Radio Rimba Raya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
menambahkan pranala
Baris 1:
{{tone}}
[[Berkas:Radio Rimba Raya Bener Meriah.jpg|jmpl|Monumen RRR di Bener Meriah]]
'''Radio Rimba Raya''' (RRR) adalah sebuah [[stasiun radio]] darurat yang disiarkan dari [[dataran tinggi Gayo]], atau tepatnya di Kampung [[Rimba Raya, Pintu Rime Gayo, Bener Meriah|Rimba Raya]], [[Pintu Rime, Bener Meriah|Kecamatan Pintu Rime]], yang sekarang menjadi wilayah bagian [[Kabupaten Bener Meriah]], oleh [[TNI|Tentara Republik Indonesia]] Divisi X/[[Aceh]] pimpinan [[Kolonel]] [[Husein Yusuf]]. Siaran RRR disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Siaran RRR inilah yang menjadi dasar digelarnya pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, dan menyebutkan bahwa Indonesia berdaulat.<ref name=":0">{{Cite web|last=RRI 2021|first=LPP|title=Radio Rimba Raya: Indonesia Masih Ada|url=https://rri.co.id/humaniora/info-publik/895591/radio-rimba-raya-indonesia-masih-ada|website=rri.co.id|language=en|access-date=2021-02-06|archive-date=2022-05-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20220525111433/https://rri.co.id/humaniora/info-publik/895591/radio-rimba-raya-indonesia-masih-ada|dead-url=yes}}</ref> [[Radio]] yang berdaya pancar 1 [[kilowatt]] dan bekerja pada [[frekuensi]] 19,25 dan 61 [[meter]] ini mulai bersiaran sejak terjadinya [[Agresi Militer Belanda I]] sampai dengan [[Konferensi Meja Bundar]] berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari [[Indonesia]].
 
== Peran Radio Rimba Raya ==
Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu [[Yogyakarta]] yang merupakan ibu kota [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia]] telah dikuasai [[Belanda]]. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
 
RRR juga dianggap menjadi salah satu cikal bakal dari [[Voice of Indonesia|siaran luar negeri RRI]] dan ada sejak 19 Desember 1948 namun diralat menjadi 30 Desember 1948. Salah satu bekas antena RRR Tentara Indonesia dari Divisi X Gajah, masih dapat ditemukan di tengah Hutan Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, [[Kabupaten Aceh Tengah]] (Aceh) atau 280 kilometer tenggara Banda Aceh.<ref name=":0" /> Penyiar-penyiar Radio Rimba Raya antara lain W. Schutz, [[Raden Sarsono]], Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.<ref>http://acehlong.com/2009/05/12/radio-rimba-raya-teronggok-sepi-di-museum-tni-ad/ Daftar penyiar</ref>
 
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik [[Indonesia]]. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio [[Hilversum]] (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di [[Semenanjung Melayu]] (Malaysia), [[Singapura]], [[Saigon]] ([[Vietnam]]), [[Manila]] ([[Filipina]]) bahkan [[Australia]] dan [[Eropa]]Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan [[Belanda]].
 
== Sejarah ==
Baris 14:
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, [[John Lie]] (seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|pahlawan nasional]], [[Tionghoa]] dari [[Manado]]) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.<ref>http://rimbarayaaceh.blogspot.com/ Pembelian</ref> Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di [[Malaya]] dan dibawa ke kota juang [[Bireuen]].
 
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke [[Aceh]], John Lie menggunakan dua buah ''speedboat'', yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, ''speedboat'' yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar ''speedboat'' tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan ''speedboat'' yang berisi alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di [[Sungai Yu]], [[Aceh Timur]].
 
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah [[Nip Xarim]], pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di [[Pangkalan Brandan]]. Gubernur Militer waktu itu dijabat [[Teungku Muhammad Daud Beureueh|Daud Beureueh]]. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.<ref>http://rimbarayaaceh.blogspot.com/ Versi lain proses pembelian</ref>
 
Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di [[Sumatera Utara]],” yang ditulis Drs. Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/Ajudan Komandan Divisi X Kolonel M. Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan hal ini. Tapi Ali Hasyim, dan TA Talsya menyebut John Lie-lah yang membeli peralatan tersebut.
 
Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie, seorang keturunan Tionghoa-Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap, menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus Agresi Militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di [[Kuala Simpang]].
 
=== Tiba di Aceh ===
Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke [[Bireuen]]. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke [[Koetaradja]] ([[Kota Banda Aceh|Banda Aceh]]) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, [[Cot Gue]], sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.
 
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk [[Timang Gajah, Aceh Tengah|Kecamatan Timang Gajah]], [[Kabupaten Aceh Tengah]].<ref>http://acehpedia.org/Monumen_Radio_Rimba_Raya#Sejarah_Radio_Rimba_Raya {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100221212435/http://www.acehpedia.org/Monumen_Radio_Rimba_Raya#Sejarah_Radio_Rimba_Raya |date=2010-02-21 }} Sejarah Radio Rimba Raya</ref>
 
Peralatan “diungsikan” ke [[Kabupaten Aceh Tengah|Aceh Tengah]] tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah [[Kabupaten Gayo Lues|Gayo]] dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
 
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20&nbsp;km dari [[Kabupaten Bireuen|Bireuen]] arah [[Takengon (kota)|Takengon]]. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.
 
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.