Mahathir Mohamad: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baginda 480 (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 87:
Mahathir berhati-hati selama dua tahun pertama memerintah. Ia mengonsolidasikan kekuasaannya sebagai ketua UMNO, lalu perdana menteri setelah memenangi [[pemilihan umum Malaysia 1982|pemilu 1982]].<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|p=28}}</ref><ref>{{Harvnb|Sankaran & Hamdan|1988|pp=18–20}}</ref> Pada tahun 1983, Mahathir memulai perseteruan pertama dalam serangkaian perselisihan yang kelak terjadi antara pemerintah dan kerajaan Malaysia. Posisi [[Yang di-Pertuan Agong]], kepala negara Malaysia, akan diserahkan ke [[Idris Shah II dari Perak|Idris Shah II]] dari [[Perak]] atau [[Iskandar dari Johor|Iskandar]] dari [[Johor]] yang cukup kontroversial. Mahathir sangat keberatan dengan kedua sultan tersebut. Keduanya adalah pemimpin aktivis, dan Iskandar sendiri beberapa tahun sebelumnya dijerat pasal pembunuhan.<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|pp=30–31}}</ref><ref>{{cite news|title=Malaysia's Monarchs of Mayhem; Accused of Murder and More, Sultans Rule Disloyal Subjects|last=Branigin|first=William|date=29 December 1992|work=The Washington Post}}</ref> Mahathir mencoba lebih dulu membatasi kekuasaan pewaris takhta baru atas pemerintahannya. Ia mengusulkan amendemen [[Konstitusi Malaysia]] ke parlemen supaya Raja dianggap menyetujui RUU apapun yang belum disetujui oleh Parlemen dalam kurun 15 hari. Amendemen tersebut juga menyerahkan kekuasaan menyatakan keadaan darurat dari Raja ke Perdana Menteri. Raja saat itu, [[Ahmad Shah dari Pahang|Ahmad Shah]] dari [[Pahang]], menyetujui usulan tersebut, tetapi menolak setelah ia tahu bahwa usulan tersebut akan menganggap para sultan menyetujui RUU yang disahkan parlemen negara bagian. Atas dukungan para sultan, Raja menolak menyetujui amendemen konstitusi yang sudah disahkan parlemen.<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|p=32}}</ref><ref>{{Harvnb|Wain|2010|pp=203–205}}</ref> Ketika publik menyadari kebuntuan ini dan para sultan menolak bersepakat dengan pemerintah, Mahathir memimpin demonstrasi di jalanan. Pers berpihak dengan pemerintah, meski sebagian masyarakat Melayu, termasuk politikus UMNO konservatif, dan bahkan sebagian besar masyarakat Tionghoa mendukung sultan. Krisis mereda setelah lima bulan karena Mahathir dan para sultan saling bersepakat. Hak Raja untuk menyatakan keadaan darurat akan dipertahankan, tetapi apabila ia menolak menyetujui RUU, RUU tersebut akan dikembalikan ke Parlemen sehingga veto Raja tidak berlaku.<ref>{{Harvnb|Wain|2010|pp=206–207}}</ref>
Di bidang ekonomi, Mahathir mewarisi [[Dasar Ekonomi Baru]] dari pendahulunya yang dirancang untuk memperbaiki posisi ekonomi [[Bumiputera (Malaysia)|bumiputera]] (suku Melayu dan pribumi Malaysia) melalui tindakan afirmatif di berbagai sektor seperti kepemilikan perusahaan dan penerimaaan mahasiswa baru.<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|pp=51–54}}</ref> Mahathir juga secara aktif mendorong privatisasi BUMN sejak awal 1980-an. Alasannya, pemimpin negara lainnya seperti [[Margaret Thatcher]] menerapkan ekonomi liberal dan ia merasa perpaduan ekonomi liberal dan tindakan afirmatif bagi bumiputera dapat menciptakan kesempatan ekonomi bagi usaha-usaha bumiputera.<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|p=56}}</ref> Pemerintahannya memprivatisasi maskapai penerbangan, sarana umum, dan telekomunikasi. Sekitar 50 BUMN diprivatisasi setiap tahun pada pertengahan 1990-an.<ref>{{Harvnb|Milne & Mauzy|1999|p=57}}</ref>
Mahathir mengalahkan PAS pada pemilu 1986 dengan memenangi 83 dari 84 kursi; PAS hanya diwakili oleh satu anggota parlemen.<ref>{{Harvnb|Sankaran & Hamdan|1988|p=50}}</ref>
|