Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kanzcech (bicara | kontrib)
Kanzcech (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 83:
 
=== Peran kaum santri ===
Diponegoro menjalin hubungan erat dengan kaum santri melalui hubungan kekerabatan dan pernikahan. Nenek buyut Diponegoro, Ratu Ageng, yang mengasuhnya di Tegalrejo cenderung dekat dengan komunitas santri dan alim ulama di Yogyakarta dan sekitarnya. Didikan nenek buyutnya dan ulama yang mengajari agama Islam menjadikan Diponegoro muslim yang taat. Istri pertama Diponegoro yang dinikahi pada 1803 adalah [[Raden Ayu Madubrongto]], putri [[Kyai Gede Dadapan]], ulama terkemuka dari Desa Dadapan.{{Sfn|Carey|2017|p=26}}
Berkat kedekatan Pangeran Diponegoro dengan kaum santri di Tegalrejo, perang juga dibantu oleh kaum santri dari berbagai penjuru Jawa.
 
Berkat kedekatan Pangeran Diponegoro dengan kaum santri di Tegalrejo, perang juga dibantu oleh kaum santri dari berbagai penjuru Jawa. Berdasarkan sumber-sumber Jawa dan Belanda terdata sekitar 200 laki-laki dan perempuan yang ikut mendukung Diponegoro. Golongan santri ini terdiri atas keturunan Arab, Tionghoa, golongan santri istana, penduduk desa bebas pajak (''perdikan''), dan para pemimpin pondok pesantren dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sementara 121 orang lainnya disebut sebagai [[kiai]], suatu gelar kehormatan bagi sesepuh desa, guru agama, dan guru kebatinan.{{Sfn|Carey|2017|p=316-317}}
 
Penyebutan kiai ini tidak hanya untuk menghormati pemuka agama, tetapi juga "guru" yang pandai dalam berbagai ilmu yang berguna untuk perang, termasuk ilmu gaib, ilmu seni kawiryaan, ilmu seni menakuti musuh, ilmu kekebalan tubuh, dan menghindari peluru dan senjata tajam. Ajaran dan jimat dari para kiai ini dipercaya dapat mengalahkan Belanda melalui hal-hal yang di luar nalar. Pangeran Diponegoro sendiri dikatakan memiliki ilmu kebal dan mampu membaca karakter dari ekspresi wajah. Kaum santri ini terlibat dalam peperangan dengan mengenakan jubah putih dan sorban hijau mereka. Mereka dikenal terus-menerus berzikir dan membaca ayat suci [[Al-Qur'an|Alquran]] di medan perang. Sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa para pengikut Diponegoro mencukur habis rambut mereka.{{Sfn|Carey|2017|p=317-318}}
 
=== Peran kaum perempuan ===