Pengguna:Afif Brika1/sandbox: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Afif Brika1 (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Afif Brika1 (bicara | kontrib) |
||
Baris 6:
Pada masa Kesultanan Palembang, sistem pemerintahan marga memiliki dasar hukum yaitu [[Undang-Undang Simbur Cahaya]]. Dalam peraturan tersebut, marga membawahi beberapa dusun sedangkan dusun membawahi beberapa kampung. Marga dipimpin oleh seorang "[[pesirah]]" yang membawahi berbagai kepala dusun atau "kerio". Kerio yang berada di desa tempat pesirah tinggal disebut "pembarap" yang bertugas menggantikan pesirah jika berhalangan hadir. Kampung pada suatu dusun dipimpin oleh "penggawa". Pasirah dan kerio dibantu oleh "penghulu" dan "khatib" dalam bidang keagamaan. Sedangkan "kemit marga" dan "kemit dusun" membidangi urusan keamanan. Di dalam marga juga terdapat "dewan marga" yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pesirah dan dapat membuat peraturan adat yang berlaku di marga.
Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang dan membubarkannya di tahun 1823 yang kemudian diganti dengan sistem pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan sentralistis untuk tingkat tertinggi namun di tingkat terendah diterapkan kebijakan [[desentralisasi|desentralistis]]. Dalam kebijakan desentralisasi tersebut, sistem marga yang ada sebelumnya masih dipertahankan, namun dimodifikasi agar selaras dengan kepentingan Belanda. Salah satunya adalah menyelaraskan kesatuan daerah terkecil yang beranekaragam di Sumatera Selatan menjadi sistem marga, seperti ''kebuwaian'' yang dipakai di daerah [[Suku Ogan|Ogan]] dan [[Suku Komering|Komering]], ''sumbay'' di [[Suku Pasemah]], dan ''petulai'' di daerah [[Suku Rejang|Rejang]]. Kebijakan lainnya adalah melakukan pemekaran marga dan pembentukan kas atau dana marga yang
Dalam hierarki pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Sumatera Selatan, marga adalah sistem pemerintahan yang terendah sehingga langsung berurusan dengan rakyat. Marga berada di bawah ''onder distrik'' yang dipimpin "asisten demang", sedangkan ''onder distrik'' berada di bawah ''distrik'' yang dipimpin oleh "demang". Demang dan asisten demang merupakan warga pribumi dan mereka menjalankan tugas dari kepala ''onderafdeeling'' yang disebut "asisten kontrolir". Kemudian di tahun 1930, onderdistrik dan distrik dibubarkan sehingga marga berada langsung dibawah ''onderafdeeling''. Pesirah yang berjasa kepada pemerintahan Belanda mendapat gelar "Depati" atau "Pangeran".
<ref name=rahmat>{{Cite journal|title=PENAMAAN MARGA DAN SISTEM SOSIAL PEWARISAN MASYARAKAT SUMATERA SELATAN|journal=Jurnal Kebudayaan|url=https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/kebudayaan/article/download/204/pdf|last=Muhidin|first=Rahmat|issue=2|volume=13|pages=161-175|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|year=2018}}</ref>▼
<ref name=aksarapena>{{Cite book|title=Jalan Kembali ke Sistem Marga di Sumatera Selatan|url=https://repository.unsri.ac.id/109858/1/Buku_Dedi_Irwanto_Sejarah_Marga_Maret2023.pdf|last=Istianda|first=Meita|publisher=Aksara Pena|isbn=978-623-8099-02-3|location=Palembang|last2=Irwanto|first2=Dedi|last3=Giyanto|year=2023}}</ref>
▲<ref>{{Cite journal|title=PENAMAAN MARGA DAN SISTEM SOSIAL PEWARISAN MASYARAKAT SUMATERA SELATAN|journal=Jurnal Kebudayaan|url=https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/kebudayaan/article/download/204/pdf|last=Muhidin|first=Rahmat|issue=2|volume=13|pages=161-175|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|year=2018}}</ref>
== Ref ==
{{reflist}}
|