Kota Sibolga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Topografi: #1Lib1Ref #1Lib1RefID
Dasimarajo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan
Baris 46:
 
Pada masa [[Hindia Belanda]], kota ini merupakan ibu kota dari [[Keresidenan Tapanuli]]. Setelah masa kemerdekaan hingga tahun [[1998]], Sibolga menjadi kotamadya Sibolga.
 
== Sejarah ==
Pada awalnya Sibolga hanya berupa sebuah bandar kecil di [[Teluk Tapanuli]] yang terletak di Pulau Poncan Ketek, sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan Sibolga sekarang. Bandar tersebut diperkirakan berdiri sekitar abad ke-18 oleh [[Orang Minangkabau|perantau Minangkabau]] yang berdagang di pantai barat Sumatera. Penguasa bandar tersebut adalah Datuk Itam dengan gelar Datuk Bandar yang berada di bawah pengawasan Inggris sejak tahun 1801. Pada tahun 1837, Poncan Ketek dan sekitarnya diambil alih oleh [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]] dan memasukkannya ke dalam Keresidenan Air Bangis.
 
Karena bandar di Pulau Poncan Ketek dianggap tidak akan dapat berkembang, pada tahun 1841 Belanda membangun bandar baru yang terletak di Kota Sibolga sekarang. Masyarakat dari Pulau Poncak Ketek-pun kemudian berpindah ke Sibolga dan mendirikan pasar baru di kawasan Pasar Belakang sekarang (Sibolga Kota). Selain dari Pulau Poncan Ketek, [[Saudagar Minangkabau|saudagar Minang]] dari Barus dan Sorkam-pun juga berdatangan ke Sibolga. Akhirnya bandar Poncan Ketek mati, bahkan bekas-bekasnya-pun tidak terlihat saat ini kecuali makam Datuk Itam.
 
Selain pedagang Minangkabau, masyarakat dari [[Silindung|Batak Silindung]] pimpinan Ompu Hurinjom juga telah menetap di Sibolga sejak abad ke-18.<ref>Sahat Simatupang, Pasang Surut Kerajaan Sibolga Tempo Doeloe, 2014</ref> Jauh sebelum itu, masyarakat Silindung telah ulang-alik menyusuri bukit untuk menjual hasil alam kepada para pedagang di pesisir. Salah seorang cucu Ompu Hurinjom yang bergelar Tuanku Dorong Hutagalung, kemudian menikah dengan salah satu putri Datuk Itam. Sejak itulah terjadi percampuran adat Batak dan Minangkabau di Sibolga yang kemudian dikenal dengan ''adat sumando''.
 
Tata cara pemerintahan yang telah teratur di Poncan Ketek diteruskan di Sibolga ini dengan dimulainya pemberlakuan penetapan adat tanggal 1 Maret 1851 oleh Raja Sibolga di hadapan Residen Tapanuli. Sebagai ketua adat diangkatlah
keturunan Datuk Itam mengepalai seluruh pemangku adat yang lain. Jabatan itu disebut ''Datuk Pasa'' (Datuk Pasar) yang membawahi Sibolga dan pulau-pulau di sekitarnya. ''Datuk Pasa'' ini turun temurun dipangku oleh keturunan Datuk Itam. Sedangkan raja Sibolga yang kemudian disebut kepala kuria dijabat oleh keturunan Ompu Hurinjom. Jabatan kepala kuria terakhir dijabat oleh Sultan Parhimpunan Muhamad Sahib, dan setelah kemerdekaan jabatan ini dihapuskan.
 
Setelah terjadi perlawanan masyarakat Sibolga di akhir abad ke-19, tahun 1906 Belanda memindahkan ibu kota [[Keresidenan Tapanuli]] dari Sibolga ke [[Kota Padangsidimpuan|Padangsidimpuan]].
 
Pada masa pemerintahan militer Jepang, Sibolga dipimpin oleh seorang ''sityotyo'' yang memegang pimpinan kota. Jabatan ini sebagai kelanjutan dari kepala distrik yang masih dijabat oleh ''districhoofd'' (demang) pada masa pendudukan Belanda yaitu [[Zainal Abidin (gubernur)|Zainal Abidin gelar Sutan Kumala Pontas]]. Pada tahun 1947, A. M. Djalaluddin diangkat menjadi kepala daerah di Sibolga dan pada masa inilah Sibolga menjadi daerah otonom tingkat B sesuai dengan surat keputusan Residen Tapanuli Negara Republik Indonesia<ref>M. Solly Lubis, Sibolga dan sekeping sejarahnya, di dalam
buku “Hari Jadi Sibolga,” Pemko Sibolga, 1998</ref>.
 
== Geografi ==