Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Patria lupa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Patria lupa (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 124:
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama ''booming'' LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu [[Hasan di Tiro]]. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak [[pipa minyak]] untuk ''[[Mobil Oil]]'' Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan [[Amerika Serikat]].<ref>{{harvp|Robinson|1998|p=137}}</ref> Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan.<ref>{{harvp|Robinson|1998|p=138}}</ref> Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
 
:Aceh, Sumatra, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa.''"<ref>{{harvp|di Tiro|1984|p=16}}</ref>
 
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|volume=66|page=139}}</ref> Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik.<ref>{{cite journal|last=Aspinall|first=Edward|title=The Construction of Grievance: Natural Resources and Identity in a Separatist Conflict|url=https://archive.org/details/sim_journal-of-conflict-resolution_2007-12_51_6/page/964|journal=The Journal of Conflict Resolution|year=2007|month=December|volume=51|series=6|pages=964–967}}</ref> Dia melanjutkan bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.<ref name=Aspinall_Greivance_964>{{cite journal|title=ibid|page=964}}</ref>