Pembantaian Palembang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Swarabakti (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan visualeditor-wikitext pranala ke halaman disambiguasi |
||
Baris 20:
== Latar belakang ==
=== Keadaan politik dan ekonomi ===
[[Berkas:Map of Sumatra 1811 by W. Marsden.png|thumb|left|upright=1.2|Peta [[Sumatra]] pada tahun 1811, karya [[William Marsden]]]]
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Kesultanan Palembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=19}} Ketidakmampuan [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] dan pemerintah Belanda untuk menerapkan [[monopoli]] (baik secara finansial maupun militer) menjadikan Palembang lebih leluasa untuk mengambil keuntungan besar melalui [[perdagangan gelap]] dengan pihak lain, seperti [[Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia|Inggris]] dan [[Dinasti Qing|Tiongkok]].{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=32–37}} Setoran komoditas seperti [[timah]] dan [[lada]] kepada Belanda semakin menurun,{{sfnp|Nawiyanto|Endrayadi|2016|pp=82–84}} hingga akhirnya hilang sama sekali pada awal abad ke-19.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=35}} Meski begitu, Sultan [[Sultan Muhammad Bahauddin|Muhammad Bahauddin]] (bertakhta 1776–1803) tetap berusaha mempertahankan hubungan baik dengan Belanda, dan tidak berniat untuk membatalkan secara penuh kontrak-kontrak yang telah terjalin di antara kedua belah pihak.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=36}}
Berbeda dengan Muhammad Bahauddin, sumber-sumber Belanda menyebut bahwa putranya, Mahmud Badaruddin II, lebih sulit untuk diajak berkompromi. Sejak ia naik takhta, Mahmud Badaruddin II telah berkeinginan untuk melepaskan diri secara penuh dari pengaruh asing. Sementara itu, naiknya [[Herman Willem Daendels]] sebagai [[Gubernur-Jenderal]] [[Hindia Belanda]] pada tahun 1808 juga membawa perubahan kebijakan. Alih-alih membeli secara tunai komoditas yang telah ditetapkan sebagai hak monopoli Belanda, Daendels menginginkan agar Palembang mengutangi Belanda atau menerima pembayaran dalam bentuk beras. Jika tidak, ia mengancam akan menurunkan harga monopoli dan melakukan [[ekspedisi militer]]. Hal ini ia lakukan karena pemerintah Hindia Belanda (yang kala itu merupakan negeri bawahan Prancis) sedang dalam kondisi keuangan yang kurang baik akibat peperangan melawan Inggris. Menanggapi ancaman ini, Mahmud Badaruddin II pun memperkuat pertahanan Palembang dan membangun Benteng Borang sebagai persiapan dalam menghadapi kemungkinan konflik.{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=39–41}}
=== Korespondensi Raffles dan Sultan Palembang ===
Pada akhir tahun 1810,{{sfnp|Bastin|1953|p=305}} [[Thomas Stamford Raffles]] tiba di Melaka sebagai utusan Inggris bagi negeri-negeri Melayu. Ia ditugaskan untuk menjalin hubungan dengan para penguasa dan bangsawan setempat, dengan harapan agar mereka mau bersekutu melawan Belanda, atau setidaknya bersikap netral. Inggris berencana untuk melakukan [[Penyerbuan Jawa (1811)|ekspedisi militer ke Jawa]], sehingga penting bagi mereka untuk mengamankan kawasan [[Selat Melaka]] dan [[Selat Bangka]]. Palembang menjadi prioritas utama, sebab Raffles telah menerima informasi bahwa Daendels telah menyiapkan [[armada]] untuk menyerang Palembang atau Lingga sejak September 1810.{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=42}} Alasan lain melakukan pendekatan terhadap Palembang adalah agar Inggris dapat memperoleh hak monopoli atas timah Bangka.{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=43}}{{sfnp|Bastin|1953|pp=303–304}}
Raffles pun mulai berkorespondensi dengan Sultan Palembang. Ia mengirim dua pucuk surat secara beruntun (tanpa menunggu balasan) pada tanggal 10 dan 15 Desember 1810 untuk memperingatkan Sultan akan armada Belanda yang sedang menuju Palembang. Ia juga mendesak agar Sultan segera mengirimkan utusan ke Melaka demi merundingkan [[persekutuan]] dengan Inggris. Surat tanggal 15 Desember secara khusus dibawa oleh Raden Muhammad, seorang Melayu Palembang keturunan bangsawan.{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=43–44}}{{sfnp|Bastin|1953|p=306}}{{efn|Raden Muhammad kemungkinan dipilih karena ia masih terhitung kerabat Sultan Palembang dan mengenal dengan baik seluk-beluk keraton Palembang. Menurut satu riwayat, ia meninggalkan negerinya akibat sakit hati karena dipaksa bercerai oleh Sultan. Ia kemudian menetap di [[Pulau Pinang|Penang]] dan mengabdi pada pemerintah Inggris.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=43}}}} Karena tidak juga mendapat balasan, Raffles pun mengirim tiga kapal perang di bawah pimpinan Kapten James Bowen pada tanggal 13 Januari 1811 untuk sekali lagi menyampaikan
Sementara itu, misi Raden Muhammad untuk menemui Sultan dan membahas persekutuan dengan Inggris gagal, sebab ia tidak memiliki surat penunjukan resmi sebagai utusan Raffles. Meski demikian, Mahmud Badaruddin II tetap membalas surat Raffles dan memintanya agar tidak terlalu khawatir dengan keberadaan orang Belanda di Palembang. Surat balasan dikirimkan Raffles pada tanggal 2 Maret 1811. Keesokan harinya, ia menunjuk Raden Muhammad sebagai utusan resmi untuk merundingkan rancangan perjanjian dengan Palembang, yang menawarkan beberapa keuntungan seperti bantuan militer dan harga yang lebih tinggi untuk pembelian timah.{{sfnp|Wargadalem|2017|pp=45–47}} Dalam korespondensinya dengan Sultan, Raffles sekali lagi menekankan bahwa Belanda berniat menyerang Palembang, sehingga Sultan mesti memutuskan hubungan dengan Belanda dan menjadikan Inggris sebagai sahabat. Ia juga mendesak agar Sultan segera mengusir orang-orang Belanda dari Palembang.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=46}}{{sfnp|Bastin|1953|pp=309–311}} Raffles menambahkan bahwa apabila persekutuan antara Inggris dan Palembang tercapai sebelum Inggris menduduki Jawa, maka seluruh kontrak yang berlaku antara Palembang dan Belanda akan dibatalkan. Namun, hal ini tidak berlaku apabila persekutuan baru tercapai setelah pendudukan Pulau Jawa.{{sfnp|Wargadalem|2017|p=46}}
|