Delsy alias Dalasi Syamsumar asal minang[[Minang]] berada di senen[[Senen]] [[Jakarta]] sekitar [[1955]], bukannya berdagang di kaki lima, malah melongo sepanjang malam di warung kopi menyimak diskusi-diskusi “Seniman Senen” berkepanjangan, melalui tahun-tahun yang panjang pameo kelompok seniman gondrong yang terusir dari warung ke warung itu, hingga berkali-kali terpaksa mangkal di trotoar dan pom bensin. Agaknya tidak diharapkan oleh guru-gurunya melukis cat minyak ex. INS [[Kayutanam]] di Sumatera Barat yang menjagoinya untuk terus di ASRI jogja agar menjadi Delacroix atau Goya yang “''momentum schilderij”schilderij''” kata gurunya. Delsy sendiri tidak mengerti apa itu. Malah ia lebih fahampaham kemudian omongan rekan-rekan senior orang-orang film dan teater atau wartawan di senen seperti ceramah Misbach tentang neo realisme [[Italia], teater Ibsen dan Lorca bahas W. Sihombing, Sukarno M. Noor dan Wim Umboh, lalu hal pers film oleh Zulharmans sampai debat keras mengenai batu cincin Wahid Chan. Biasanya Delsy memang jarang bicara apa-apa, cukup mojok dengan sobatnya [[Harmoko]] dan Khaidir sambil corat-coret di kertas bekas atau balikin bungkus rokok. “Awas ada BKM liwat!” semua terkesima, melihat satu keluarga dalam beca, bapak, ibu, anak semua berkaca mataberkacamata. “Barisan Kaca Mata” kata Harmoko. Suasana Riuh. “Senen…Senen tercinta!” tulis bait sajak Misbach atau memori sketsa Delsy ini merekam ekspresi Alm. Bintang Film Wahid Chan dan kesibukan pedagang sayur pukul empat pagi di kertas bekas yang dikorek dari Lumpur stasiun. “Inilah neo realisme Indonesia, lukisan-lukisan Lumpur!” teriak sobatnya lagi.