Sekaten: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) |
||
Baris 39:
=== Grebeg Maulid ===
[[Berkas:Gunungan being blessed Pj DSC 1897.jpg|thumb
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan ''Grebeg Muludan'' yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi [[Muhammad]]) mulai
* Di Yogyakarta terdapat ''bregada'' Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Surakarsa, dan Bugis.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-01-18|title=10 Nama Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/01/18/204238278/10-nama-bregada-prajurit-keraton-yogyakarta|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan [[Mataram]] ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.▼
* Di Surakarta terdapat ''bregada'' Korps Musik, Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Baki, Jayasura, Dwarapati, Jayataka, dan Panyutra.<ref>{{Cite web|last=newsreal.id|date=2019-07-21|title=Prajurit Keraton Surakarta Selalu Datang dengan Full Team, Lembaga Dewan Adat, prajurti keraton,|url=https://newsreal.id/2019/07/21/prajurit-keraton-surakarta-selalu-datang-dengan-full-team/|website=NEWSREAL|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
Gunungan terdiri atas lima jenis, yaitu gunungan ''kakung'', ''putri'', ''dharat'', ''gepak'', dan ''pawuhan''. Di Yogyakarta, gunungan ''kakung'' dibuat menjadi tiga yang akan dibagikan di [[Masjid Gedhe Kauman|Masjid Gedhe]], Kepatihan, dan [[Pura Pakualaman]], sehingga total berjumlah tujuh gunungan. Gunungan yang digotong ke Pakualaman dikawal oleh dua ''bregada'' Pakualaman: Lombok Abang (Dragunder) dan Plangkir.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-06-29|title=7 Gunungan Diarak Saat Tradisi Grebeg Besar Keraton Yogyakarta Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/06/29/162432478/7-gunungan-diarak-saat-tradisi-grebeg-besar-keraton-yogyakarta|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
▲Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan [[Mataram]] ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-09-28|title=Berebut Berkah Raja Keraton Yogyakarta pada Grebeg Maulud Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/28/203438678/berebut-berkah-raja-keraton-yogyakarta-pada-grebeg-maulud|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
=== Prosesi pada Tahun Dal ===
Tahun Dal dalam penanggalan Jawa terjadi tiap delapan tahun sekali. Pada tahun Dal prosesi sekaten biasanya diadakan lebih besar, khususnya di Keraton Yogyakarta. Perayaan sekaten pada tahun Dal dibuat lebih besar karena
Keraton memiliki beberapa tradisi sekaten dan grebeg yang hanya dilakukan pada tahun Dal. Salah satu tradisi khusus tersebut adalah ''njejak banon'' atau ''njejak beteng'' yang dilakukan oleh Sri Sultan sekembalinya dari Masjid Gedhe. Dalam tradisi ini, Sultan tidak melewati regol Masjid, melainkan melewati jalan lain untuk ''njejak'' atau menjebol sebuah tembok. Tradisi ''njejak beteng'' diilhami oleh kisah Sultan [[Hamengkubuwana II]] yang tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama pada peristiwa [[Geger Sepoy]], sehingga untuk meloloskan diri kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng.
|