Senduro, Senduro, Lumajang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Adhiyan216 (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Adhiyan216 (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 20:
== Sejarah ==
Desa Senduro berdiri pada tahun 1844 bertepatan dengan tahun baru Islam. Nama Senduro konon berasal dari kata Sundoro. Sundoro adalah nama seorang pangeran asal Mataram yang kelak naik tahta menjadi raja kedua Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini dibuktikan dengan toponimi nama tempat seperti Kadipaten Lumajang hingga Kerajaan Sindura yang tercantum dalam kitab pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Kitab Kanjeng Kyai Suryaraja yang digubah oleh Sultan Hamengkubuwono II.
Sebelum menjadi sebuah desa, Senduro adalah sebuah pedukuhan kecil bernama Sumber. Dukuh Sumber sudah ada sejak era Kerajaan Kediri dan menjadi transit para peziarah yang hendak Tirtayatra menuju Gunung Semeru. Dukuh ini kemudian berkembang menjadi tiga dusun utama Desa Senduro yaitu Dusun Sumber Agung, Dusun Sumber Rejo dan Dusun Sumber Mulyo. Hingga kini nama ketiga dusun itu dipertahankan dan menjadi bagian dari Desa Senduro bersama dua dusun lainnya yaitu Dusun Jurang Langak dan Dusun Tempuran.
[[Berkas:Tompokerso.jpg|jmpl|576x576px|Pohon Keluarga Trah Tompokerso]]
Berdasarkan penelusuran para sesepuh Desa Senduro maka pada tahun 1968 ditemukan nama seorang tokoh bernama Mbah Tompokerso. Mbah Tompokerso
Keberadaan Desa Senduro juga tak terlepas dari keberadaan tiga langgar tua. Tiga langgar tua itu adalah Langgar Panggung, Langgar Sumber dan Langgar Kecamatan. Ketiga langgar itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk beribadah sebelum akhirnya Masjid Besar Baitusalam didirikan untuk mengakomodir jumlah masyarakat yang sudah mulai meningkat.
Masjid Baitusalam sendiri berhubungan erat dengan sosok Raden Panji Atmo Kusumo yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdelling Lumajang pada tahun 1886. Putra dari Raden Endro Kusumo (Patih Afdelling pertama) itu diperkirakan membidani pembangunan Masjid Baitusalam hingga akhir masa jabatannya sebagai Patih Afdelling pada tahun 1890. Masjid Baitusalam Senduro juga terhubung dengan Masjid Pondok Pesantren Giri Kusumo Demak yang juga bernama Baitusalam. Inskripsi di Masjid Giri Kusuma menunjukkan masa pembangunan masjid yang berlangsung selama 4 jam yang sesuai dengan masa pemerintahan Raden Panji Atmo Kusumo yang hanya 4 tahun.
Anak keturunan Raden Panji Atmo Kusumo kemudian menurunkan anak keturunan yang selama beberapa generasi aktif mengelola Masjid Baitusalam dan pengelolaan bidang keagamaan mulai ketakmiran, kepenghuluan, pengajian dsb. Anak keturunannya juga tersebar di sekitaran area masjid.
Pada tahun 1970 umat Hindu di Desa Senduro memprakarsai pembangunan Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pembangunan yang juga melibatkan pemerintah Provinsi Bali tersebut dibidani oleh tokoh Senduro yang juga sekaligus keturunan Mbah Tompokerso yaitu Pandita Sardjo Atmo Suryo Kusumo. Pembangunan Pura yang dituakan tersebut sekaligus menunjukkan nilai-nilai toleransi yang dijaga oleh masyarakat Desa Senduro. Hingga kini pura tersebut menjadi jujugan masyarakat Bali setiap tahun pada acara Piodalan Pura Mandara Giri Semeru Agung.
== Kepala Desa ==
Berikut ini daftar Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Senduro hingga saat ini.
Baris 109 ⟶ 117:
# Shofi, Muhammad Aminuddin (2020). Konversi Agama Pasca Pernikahan Perspektif Teori Sistem Hukum dan Sadd Al-Dzari'ah (Studi di Kabupaten Lumajang). Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020.
# Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
# Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". ''The Leiden University Scholarly Repository''.
{{Senduro, Lumajang}}
|