Invasi Indonesia ke Timor Leste: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
Badak Jawa (bicara | kontrib) Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 70:
Pada tanggal 10 Desember invasi kedua menghasilkan penguasaan kota terbesar kedua, [[Baucau]], dan pada Hari Natal, sekitar 10.000 hingga 15.000 tentara mendarat di Liquisa dan [[Maubara]]. Pada April 1976 Indonesia memiliki sekitar 35.000 tentara di Timor Timur, dengan 10.000 lain berdiri di Timor Barat Indonesia. Sebagian besar pasukan ini berasal dari pasukan elit di Indonesia. Pada akhir tahun, 10.000 tentara menduduki Dili dan 20.000 lainnya telah dikerahkan di seluruh Timor Leste.<ref>Ramos-Horta, pp. 107–08; Budiardjo and Liong, p. 23.</ref> Kalah jumlah, pasukan FALINTIL melarikan diri ke gunung-gunung dan terus melancarkan operasi tempur gerilya.<ref>Dunn (1996), pp. 257–60.</ref>
[[Berkas:Adammalik2.jpg|jmpl|lurus|Menteri Luar Negeri Indonesia [[Adam Malik]] menyatakan bahwa jumlah tewas di Timor Timur dalam dua tahun pertama pendudukan itu antara "50,000 orang atau boleh jadi 80,000".<ref name="turner207">Quoted in Turner, p. 207.</ref>]]
Di kota-kota, pasukan Indonesia mulai membunuh orang Timor.<ref>Hill, p. 210.</ref> Pada awal pendudukan, radio FRETILIN mengirim siaran berikut: "Pasukan Indonesia membunuh tanpa pandang bulu. Perempuan dan anak-anak ditembak di jalan-jalan. Kami semua akan dibunuh. Ini adalah permohonan bantuan internasional. Silakan melakukan sesuatu untuk menghentikan invasi ini."<ref>Quoted in Budiardjo and Liong, p. 15.</ref> Salah satu pengungsi Timor memberitahu kemudian bahwa korban dari "perkosaan [dan] pembunuhan berdarah dingin menyasar kepada perempuan dan anak-anak dan pemilik toko [[Tionghoa perantauan|China]]".<ref>Quoted in Ramos-Horta, p. 108.</ref> Uskup Dili pada saat itu, [[Martinho da Costa Lopes]] kemudian mengatakan, "Para prajurit yang mendarat mulai membunuh semua orang yang mereka bisa temukan, ada banyak mayat di jalan-jalan, semua kita bisa melihat para tentara yang membunuh, membunuh, membunuh."<ref>Quoted in Taylor (1991), p. 68.</ref> Dalam satu insiden, sekelompok 50 orang, wanita, dan anak-anak - termasuk wartawan freelance Australia [[Roger East (wartawan)|Roger East]] - berbaris di tebing luar Dili dan ditembak, tubuh mereka jatuh ke laut.<ref>Ramos-Horta, pp. 101–02.</ref> Banyak pembantaian tersebut terjadi di Dili, di mana penonton diperintahkan untuk mengamati dan menghitung dengan suara keras untuk setiap orang yang pada gilirannya dieksekusi.<ref>Taylor (1991), p. 68.</ref> Selain pendukung Fretilin, migran Cina juga dipilih untuk menjadi sasaran eksekusi; 500 orang tewas pada hari pertama saja.<ref>Taylor (1991), p. 69; Dunn (1996), p. 253.</ref>
Baris 94:
[[Berkas:World Factbook (1982) Indonesia.jpg|jmpl|Peta Indonesia tahun 1980-an, saat [[Timor Timur]] masuk dalam salah satu provinsi di Indonesia]]
Milisi Fretilin yang selamat dari serangan Indonesia dari akhir 1970-an memilih [[Xanana Gusmão]] sebagai pemimpin mereka. Ia ditangkap oleh intelijen Indonesia di dekat [[Dili]] pada tahun 1992, dan digantikan oleh [[Mau Honi]], yang ditangkap pada tahun 1993 dan pada gilirannya digantikan oleh [[Nino Konis Santana]]. Penerus Santana, pada kematiannya dalam serangan Indonesia tahun 1998, adalah [[Taur Matan Ruak]]. Pada 1990-an, ada sekitar kurang dari 200 pejuang gerilya yang tersisa di pegunungan, dan ide separatis sebagian besar telah bergeser ke barisan klandestin di kota-kota. Gerakan bawah tanah, namun, sebagian besar lumpuh oleh penangkapan secara terus menerus dan infiltrasi oleh agen Indonesia. Prospek kemerdekaan sangat gelap sampai [[kejatuhan Soeharto|jatuhnya Suharto]] pada tahun 1998 dan keputusan mendadak Presiden Habibie untuk mengizinkan [[referendum]] di Timor Timur pada tahun 1999.<ref>[http://www.instituteforthestudyofgenocide.org/oldsite/newsletters/24/hefner.html East Timor and Indonesia: The Roots of Violence and Intervention] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20111005032703/http://www.instituteforthestudyofgenocide.org/oldsite/newsletters/24/hefner.html |date=2011-10-05 }}.</ref>
== Upaya integrasi ==
|