Misinformasi pemotongan kelamin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
isi artikel
menambah isi artikel
Baris 16:
 
Hasil survei PSKK UGM tersebut menunjukkan, sebagian besar P2GP dilakukan oleh dukun bayi (45 persen), bidan/perawat/mantri (38 persen), dukun sunat perempuan (10 persen), dan dokter (1 persen). Hasil survei PSKK juga menyebutkan, 84,6 persen dukun bayi melakukan sunat perempuan menggunakan pisau, kater, atau silet; 3,9 persen menggunakan gunting; dan 7,7 persen menggunakan jarum.<ref>{{Cite web|date=06 Februari 2020|title=PSKK UGM Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan|url=https://cpps.ugm.ac.id/pskk-ugm-membedah-mitos-dan-fakta-tentang-sunat-perempuan/|website=PSKK UGM|access-date=16 Maret 2024}}</ref>
 
Sementara itu, data terbaru dalam survei pengalaman hidup perempuan Nasional oleh Kementerian pemberdayaan perempuan tahun 2021 yang dilakukan dengan metode sampel pada berbagai responden perempuan usia 14 - 59 tahun, masih mendapati angka 21,3% masyarakat Indonesia yang melakukan praktek P2GP.
 
Sebanyak 33,7% praktik P2GP atau sunat perempuan dilakukan secara simbolis. Artinya, praktik ini memang masih terjadi hingga hari ini meskipun proporsinya lebih banyak dilakukan secara simbolis. Makna dari praktik P2GP sebagai simbol ini menurut Komnas Perempuan memiliki arti bahwa saat melakukan sunat pada kelamin bayi perempuan, tidak terjadi pelukaan atau pemotongan, tetapi secara simbolis itu hanya menggores saja artinya lebih tinggi daripada yang terjadi secara permukaan dalam kriterianya WHO.
 
Beberapa budaya percaya bahwa memotong kelamin anak perempuan akan mengurangi hasrat seksual mereka, sehingga mencegah hubungan seks pranikah dan di luar nikah. Sedangkan pendapat lain melihat ritual itu sebagai inisiasi menuju kewanitaan. Ada juga yang percaya dengan keliru bahwa agama mereka mewajibkan hal tersebut.