Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Patria lupa (bicara | kontrib) Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Patria lupa (bicara | kontrib) Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 77:
[[Berkas:Free Aceh Movement women soldiers.jpg|jmpl|250px|Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM [[Abdullah Syafi'i (GAM)|Abdullah Syafi'i]] (1999)]]
[[File:AcehConflictMap.png|thumb|Peta Kehadiran Gerakan Aceh Merdeka (1998–2001)]]
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di [[Jawa]] dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya [[Soeharto]] memberikan keuntungan bagi [[Gerakan Aceh Merdeka]] dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.<ref>Miller, Michelle Ann. op. cit.</ref> Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.<ref>{{cite news|newspaper=The Indonesian Observer|date=2
Tahun 1999 juga merupakan tahun dimulainya proses dialog pertama antara Pemerintah Indonesia dan GAM.<ref>{{Cite book|title = Conflict Management and Dispute Settlement in East Asia|last1 = Amer|first1 = Ramses|publisher = Ashgate Publishing, Ltd.|year = 2011|isbn = 978-1409419976|pages = 87|last2 = Zou |first2 = Keyuan}}</ref> Proses ini diprakarsai oleh [[Pusat Dialog Kemanusiaan]] (HD) sebuah organisasi diplomasi swasta yang memfasilitasi pembicaraan damai antara kedua belah pihak hingga tahun 2003.<ref name=":0">{{Cite journal|url = http://www.eastwestcenter.org/fileadmin/stored/pdfs/PS001.pdf?q=kebangkitan-aceh|title = The Aceh Peace Process: Why it Failed|last1 = Aspinall|first1 = Edward|journal = Policy Studies |volume=1|last2 = Crouch|first2 = Harold|publisher = East-West Center Washington|isbn = 1-932728-01-5|year = 2003|pages = 18–20}}</ref>
Selama fase ini, terdapat dua periode penghentian permusuhan singkat yang ditengahi oleh HD: "[https://web.archive.org/web/20151117023926/http://www.hdcentre.org/fileadmin/user_upload/Our_work/Peacemaking/Aceh_Indonesia/Supporting_documents/Joint-Understanding-for-a-Humanitarian-Pause-12-May-2000.pdf Humanitarian Pause]"<ref name=":0" /><ref>{{Cite web|title = SECRETARY-GENERAL WELCOMES "HUMANITARIAN PAUSE" AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN GOVERNMENT, FREE ACEH MOVEMENT |url = https://www.un.org/press/en/2000/20000512.sgsm7394.doc.html|website = www.un.org|access-date = 14 Oktober 2015}}</ref> pada tahun 2000 dan [http://peacemaker.un.org/indonesia-cessationhostilities2002 "Cessation of Hostilities Agreement]" (COHA). COHA ditandatangani pada bulan Desember 2002. Penerapan Jeda Kemanusiaan dan COHA menghasilkan berkurangnya bentrokan bersenjata dan kekerasan di Aceh.<ref>{{Cite web|title = Military operations in Aceh to start soon|url = http://www.thejakartapost.com/news/2003/05/07/military-operations-aceh-start-soon.html|website = www.thejakartapost.com|access-date = 2015-10-14|url-status = dead|archive-url = https://web.archive.org/web/20151117033043/http://www.thejakartapost.com/news/2003/05/07/military-operations-aceh-start-soon.html|archive-date = 17 November 2015|df = dmy-all}}</ref> COHA berakhir pada bulan Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia mendeklarasikan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa mereka ingin menghancurkan GAM untuk selamanya.<ref>{{harvp|Aspinall|2005|p=vii}}</ref >
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum [[8 November]] [[1999]] di [[Banda Aceh]], GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibu kota provinsi.<ref>{{cite web|title=Millions demand referendum in Aceh|url=http://www.greenleft.org.au/node/18871|publisher=Green Left|accessdate=23 October 2012}}</ref> Pada tanggal [[21 Juli]] [[2002]], GAM juga mengeluarkan [[Deklarasi Stavanger]] setelah pertemuan "''Worldwide Achehnese Representatives Meeting''" di [[Stavanger]], [[Norwegia]].<ref>{{cite web|title=Acheh: The Stavanger Declaration|url=http://www.unpo.org/article/747|publisher=Unrepresented Nations and Peoples Organization|accessdate=23 October 2012}}</ref> Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi."<ref>{{cite web|title=ibid|accessdate=23 October 2012}}</ref> Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=142}}</ref>▼
▲
<!-- Deleted image removed: [[Berkas:Operasi militer di Aceh Screen-Shot-5884.jpg|thumb|Tentara Indonesia [[Cadillac Gage Commando|V150 Commando]] dalam Operasi Darurat Militer Aceh tahun 2003]] -->Tindakan keras keamanan pada tahun 2001 dan 2002 mengakibatkan ribuan warga sipil tewas. Sepanjang konflik diperkirakan 15.000 orang telah terbunuh. Pemerintah melancarkan [[Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004|sebuah serangan]] dan [[keadaan darurat]] diumumkan di Provinsi tersebut. Selama periode ini, GAM mengalami cacat parah dengan komandannya Abdullah Syafei terbunuh dalam penyergapan pemerintah pada bulan Januari 2002, sementara berbagai komandan daerah seperti Tengku Jamaika dan Ishak Daud juga terbunuh. Menurut pengakuan GAM sendiri, GAM kehilangan 50% kekuatannya selama serangan pemerintah pada tahun 2003–2005. Pemberontakan masih berlangsung ketika [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana tsunami tahun 2004]] melanda provinsi tersebut. Pada bulan November 2003, darurat militer diperpanjang selama enam bulan berikutnya. Menurut laporan [[Human Rights Watch]],<ref>[http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/5.htm#_Toc58915047 Human Rights Watch]</ref> militer Indonesia melakukan [[pelanggaran hak asasi manusia]] secara luas selama invasi dan pendudukan, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi dalam tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar proses hukum merupakan hal biasa.
=== Kesepakatan damai dan pilkada pertama ===
|