubahan dalam perancangan pusat kota, sehingga alun-alun, keraton dan masjid berada dalam satu kawasan yang di dekatnya terdapat jalur transportasi.<ref>{{cite web |url=http://loenpia.net/blog/semarangan/alun-alun-semarang-tinggal-nama.html |title=Alun-alun |date=13 Juli 2012 |access-date=2012-07-14 |archive-date=2012-12-01 |archive-url=https://web.archive.org/web/20121201131124/http://loenpia.net/blog/semarangan/alun-alun-semarang-tinggal-nama.html |dead-url=yes }}</ref>
[[Berkas:Aloon-Aloon. Magelang. Java, KITLV 1403132.tiff|jmpl|292x292px|Aloon-Aloon [[Kota Magelang|Magelang]] Big Stove, Water Container 1925. [[Indonesia]]]]
'''
Kawasan Alun – alun Magelang memiliki sejarah yaitu ketika [[Kerajaan Inggris]] mulai mengambil alih [[Hindia Belanda]] dari Jajahan kerajaan Belanda, seorang Letnan Gubernur [[Thomas Stamford Raffles|Sir Thomas Stamford Raffles]] mengangkat Mas Ngabei Danuringrat sebagai bupati [[Magelang Tengah, Magelang|Magelang]] pertama serta mendapat gelar [[Adipati Danuningrat I]], setelah Hindia Belanda kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda tahun 1813, Magelang menjadi daerah kolonial Belanda. Belanda mulai mengembangkan Magelang dengan mendirikan beberapa bangunan seperti [[Klenteng Ling Hok Bio]], Gereja Santo Ignatius, Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, dan [[Menara air]].<ref>{{Cite journal|last=Refranisa|first=Refranisa|date=2021-10-17|title=POLA PEMANFAATAN ALUN-ALUN SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK DI KOTA MAGELANG|url=http://dx.doi.org/10.26418/lantang.v8i2.42458|journal=LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR|volume=8|issue=2|pages=75|doi=10.26418/lantang.v8i2.42458|issn=2550-1194}}</ref>
▲'''Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara''', ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di alun-alun [[Kota Surakarta|Surakarta]] [[Yogyakarta]]. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan [[Belanda]] sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa [[pribumi]]). Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di alun-alun Surakarta Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi).
'''Periode zaman kemerdekaan''', banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun [[Malang]]. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam di antaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian (Dadang Ahdiat, 1993).
== Fungsi ==
[[Berkas:Serene Square.jpg|jmpl|[[Alun-Alun Serene]] di [[Johor]], [[Malaysia]].|260x260px]]
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan [[ritual]] atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.
[[Berkas:Alun-Alun Klaten (2).jpg|jmpl|258x258px|Alun Alun [[Kabupaten Klaten|Klaten]], telah mengalami transformasi <ref>{{Cite journal|last=Jamilatun|first=Makhabbah|date=2022-08-04|title=Pembagian Masker di Alun-Alun Kota Klaten sebagai Upaya Pencegahan Peningkatan Covid-19|url=http://dx.doi.org/10.31764/am.v2i1.9962|journal=Abdimas Mandalika|volume=2|issue=1|pages=32|doi=10.31764/am.v2i1.9962|issn=2807-5943}}</ref>]]
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka di mana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat pada raja.
Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah [[Plaza]] yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya adalah alun-alun[4]. B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis sbb: “ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.
Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal ini raja atau istana. Di [[alun-alun Yogyakarta]] pada zaman kolonial, tepat di mana berdirinya wringin kurung ([[pohon beringin]] yang dibatasi pagar) jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung.
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”
Baris 37 ⟶ 36:
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur [[Universitas Kristen Petra]], menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman [[Majapahit]] (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Menurut Kitab Negarakertagama karya [[Empu Prapañca|Empu Prapanca]], disebutkan bahwa pada zaman Majapahit, alun-alun memiliki fungsi sakral dan fungsi profan. Yang dimaksudkan fungsi sakral adalah upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan. Sementara fungsi profan adalah untuk kegiatan pesta rakyat dan perayaan-perayaan tahunan. Ada dua alun-alun yang menjalankan kedua fungsi di atas yaitu Alun-alun Bubat (menjalankan fungsi profan) dan [[Alun-alun Wiguntur]] (menjalankan fungsi sakral)
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alun-alun Surakarta dan Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar. Di zaman Mataram Islam ditambahkan keberadaan Masjid sebagai pengganti [[candi]].
Baris 43 ⟶ 42:
=== Alun-alun pada zaman kolonialis ===
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan raja.
Pemerintah kolonial [[Belanda]] dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat [[Pribumi]] untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, [[Patih]], Wedana, [[Camat]] dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur).
Dalam sistem pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di [[Jawa]] selalu dibangun untuk menjadi miniatur [[Kraton]] di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi [[miniatur]] dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta
=== Alun-alun pada zaman pasca kolonialis ===
Baris 56 ⟶ 55:
'''Suwardjoko P Warpani''' SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota menuliskan, "Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja".
'''Khairudin H'''. Dalam bukunya Filsafat Kota Yogyakarta menjelaskan filosofi alun-alun sbb: "Alun-alun utara ini menurut K.P.H. Brotodiningrat (1978:20) adalah gambaran suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam semadi. Dalam melakukan semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa biasanya penuh dengan godaan-godaan, yang tercermin dari luasnya alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madep kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Alun-alun menurut KRT. Puspodiningrat (1984:2) berasal dari kata alun
== Referensi ==
|