Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 144:
Bahasa Bugis dituturkan tanpa banyak perbedaan berarti di sebagian besar jazirah selatan Sulawesi, termasuk di Wajo. Ahli bahasa Timothy dan Barbara Friberg menduga bahwa alasan bahasa Bugis relatif tidak banyak mengalami [[perubahan bahasa|pemajemukan]] adalah akibat eratnya pertalian darah di kalangan ningrat antarnegeri Bugis sejak berakhirnya Perang Makassar.{{sfnp|Friberg|Friberg|1985|pp=24, 29}} Penutur ragam-ragam bahasa Bugis di Wajo secara umum masih [[kesalingpahaman|dapat memahami]] ragam yang digunakan di wilayah inti Soppeng, Bone, dan Sidenreng.{{sfnp|Wellen|2014|pp=109–110}} Berdasarkan laporan Brooke, kalangan pedagang Wajo yang rutin berlayar ke seantero Nusantara pada abad ke-19 juga fasih ber[[bahasa Melayu]] di samping bahasa ibu mereka. Semenjak masyarakat Wajo beralih ke agama Islam, [[bahasa Arab]] digunakan dalam berbagai ritual peribadatan, meskipun Brooke menyebut bahwa sangat jarang ada orang Wajo yang mampu memahaminya.{{sfnp|Mundy|1848|pp=113, 118–119}}<!--Bukti-bukti naskah...-->
 
Khazanah kesusastraan Wajo, sebagaimana di negeri Sulawesi Selatan lainnya, tumbuh dari tradisi lisan yang kaya sebelum berkembang dalam bentuk tulisan.{{sfnp|Wellen|2014|pp=113}} Sejak awal abad ke-15, bahasa Bugis mulai dipakai utamanya untuk merekam silsilah, menggunakan [[aksara Lontara]] yang merupakan [[aksara Brahmik|turunan Brahmi]].{{sfnp|Caldwell|1988|pp=169–171}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=96–97}} Namun, meski menggunakan sistem penulisan yang diturunkan dari aksara asal [[India]], Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami [[Indianisasi]] seperti kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang memiliki budaya menulis sebelum masa modern.{{sfnp|Caldwell|1995|pp=402–403}}{{sfnp|Wellen|2014|p=112}} Selama setidaknya dua abad hingga agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600, kesusastraan Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar, dan memberikan gambaran masyarakat Austronesia pra-modern yang jarang sekali dapat ditemui.{{sfnp|Wellen|2014|p=13}} Gambaran ini dapat ditemui, antara lain, dalam adikarya sastra Bugis seperti, ''[[La Galigo]]''. Lingkup pengetahuan budayanya yang luas dan ensiklopedis seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat Bugis, termasuk orang Wajo, sebagai "rujukan" dalam menjalani kehidupan.{{sfnp|Koolhof|1999|pp=378–379, 385}} Penggalan naskah ''Galigo'' lazim disimpan dengan takzim dan dibacakan dalam upacara-upacara adat, bahkan di kalangan masyarakat rantau.{{sfnp|Wellen|2014|p=113}} Beberapa penggalan naskah ''Galigo'' tertua yang masih bertahan hingga sekarang disalin oleh seorang penulis Wajo di perantauan.{{sfnp|Tol|2020|pp=65–66, 69–71}}
 
Wajo juga merupakan salah satu negeri Bugis yang kaya akan beragam naskah ''attoriolong'' ('perkara orang-orang terdahulu') atau [[Kronik (sejarah)|kronik]], sebuah langgam penulisan sejarah yang diilhami tradisi serupa di Gowa dan Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=13}}{{sfnp|Wellen|2021|p=1042}} Di antara negeri-negeri Sulawesi Selatan, ''attoriolong'' lazimnya disusun sekaligus hingga tamat dan disalin tanpa banyak penambahan. Sementara, penulis-penulis Wajo mengembangkan langgam ini lebih lanjut dalam upaya menulis sejarah lengkap.{{sfnp|Wellen|2021|p=1046}} ''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ'' yang menjadi sumber utama sejarah Wajo pada masa modern awal, misalnya, tergolong sangat panjang dan mendetail bila dibandingkan dengan kronik Bugis pada umumnya yang hanya berisi ringkasan riwayat pemerintahan setiap penguasa. Menurut tradisi, kronik ini disusun oleh ''Ranreng'' Béttémpola La Sangaji berdasarkan kumpulan catatan sejarah pada masa pemerintahan ''Arung Matoa'' La Mappajung (menjabat 1764–1767),{{sfnp|Wellen|2014|pp=13, 172}} walaupun sepertinya naskahnya terus-menerus disempurnakan dengan penambahan dan pembaruan hingga menjadi versi yang lazim dikenal saat ini.{{sfnp|Wellen|2021|p=1046}}