Kerajaan Tanah Hitu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 21:
Kerajaan Tanah Hitu memiliki hubungan erat dengan berbagai kerajaan Islam di Nusantara, seperti [[Tuban|Kadipaten Tuban]], [[Kesultanan Banten]], [[Giri Kedaton]] di [[pulau Jawa]], dan [[Kesultanan Gowa]] di [[Sulawesi]], seperti yang dikisahkan oleh Imam Ridjali dalam ''Hikayat Tanah Hitu'', begitupun dengan hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (''al-Jazirah al-Muluk''; 'daratan raja-raja') seperti [[Kerajaan Huamual]] di Seram Barat, [[Kerajaan Iha]] di Saparua, [[Kesultanan Ternate]], [[Kesultanan Tidore]], [[Kesultanan Jailolo]], dan [[Kesultanan Bacan]] di [[Maluku Utara]].
=== Masa kolonialisme Eropa ===
Pada pemerintahan raja Mateuna, negeri Hitu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu dipindahkan ke wilayah pesisir pada awal abad ke-15, berada tepat di wilayah negeri Hitumessing saat ini. Raja Mateuna merupakan raja kelima dari Kerajaan Tanah Hitu dan raja terakhir yang berdaulat. Pada masa pemerintahannya, terjadi kontak pertama antara [[Bangsa Portugis|Portugis]] dengan Kerajaan Tanah Hitu. Ia meninggal dunia pada tanggal 29 Juni 1634. Sepeninggalnya, raja Mateuna tercatat memiliki dua orang anak laki-laki, yakni Silimual dan Hunilamu. Sedangkan istrinya berasal dari [[Halong, Leitimur
Perang Hitu I yang terjadi pada tahun 1520–1605 dipimpin oleh Kapitan Sepamole (Tubanbessy I) menyebabkan Portugis harus keluar dari Tanah Hitu, hingga kemudian Portugis mendirikan [[Benteng Kota Laha]] di [[Teluk Ambon]] (Semenanjung Leitimur) pada tahun 1575 dan mulai melakukan [[kristenisasi]] terhadap penduduk di Jazirah Leitimur.
|