Wayang thengul: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambah referensi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Menambah referensi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 5:
Boneka sebelah atas biasanya telanjang, kecuali pada beberapa pelawak dan pahlawan, memakai baju sikepan. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, layar (kelir) yang digunakan terdapat lubang kotak di tengahnya, sehingga penonton juga dapat menyaksikan dari arah belakang layar. Wayang ini berbentuk boneka 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro.
 
Jalan cerita yang sering dimainkan Wayang Thengul, sangat mirip [[Wayang gedog|Wayang Gedog]] dan [[Wayang Menak]]. Yakni, lebih banyak mengambil cerita dari naskah utama Serat Menak, yang berkisah seputar kisah Umar Maya, [[Amir Hamzah]], [[Damar Wulan]], Cerita Panji, sejarah [[Kerajaan Majapahit|Majapahit]], dan kisah Betoro Kolo yang biasa dipentaskan untuk ruwatan.
 
Serat Menak merupakan naskah yang pertamakali disadur Wali Songo. Dalam kitab Kawruh Asalipun Ringgit, disebut secara jelas bahwa pada 1485 Saka (1563 M), Sunan Giri menciptakan Wayang Menak, dengan bentuk wujudnya yang menyerupai Wayang Purwa. Kemudian pada Pada tahun 1486 Saka (1564 M), Sunan Bonang juga menciptakan Wayang Beber Menak,  untuk memodifikasi wayang Beber Purwa. Tabuhannya rebab, kendhang, trebang, angklung, kenong, serta keprak.
Wayang Thengul mirip dengan Wayang Golek. Namun, perbedaan yang jelas terlihat ialah dari cerita yang diangkat dan juga karakter tokoh yang ditampilkan. Jika Wayang Golek lebih banyak mengangkat cerita dari Wayang Purwa seperti Mahabarata dan juga Ramayana, Wayang Thengul mirip Wayang Gedog, mengangkat Cerita Serat Menak dan Para Wali. Selain itu juga ada yang menceritakan cerita dari Serat Damarwulan.<ref>[https://medium.com/@nurikautari14/wayang-thengul-dan-tari-thengul-kebudayaan-asal-bojonegoro-4d819bf05031|Wayang Thengul dan Tari Thengul, Kebudayaan Asal Bojonegoro]</ref>
 
Secara populer, Serat Menak sudah beredar di [[Jawa]] sejak abad ke- 17 M. Pada awal abad ke-17 M, terdapat naskah Menak (Jawa) dalam lontar sebanyak 119 lembar. Pada 1627 M, Andrew James menyerahkan naskah itu ke Bodleian Library. Artinya, satu abad lebih sebelum Para Pujangga Surakarta menulisnya, Serat Menak sastra Amir Hamzah telah masuk dan beredar luas di Jawa (Ricklefs & Voohoeve, 1977:43, dikutip Sedyawati dkk, 2001:319).
Secara esensi, seperti halnya Wayang Gedog atau Wayang Menak, Wayang Thengul sangat identik kebudayaan masyarakat akar rumput. Wayang Thengul tumbuh dan dikembangkan di wilayah [[Padangan, Bojonegoro|Padangan]], Bojonegoro. Sampai saat ini pun, pengrajin Wayang Thengul identik wilayah perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur tersebut.
 
Wayang Thengul mirip dengan Wayang Golek. Namun, perbedaan yang jelas terlihat ialah dari cerita yang diangkat dan juga karakter tokoh yang ditampilkan. Jika Wayang Golek lebih banyak mengangkat cerita dari Wayang Purwa seperti Mahabarata dan juga Ramayana, Wayang Thengul miriphampir sama dengan Wayang Gedog,. Yaitu mengangkat Ceritacerita dari [[Wayang Menak|Serat Menak]] dan Para Wali. Selain itu, juga ada yang menceritakan cerita dari Serat Damarwulan.<ref>[https://medium.com/@nurikautari14/wayang-thengul-dan-tari-thengul-kebudayaan-asal-bojonegoro-4d819bf05031|Wayang Thengul dan Tari Thengul, Kebudayaan Asal Bojonegoro]</ref>
 
Secara esensi, sepertiSeperti halnya Wayang Gedog atauataupun Wayang Menak, Wayang Thengul sangat identik kebudayaan masyarakat akar rumput. Wayang Thengul tumbuh dan dikembangkan di wilayah [[Padangan, Bojonegoro|Padangan]], Bojonegoro. Sampai saat ini pun, pengrajin Wayang Thengul identik wilayah perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur tersebut.
 
Wayang Thengul terinspirasi dari Wayang Menak atau Wayang Gedog yang sudah populer di [[Jawa|Jawa.]] Di Bojonegoro, Wayang Thengul pertama dibuat oleh Ki Dalang Samijan [[Padangan, Bojonegoro|Padangan]] pada 1930. Pada periode berikutnya, Wayang Thengul dikembangkan secara masif oleh Ki Dalang Santoso Padangan.