Ahmad Rasyid: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 17:
| successor = [[Muhammad Yunus Anis]]
| pronunciation =
| nationality = Hindia Belanda, 1895–1945<br/>Indonesia, 1945–1985
| birth_name = AchmadAhmad RasjidRasyid Abdul Samad
| birth_date = {{Tanggal lahir|1895|12|15}}
| birth_place = [[DataranManinjau, TinggiTanjung Padang]]Raya, [[Pesisir Barat SumatraAgam|Maninjau]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = {{Tanggal kematian dan umur|1985|3|25|1895|12|15}}<ref name="wafat">{{Cite news|url=https://majalah.tempo.co/read/album/36756/meninggal-dunia |title=Meninggal dunia |last=Administrator |date=1985-03-30 |work=[[Tempo.co]] |access-date=2021-06-13 |language=id }}</ref>
| death_place = [[Jakarta]], [[Indonesia]]
| resting_place = [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]]
| residence =
| spouse = {{menikah|Fathimah Karim Amrullah|1917|1985}}<br />{{menikah|Fathimah Abdullah|1928|1984|end=d.}}
| relations = {{unbulleted list|[[Duski Samad]] (adik)|[[Abdul Karim Amrullah]] (ayah mertua)|[[Hamka]] (adik ipar)|[[Abdul Bari Karim Amrullah|Abdul Bari]] (adik ipar)}}
| children = Fathimah Karim Amrullah: 16 anak (termasuk Hanif Rasyid)<br />Fathimah Abdullah: 11 anak (termasuk [[Inin Salma]])
| mother = Siti Abbasiyah
| father = Abdul Samad al-Al Kusai
| education = [[Sumatera Thawalib]]
| occupation = {{hlist|Guru agama|pedagang|politisi}}
Baris 36 ⟶ 38:
 
== Kehidupan awal dan pendidikan ==
Ahmad Rasyid lahir di Kampung Air Hangat ({{lang-min|Kampuang Aie Angek}}), [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], [[Kabupaten Agam|Afdeling Agam]], [[Dataran Tinggi Padang]], [[Pesisir Barat Sumatera]] pada [[15 Desember]] [[1895]] (dalam penanggalan [[Hijriah]]: Ahad, 27 Jumadil Akhir 1313) di malam hari. Ia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Abdul Samad Al- Kusai dan Siti Abbasyiyah atau lebih dikenal dengan Uncu Lumpur. Ayahnya adalah ulama terkenal di Maninjau, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama.<ref name="biografi1">{{Cite news |url=https://m.republika.co.id/amp/qbspjk366 |title=Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra |last=Nursalikah |first=Ani |date=2020-06-12 |website=[[Republika.co.id]] |access-date=2021-10-02 }}</ref> Nama "Achmad Rasjid" sebenarnya diberikan oleh ayahnya, Abdul Samad Al-Kusai. Selama masa kecilnya, ia dibesarkan oleh neneknya, Andung Bayang dengan penuh kasih sayang, dibedungnya dengan kain panjang dan dihangatkannya dengan air panas di dalam botol.
 
Ahmad Rasyid mengenyam pendidikan formal pertama di bangku [[Tweede Inlandsche School|''Tweede Class School'']] ({{lang-id|Sekolah Kelas Dua}}) yang setara dengan [[Sekolah Rakyat]] (SR) pada tahun 1902 dan di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Nagari Maninjau]] sampai tahun 1909. ''Controlleur Manindjaoe'' atau pemerintah nagari setempat memberikan beasiswa untuk menjadi guru apabila ia meneruskan pendidikan di ''[[Kweekschool]]'' atau dalam {{lang-id|Sekolah Guru}}, [[Fort de Kock]]. Namun, peluang tersebut diabaikannya dengan alasan lebih suka mempelajari agama Islam dan sikapnya yang [[antikolonialisme]].<ref name="biografi1" /> Selain itu, ia sejak awal menetapkan pendiriannya untuk berkeinginan melanjutkan studinya di [[Universitas Al-Azhar]]. Gurunya, Abu Hanifah—dikenal sebagai Tuan Ismail—menyarankan Ahmad Rasyid agar mempelajari ilmu agama terlebih dahulu kepada [[Abdul Karim Amrullah]] atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul, ayahanda [[Hamka]] di [[Surau Jembatan Besi]]. Selama menerima bimbingan dari Haji Rasul dalam kurun waktu 1910 sampai 1917, ia mempelajari ilmu tauhid, [[ilmu kalam]], mantiq, [[Bahasa Arab]], sejarah kebudayaan Islam, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya, seperti syariat, [[tasawuf]], [[Al-Quran]], tafsir, dan [[hadis]] dengan mustalahnya.<!---Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan sering kali berupaya menghadang dan mempersempit gerakan penyiaran agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi, seperti dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam menyebarluaskan agamanya. Maka, tidak mengherankan apabila pada tahun 1928, ia berada di barisan terdepan bersama dengan Haji Rasul dalam menentang upaya [[Hindia Belanda|pemerintah Hindia Belanda]] menjalankan peraturan [[Ordonansi Guru]], yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari pemerintah. Peraturan ini dalam pandangan Ahmad Rasyid akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Hindia Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Di Maninjau, ia menentang Undang-Undang ''Boswesen'' atau Pancang Hutan pada tahun 1920.--->
Baris 45 ⟶ 47:
[[Berkas:Hanif Rasyid.JPG|jmpl|kiri|Hanif Rasyid, putra Ahmad Rasyid dari pernikahannya dengan Fathimah Karim Amrullah.]]
 
Pada tahun 1917 oleh gurunya, [[Abdul Karim Amrullah]] atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul memperkenalkan putri sulungnya, yaitu Fathimah binti Abdul Karim Amrullah.{{sfn|Aisyah Rasyid|2009|loc=|pp=24}} Di usia yang masih remaja, Fathimah dinikahkan dengan Ahmad Rasyid di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]]. Sejak saat itulah Ahmad Rasyid memperoleh gelar [[Daftar gelar Datuk|Sutan Mansur]], sesuai dengan adat Minangkabau bahwa setiap laki-laki yang menikah akan mendapatkan gelar.<ref>{{Cite news |url=https://sumbar.inews.id/berita/gelar-adat-minangkabau-makna-dan-cara-pemberiannya |title=Gelar Adat Minangkabau, Makna dan Cara Pemberiannya |date=12 November 2022 |access-date=14 Mei 2023 |work=iNews |location=Padang |author1=Silfia Rahmah Harahap |author2= |language=id |archive-date= |archive-url= |dead-url=no }}</ref> Dari pernikahan mereka dikaruniai enam belas anak, salah satunya Hanif Rasyid, seorang mantan Ketua Umum Pimpinan Daerah [[Muhammadiyah]] Kabupaten Agam dari 2000 sampai 2005 dan Dewan Penasihat [[Majelis Ulama Indonesia]] Kabupaten Agam.<ref>{{Cite web|date=2017-03-18|title=Agam Berduka, Buya Hanif Rasyid AR Wafat|url=https://kaba12.co.id/2017/03/18/agam-berduka-buya-hanif-rasyid-ar-wafat/?amp=1|access-date=2021-10-01|work=Kaba12|language=id|archive-date=2021-10-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20211001131504/https://kaba12.co.id/2017/03/18/agam-berduka-buya-hanif-rasyid-ar-wafat/?amp=1|dead-url=yes}}</ref> Salah satu cucunya dari anaknya yang bernama Chalid Rasyid, Arief Rahman memiliki kiprah elektoral sebagai calon legislatif [[DPRD DKI Jakarta]] untuk Jakarta Timur dari [[Partai Matahari Bangsa]].<ref>{{Cite web|last=Chalid|first=Arief Rahman|date=2009-01-02|title=Pandangan Islam Tentang Kemakmuran|url=https://arifpmb.wordpress.com/|access-date=2021-10-01|work=Wordpress|language=id}}</ref>
 
Ia sebenarnya memiliki dua istri dengan nama yang hampir sama, yaitu Fathimah binti Abdul Karim Amrullah—dijuluki sebagai Umi Tuo—dan Fathimah binti Abdullah—dijuluki sebagai Umi Etek—yang menikah pada tahun 1928 dengan dikaruniai 11 orang anak,<ref>{{Cite news|date=2008-04-25|title=Mengenang Buya Sutan Mansur|url=https://news.okezone.com/amp/2008/04/25/58/103793/mengenang-buya-sutan-mansur|access-date=2021-10-03|work=[[Okezone.com]]|language=id}}</ref> termasuk [[Inin Salma]] yang merupakan tokoh akademisi pendiri sekolah keperawatan Muhammadiyah di [[Kalimantan Barat]] bersama dengan suaminya, Barry Barasilla.<ref>{{Cite news|date=2022-10-07|title=Inin Salma AR Sutan Mansur, Perempuan Penggerak Pendidikan Muhammadiyah Kalbar|url=https://suaramuhammadiyah.id/2022/10/07/inin-salma-ar-sutan-mansur-perempuan-penggerak-pendidikan-muhammadiyah-kalbar/amp/|access-date=2023-03-22|work=Suara Muhammadiyah|language=id}}</ref> Fathimah binti Abdullah tidak tinggal satu atap dengan Ahmad Rasyid, ia berkediaman di [[Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur|Rawamangun]], [[Jakarta Timur]] dan meninggal dunia pada 28 April 1984.<ref name="wawancara">{{Cite news|date=1982-02-20|title=Sutan mansur, buya yang lain |url=https://majalah.tempo.co/read/tokoh/48137/sutan-mansur-buya-yang-lain |access-date=2021-10-03|work=[[Tempo.co]]|language=id|last=Administrator}}</ref>