Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
Swarabakti (bicara | kontrib) Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
||
Baris 158:
Wajo juga memiliki tradisi berniaga yang paling kuat di antara orang-orang Bugis. Wilayah pedalaman subur di pusat Wajo terhubung dengan laut melalui Sungai Cenrana yang dapat dilalui kapal besar (walaupun sejak abad ke-19 sungai ini berangsur-angsur mendangkal{{sfnp|Lineton|1975a|pp=45–46}}). Keadaan geografis ini mendukung keterlibatan aktif orang Wajo dalam perdagangan maritim{{sfnp|Lineton|1975a|pp=16–17}} berdasarkan siklus [[Muson|angin musiman]].{{sfnp|Pelras|1996|p=307}} Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Wajo ke berbagai negeri (baik yang berasal dari tanah air maupun diperoleh dalam pelayaran) mencakup beras, [[tekstil|kain]], [[rempah]], [[intan]], [[emas]], hingga [[kemenyan arab]]. Sementara, komoditas yang dibawa pulang ke Wajo antara lain mencakup beragam tekstil asal India dan Eropa, [[senjata api]], [[perabotan]], [[bijih besi]], [[opium|candu]], serta [[tembakau]]. Selain barang, terdapat pula bukti perdagangan [[hewan ternak]] terutama dengan Kalimantan Timur, serta [[perdagangan budak]] untuk memenuhi permintaan di [[Semenanjung Malaya]], [[Sumatra]], dan [[Batavia]].{{sfnp|Pelras|1996|pp=307–308, 311}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=70–71}} Mata uang yang lazim digunakan hingga abad ke-19 adalah koin perunggu, baik yang diproduksi di Tiongkok, [[Singapura]], atau Batavia.{{sfnp|Mundy|1848|p=118}}<!--tambahkan bukti arkeologis-->
Sebagian besar pedagang Bugis rantau sejak akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 berasal dari Wajo.{{sfnp|Reid|1998|p=147}}{{sfnp|Pelras|p=254}} Pada masa ini, pedagang Bugis, termasuk yang berasal dari Wajo, bertindak sebagai perantara bagi pedagang dari negeri-negeri besar dan kecil di kawasan [[Asia Tenggara Maritim]].{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}}{{sfnp|Pelras|1996|p=313}} Perniagaan orang-orang Wajo menjangkau hampir seluruh pusat perdagangan di kawasan ini,{{sfnp|Lineton|1975a|p=17}} baik yang dekat di Sulawesi,{{efn|Contohnya Makassar, [[Suku Mandar|Mandar]], dan [[Pulau Buton|Buton]].}} Kalimantan,{{efn|Contohnya [[Banjarmasin]], [[Kota Pagatan, Kusan Hilir, Tanah Bumbu|Pagatan]], Paser, dan [[Kesultanan Berau|Berau]].}} dan Nusa Tenggara,{{efn|Contohnya [[Bali]], [[Lombok]], dan Sumbawa.}} maupun yang jauh di [[Pulau Papua|Papua]], Sumatra, Semenanjung Malaya, [[Kesultanan Sulu|Sulu]], bahkan [[Kamboja]].{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}}{{sfnp|Reid|1998|p=147}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=254, 266}}{{sfnp|Wellen|2014|p=70}} [[Jalur perdagangan|Jaringan perdagangan]] Wajo berkembang pesat selama abad ke-18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda;{{sfnp|Ammarell|2002|p=57}}{{sfnp|Lineton|1975a|p=18}} perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat "penyelundupan" tekstil India oleh pedagang-pedagang Wajo yang mampu menghindari penegakan aturan [[monopoli]]
Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas-komunitas Wajo di perantauan.{{sfnp|Wellen|2014|p=67–68}} Praktik-praktik perniagaan Wajo, menurut sejarawan [[Hans Hägerdal]], dapat dianggap sebagai paralel dari konsep "[[kapitalisme dagang]]" yang berkembang di Eropa.{{sfnp|Hägerdal|2015|p=51}} Pemimpin-pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka. Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke-18 menghasilkan [[Kodifikasi|kodifikasi hukum]] yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang-orang Wajo, atau yang lazim dikenal sebagai Undang-Undang [[Amanna Gappa]].{{sfnp|Wellen|2014|pp=64–65}}{{efn|Amanna Gappa sendiri merupakan pemimpin (''matoa'') komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu, menjabat 1697–1723.{{sfnp|Noorduyn|2000|pp=476, 479}}}} Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil: bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman [[modal]] (uang maupun barang), pembagian untung-rugi, [[warisan]], hak-hak penumpang kapal dagang, hingga perlindungan [[properti]].{{sfnp|Wellen|2009|pp=84–90}} Aturan-aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang-pedagang Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}} Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, hukum semacam ini "sangat tidak lazim, kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal".{{sfnp|Wellen|2009|p=84|ps=: "Such a law code is highly unusual, if not unique, for early modern insular Southeast Asia."}} Catatan Wajo dari abad ke-18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras, sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}}
|