Long March Siliwangi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Miminsastra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Miminsastra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 135:
=== C. Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah RI ===
Perjanjian Renville dalam isinya menuntut kepada pihak Republik untuk menarik pasukan TNI keluar dari garis Van mook atau garis status quo menyusul serangan gerilya TNI yang merepotkan daerah-daerah pertahanan Belanda. Pasal-pasal perjanjian Renville yang merugikan pihak Republik diantaranya :
# Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan dikeluarkan oleh kedua belah pihak masing-masing serta serentak dengan segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan akan berlaku sepenuhnya di dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu berlaku untuk pasukan-pasukan kedua belah pihak di sepanjang garis daerah-daerah seperti dimaksud dalam Proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada 29 Agustus 1947, yang akan dinamakan garis status quo, dan di daerah-daerah seperti yang dimaksud dalam ayat tersebut.
# Bahwa terlebih dahulu dan buat sementara waktu akan diadakan bentuk daerah-daerah yang akan dikosongkan oleh tentara (militerized-zone), pada umumnya sesuai dengan garis status quo, tersebut di atas. Daerah-daerah itu pada intinya mengenai daerah-
Pasal yang menyebutkan mengenai pemindahan pasukan TNI keluar dari
Baris 146 ⟶ 145:
* Kesatuan dari pasukan-pasukan TNI yang masih berada di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda akan dipindahkan ke daerah mereka sendiri dengan membawa senjata, perlengkapan serta alat-alat perang.
* Pemindahan ini akan dilakukan dengan bantuan dan dibawah pengawasan pembantu-pembantu milter Komisi Tiga Negara. Instruksi-instruksi selanjutnya akan dikeluarkan oleh Kepala Staf Umum masing-masing setelah bermusyawarah dengan pembantu- pembantu tersebut dan dengan pembesar-pembesar pihak lain.
* Pemindahan-pemindahan akan dilaksanankan dan diselesaikan selekas mungkin, selambat-lambatnya dalam 21 hari setelah penandatanganan dan perjanjian gencatan senjata
Wilayah Jawa Barat
* Serang laut,
Baris 176 ⟶ 175:
Tim perhubungan ini dipilih dari perwira yang dianggap mengenal baik pribadi para pimpinan Divisi Siliwangi. Tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan karena sesuai perintah Jendral Sudirman agar sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda untuk tetap menjaga ''de facto'' wilayah RI di Banten Jawa Barat.
Pemerintah membentuk panitia hijrah berdasarkan Penetapan Presiden No.4 tahun 1948 tanggal 2 Februari 1948 tentang pembentukan Panitia Hijrah.
Susunan panitia hijrah yang dibentuk adalah sebagai berikut :
* Ketua : '''Arudji Kartawinata''' (Kementrian Pertahanan)
* Wakil Ketua I : Jendral Mayor Ir. Sakirman (TNI bag.
* Wakil Ketua II : Moh.Siraj (Kementrian Dalam Negeri)
* Ketua Sekertaris : Dr. Hutagalung (Kementrian Pertahanan)
* Wakil Ketua Sekertaris : Mayor Haryono (Anggota Panitia Istimewa).
Panitia hijrah yang telah terbentuk kemudian mengadakan perundingan dengan Belanda dibawah pengawasan KTN terkait tatacara pengangkutan prajurit TNI.
Pasukan Siliwangi muncul dari kantong-kantong gerilya nya seperti harimau keluar dari kandangnya untuk melaksanakan perintah hijrah. Prajurit. Siliwangi tampak tegap, bugar dengan membawa senjata masing-masing membuat tentara Belanda segan dan menyadari bahwa selama ini markas mereka berada sangat dekat dengan posisi para gerilyawan Siliwangi.
Pasukan
diberangkatkan ke Yogyakarta. Melalui jalur darat proses hijrah ditempuh dengan▼
Tempat pengumpulan prajurit diantaranya di stasiun Sukabumi menjadi tempat berkumpulnya Brigade II/Suryakencana pimpinan Letnan Kolonel [[Alex Kawilarang|A.E.Kawilarang]], stasiun Purwakarta menjadi tempat berkumpulnya Brigade III/Kian Santang pimpinan Letnan Kolonel Sadikin dan stasiun Padalarang menjadi tempat berkumpulnya Brigade V/Guntur II pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya..
api dilakukan oleh tiga Brigade yang sebelumnya telah dikumpulkan di Tasikmalaya kemudian melalui stasiun Parujakan Cirebon, Gombong menuju Yogyakarta.▼
▲Pasukan ini kemudian berkumpul di Tasikmalaya untuk kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta. Melalui '''jalur darat''' proses hijrah ditempuh dengan tiga cara yaitu :
# Dengan kereta api,
lainnya memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi gerilya di bawah pimpinan▼
2. dengan truk dan
3. dengan jalan kaki.
▲Jalur kereta api dilakukan oleh tiga Brigade yang sebelumnya telah dikumpulkan di Tasikmalaya kemudian melalui stasiun Parujakan Cirebon, Gombong menuju Yogyakarta.
Perjalanan dengan truk ditempuh pasukan Brigade IV/Guntur I dan Brigade VI/Sunan Gunung Jati. Pemberangkatan dimulai dari lapangan terbang Cibeurem Tasikmalaya mengangkut sekitar 2.000 prajurit yang sebelumnya telah ditanya tentang kesediaannya untuk berhijrah dibawa menuju stasiun Kutoarjo kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api..
▲Sekitar 2.000 prajurit lainnya memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi gerilya di bawah pimpinan Mayor Sugiharto dari Batalyon 22 Cililin, Bandung.
* Brigade VI/Sunan Gunung Jati diangkut dari Kuningan menuju Gombong dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Karang Anyar dan ketika sampai di Kebumen pasukan hijrah mendapatkan hiburan kethoprak yang diselenggarakan oleh panitia hijrah dan mendapatkan uang saku sebesar Rp. 100,- setiap masing-masing prajurit..
Baris 233 ⟶ 222:
menempatkan basis pasukannya di Surakarta.
Brigade cadangan Siliwangi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Eddy Sukardi ditempatkan di Magelang. Sesuai perintah awal dari Jendral Sudirman bahwa untuk tidak menghijrahkan semua prajurit Siliwangi dan menyisakan sebagian kesatuan unuk tetap melakukan gerilya di wilayah Republik Indonesia di Jawa Barat.
Pasukan yang masih bertahan adalah Brigade I/Tirtayasa yang menduduki wilayah Banten di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, yang kemudian digantikan oleh Mayor dr. Eri Sudewa yang ditugaskan langsung oleh Muhammad Hatta untuk menyiapkan pertahanan daerah Banten.
Dokter Eri Sudewa adalah seorang dokter berpangkat Mayor yang mulai 1 Maret 1949 berikrar akan membuat seluruh Banten menjadi neraka bagi Belanda. Kemudian Batalyon 22 Mayor Sugiharto yang memutuskan untuk tidak ikut hijrah juga menggabungkan diri dengan Brigade I/ Tirtayasa dibantu juga oleh pasukan dari Laskar Hizbullah dan Sabilillah..▼
▲Batalyon 22 Mayor Sugiharto yang memutuskan untuk tidak ikut hijrah juga menggabungkan diri dengan Brigade I/ Tirtayasa dibantu juga oleh pasukan dari
Panglima Divisi Siliwangi juga turut bersama pasukan hijrah melalui jalur laut berangkat dari Cirebon setelah menempuh rute Deudel-Tasikmalaya-Ciamis-Kuningan-Cirebon kemudian menuju Rembang dan tiba di Yogyakarta pada 12 Februari 1948. Setelah sebelumnya rombongan pertama tiba di stasiun Tugu pada 11 Februari 1948.
A.H.Nasution bersama para komandan brigadenya kemudian melaporkan diri kepada Panglima Besar Jendral Sudirman.
Laporan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Umum Letnan Jendral Urip Sumoharjo dengan memerintahkan Panglima menyusun rencana pertahanan berdasarkan perang gerilyanya di Jawa Barat.
Panglima Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi wakil Panglima Besar diminta menyusun konsep rekonstruksi teritorium yang menjadi bagian dari rencana rasionalisasi untuk persiapan perang gerilya dan pertahanan dengan mendayagunakan pengalaman Divisi Siliwangi.
Panglima Siliwangi mengajukan rancangan konsep tentang pertahanan dan gerilya yang berisi antara lain :
Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya diperlambat
dengan gangguan serta bumi hangus, untuk memperoleh waktu dan ruang yang sebanyak mungkin untuk mengungsikan pasukan-pasukan,alat-alat, pegawai- pegawai dan rakyat ke kantong pedalaman.
Pokok perlawanan adalah perang
gerilya, yang disatu pihak agresif terhadap musuh dan di lain pihak bersifat konstruktif dapat menegakkan de facto RI dalam arti militer dan sipil di kantong kantong yang sebanyak mungkin.
Diperlukan dukungan dari setiap lapisan untuk membantu menentukan kemenangan TNI yaitu dari lapisan terbawah di pemerintahan yaitu pimpinan yang totaliter dalam tangan lurah, Komando
Onderdistrik Militer (KODM), Komando Distrik Militer (KDM), Gubernur
Militer daerah dan Panglima pulau. Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD) harus ditiadakan, Politik nonkooperasi dan nonkontak yang tegas.
Menempatkan pasukan dalam porsi ideal di wilayah-wilayah Republik dengan perbandingan komposisi batalyon mobil, lebih kurang satu batalyon ditiap karesidenan, untuk tugas-tugas menyerang (bersenjata 1:1) batalyon-batalyon teritorial lebih kurang satu batalyon ditiap kabupaten untuk perlawanan statis (bersenjata 1:3-5), kader teritorial untuk kader desa, KODM, KDM dan seterusnya ke atas.
Meng-wingate-kan pasukan-pasukan kita ke daerah federal di Jawa khususnya dan di seberang umumnya. Pasukan-pasukan asal Siliwangi-Jawa Barat, Besuki, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk tugas-tugas itu..
=== D. Divisi Siliwangi di Surakarta dan Awal Ketegangan dengan Divisi Panembahan Senopati ===
|